Rampung
Malam itu, bintang-bintang yang menghias langit nampak tidak ada, udara dingin menusuk tubuh, dan gambaran malam itu terasa sepi, hening, dingin. Berjam-jam aku memandangin jalan raya yang macet dan juga langit malam, entah apa yang dipikirkan orang-orang di dalam mobil yang terkena macet ini.
Kututup malam itu dengan meminum kopi yang telah kubuat sedari tadi. Esnya sudah mencair, pertanda bahwa ia tak pernah disentuh oleh pemiliknya.
Aku kunci pintu koridor, lalu kurebahkan tubuhku di kasur, dan diam-diam aku memandang apartemen, membiarkan diriku merenungi masa lalu sekali lagi.
Sepuluh tahun yang lalu, aku adalah remaja perempuan yang bahagia memiliki seorang ayah yang menjadi pahlawan di rumah dan seorang pekerja keras di kantor, serta seorang Ibu yang sangat menyukai segala jenis makanan. Makanan yang aku sukai juga termasuk dalam daftar masakan buatan Ibu.
Tetapi, semenjak Ibu mengidap penyakit, ia jarang memasak, dan aku tak bisa lagi menikmati makanan khas seperti nasi gudeg dan kue lapis. Sebanyak apapun kue lapis yang ku beli di luaran sana, tidak ada yang mampu menggantikan rasa cinta dalam masakan khas Ibu.
Siang itu, aku dipanggil oleh wali kelas. Aku merasa kebingungan, tak menemukan kesalahan apapun dari diriku. Ibu Mina, wali kelasku, mengelus kepalaku dengan lembut, menghela nafas sebelum mengucapkan kalimat yang membuat tubuhku terkujur kaku.
“Biru, sayang, yang sabar ya. Ibumu meninggal. Jangan menangis. Ayok, ibu hantarkan ke rumah.”
Aku terdiam, tanpa ekspresi yang bisa kusalurkan ke wajahku. Di rumah, semua orang berkumpul, termasuk tetangga dan keluarga besar ayah dan ibu. Tenda-tanda didirikan, karangan bunga diletakkan, orang-orang melihatku dengan tatapan menyedihkan. Sungguh aku tak suka.
Ruang tamu yang biasanya yang selalu ada wujud Ibu, sekarang hanya sekedar tubuh yang terkujur kaku.
Malamnya, diadakannya doa untuk mendoakan ibu, aku yang satu-satunya anak di dalam keluarga harus pura-pura teguh, karena kalau aku menunjukkan air mata mungkin ayah akan ikut sedih. Ayah seperti kehilangan setengah dirinya malam itu, dengan tatapan matanya kosong.
Tujuh bulan setelah Ibu meninggal, aku menyadari bahwa aku keliru. Ayah hanya kehilangan setengah dirinya selama tujuh bulan tersebut. Setelah itu, Ayah menikah dengan seorang wanita yang tidak kukenal. Saat itu, pernikahannya sudah berlangsung selama tujuh bulan, dan Ayah kembali menjadi dirinya seperti dulu. Tatapannya tidak lagi kosong, dan ia dapat menunjukkan senyumnya. Aku merasa melihat Ayah seperti itu, tetapi sekaligus merasakan sakit hati menyadari fakta bahwa Ayah hanya membutuhkan waktu tujuh bulan untuk melupakan Ibu.
Ayah menyuruhku memanggil Ibu, ucapan yang seharusnya ku berikan kepada almarhum ibuku, malah kuberikan kepadanya, istri ayahku.
Selama itu, aku tidak pernah menganggap istri ayahku sebagai Ibu. Dia selalu memberikan pendekatan kepadaku seperti membelikan barang-barang mewah atau memasak makanan favoritku. Meskipun masakan yang dibuatnya enak, tetapi ada yang kurang.
Hari itu, pertama kalinya aku mendengar lagi suara itu setelah setahun tidak pernah mendengar instruksi untuk bangun.
“BIRU! AYO, BANGUN SEKARANG SUDAH JAM TUJUH, KAMU MAU TELAT?”
Suara yang sangat aku sukai, aku berharap bahwa yang membangunkanku adalah ibu, dan pasti aku semangat, tetapi itu bukan Ibu, meskipun suaranya sedikit mirip nadanya sama, seolah-olah aku dipanggil oleh Ibu.
“BIRU…”
“BRAKKK…”
Aku keluar dari kamar sambil sedikit membanting pintu. Ibu terkejut, tetapi aku pura-pura tidak melihatnya.
“Biru, kamu mau makan nasi gudeg buatan Ibu? Ibu juga buat kue lapis kesukaan kamu…”
Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, aku segera turun ke bawah dengan pura-pura tidak tahu bahwa di meja makanan kesukaanku sudah tersedia dan kue lapis yang sangat-sangat kucintai. Ini sudah berlangsung selama tujuh bulan, namun demi harga diriku, aku memilih untuk tidak menyantap apa pun yang ada di meja.
Aku berangkat ke sekolah bersama dengan ayah menggunakan mobil kijang kesayangannya yang sering dianggap anak kedua. Perjalanan dari rumah ke sekolah tanpa pembicaraan apa pun hening yang menyisihkan.
Setibanya di sekolah, aku bertemu dengan Senja yang tiba-tiba berkata, “Biru, ahhhh, aku kangen banget sama kamu. Padahal gak ketemu dua hari, tapi rasanya kangen banget melebihi kekasih daripada pacar.”
Mendengar kata-kata dramatis Senja, seakan-akan aku adalah pacarnya yang tidak masuk sekolah karena sakit, membuatku tertawa terbahak-bahak.
Aku, Senja, hujan, dan laut beriringan menuju ke kelas. Hari itu, semuanya seperti biasa, dengan pelajaran fisika yang menyebalkan, kantin sekolah yang dipenuhi oleh manusia kelaparan, dan kelas yang terasa berisik seperti seolah tidak ada orang hidup di sekitarnya.
Kring… kring… Bunyi bel pulang berdenting, dan seperti setiap hari, aku dan Senja selalu pulang bersama sejak ayah diangkat menjadi manajer dan menjadi sibuk, sehingga tidak memiliki waktu untuk menjemputku.
Namun, sebelum aku memilih pulang bersama Senja, ayah memberikan opsi kedua yang pasti tidak akan ku setujui, yaitu pulang bersama ibu. Di rumah, aku mencoba untuk menghindarinya. Bagaimana mungkin selama tiga tahun aku harus pulang bersama dengannya? Hanya membayangkan itu saja sudah membuatku merasa frustrasi. Aku tahu aku bersifat kejam, tetapi rasanya aneh jika aku terlalu baik kepadanya.
Setelah sampai di rumah kepalaku di isi dengan masa lalu. Aku menutup sekujur tubuh dengan selimut -, berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Masa lalu adalah masa lalu; sekarang aku berbeda dengan yang dulu.
***
Suara alarm mengacaukan ketenangan malam. Dengan buru-buru, aku keluar dari selimut yang telat menghangatkanku semalaman. Kamar mandi menjadi tujuanku pertama. Setelah selesai mandi, aku menyiapkan makanan untuk diriku sendiri. Tak ada lagi orang yang memasak untukku. Seandainya dulu aku bukanlah seorang pengecut. Pasti sekarang, aku tak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyiapkan semuanya sendirian.
Matahari sudah terbit dari tempat tidurnya dan aku bersiap untuk keluar. Hari-hari yang telah lama aku nantikan datang. Hari dimana aku bisa berdamai dengan diri sendiri. Gedung-gedung tinggi, kemacetan, dan populasi gambaran kota itu terlihat di siang hari. Aku menghentikan mobil di depan tempat pemakaman umum.
Angin sejuk yang ku hirup yang juga menghiasi pemakaman, dengan pohon-pohon yang rindang, menciptakan keadaan sunyi yang cocok untuk peristirahatan terakhir. Aku menuju sebuah makam yang terletak di dekat pohon beringin, dua gundukan tanah yang bunga-bunganya segar dan juga ada jejak air. Aku memastikan siapa yang menaruh bunga itu dan membersihkan akar-akar, lalu selesai dengan berziarah dengan cepat.
Kemudian, aku kembali menyalakan mobil berniat untuk ke tengah kota, tapi aku melihat ke rumah masa kecilku yang mengukir kenangan. Pagarnya yang terbuka sedikit membuatku langsung masuk, meskipun tidak ada siapa-siapa di pekarangan rumah. Pertama kali aku menginjakkan kaki di sini membuatku yakin bahwa tumbuhan-tumbuhan ini pasti dirawat dengan baik, seolah-olah seperti anak oleh pemiliknya.
Dari belakang terdengar suara air di belakang dan ketika aku melihatnya, ternyata ada seorang yang dulu tidak aku hargai lagi, yaitu Ibu tiriku, ia tengah menyiram tanaman-tanaman yang terlihat sehat. Orang itu tidak sadar atas kehadiranku. Aku memeluknya dari belakang, dia terlihat biasa saja dan dia menebak-nebak siapa yang memeluknya.
“Hmmm, ini siapa ya?” tanyanya.
Kujawab, “Hayo, siapa?”
Dia menjawab sambil memelukku, “Pasti anak ibu yang paling cantik, ya, Biru.”
Mendengar dia mengatakan dirinya sendiri ‘Ibu” aku menjawab lagi, “Iya, Ibu, ini Biru.”
“Biru, anak ibu yang paling suka kue lapis dan nasi gudeg, sekarang sudah besar tambah cantik lagi,” puji Ibu.
Tuturan mengenai makanan kesukaan membuatku menjadi tertawa, ternyata Ibu masih ingat akan itu.
“Kamu terlihat sangat kurus,” katanya sambil melihat tangan dan tubuhku. “Ayo makan dulu di sini, ibu kebetulan masak kue lapis dan nasi gudeg.”
“Iya, boleh kebetulan aku juga lapar.”
“Ayok, makan banyak-banyak, kalau bisa dibungkus.” Sambil berjalan menuju rumah dia bertanya. “Biru kesibukannya apa aja, hari Jum’at begini gak kerja?”
“Boleh-boleh, Bu. Biru lagi sibuk sama pasien-pasien, sekarang membludak karena COVID. Kebetulan juga hari ini Biru cuti, untuk jenguk malam ibu dan ayah.”
“Ohhh gitu. Jaga kesehatan, Biru. Sekarang jaman COVID, kalau hari ini Biru cuti, mau nggak tidur disini? Ibu kangen sama Biru.” Ibu bicara sambil matanya berkaca-kaca.”
Aku menjawabnya dengan yakin, “boleh, Ibu, boleh. Apapun yang Ibu mau, Biru akan lakukan sekarang.”
Ibu memeluk Biru dengan kuat dan mencium pipi Biru. “Seperti mau pergi jauh saja, aku susah nafas kalau begini terus,” kataku dengan suara yang sesak karena pelukan Ibu.
Setelahnya, Biru menikmati kue lapis dan nasi gudeg dengan semangat. Mungkin kue lapis ibu bukan yang pertama kali dicoba oleh Biru, tetapi menjadi yang terenak. Mendengar yang Biru ucapkan, ibu tersenyum lega, seolah-olah perasaan yang telah dibungkam sedari lama berhasil dileburkan.
Penulis: Rahel bersekolah di SMP 2 Kota Jambi