Buka Puasa Bersama: Ajang Silaturahmi atau Formalitas Capek-Capekan?
Pendahuluan
Setiap Ramadan, tradisi buka puasa bersama (bukber) menjadi fenomena yang tak terelakkan, terutama di lingkungan perkotaan. Dari reuni sekolah, kantor, komunitas, hingga kelompok kecil pertemanan, undangan untuk berbuka bersama datang bertubi-tubi. Awalnya, acara ini dimaksudkan sebagai ajang silaturahmi, namun dalam praktiknya sering kali berubah menjadi formalitas sosial yang melelahkan. Apakah bukber masih memiliki makna yang sesungguhnya, atau justru menjadi beban yang tidak perlu?
Fenomena Bukber: Dari Makna ke Formalitas
Secara historis, berbuka puasa bersama memiliki akar dalam tradisi Islam yang menekankan kebersamaan dan kepedulian sosial. Dalam hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa memberi makan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.”
Hadis ini menunjukkan bahwa berbuka puasa bukan hanya tentang mengisi perut setelah menahan lapar dan dahaga sepanjang hari, tetapi juga tentang berbagi rezeki dan mempererat hubungan sosial. Dalam konteks Islam, memberi makan orang yang berpuasa merupakan bentuk kepedulian terhadap sesama serta wujud nyata dari nilai-nilai kebersamaan yang diajarkan dalam agama. Oleh karena itu, konsep buka puasa bersama seharusnya mengedepankan aspek solidaritas sosial, di mana setiap orang merasa diterima tanpa adanya tekanan finansial atau sosial.
Namun, di era modern, semangat ini kerap bergeser. Di kota-kota besar, buka puasa bersama lebih sering dilakukan di restoran atau kafe mewah, dengan menu yang serba mahal. Sering kali, niat awal untuk bersilaturahmi malah tergeser oleh tekanan sosial dan gengsi. Banyak orang menghadiri bukber bukan karena ingin berbagi dan menjalin silaturahmi, tetapi lebih karena tuntutan sosial agar tetap dianggap eksis dalam lingkungannya. Bukber yang seharusnya menjadi ajang mempererat hubungan justru bisa menjadi ajang pamer status dan gaya hidup.
Jika dikaitkan dengan hadis di atas, semangat berbuka bersama yang sesungguhnya seharusnya tidak terbatas pada aspek konsumtif, melainkan pada bagaimana acara tersebut bisa menghadirkan manfaat sosial yang lebih besar. Sebuah buka puasa yang benar-benar bermakna adalah yang memberikan kemudahan bagi semua orang untuk ikut serta tanpa merasa terbebani, baik secara finansial maupun psikologis. Konsep berbagi dalam hadis ini lebih relevan jika buka puasa bersama dilakukan dengan semangat gotong royong, seperti mengadakan bukber di masjid, berbagi takjil dengan masyarakat sekitar, atau mengadakan acara yang lebih inklusif tanpa membebani peserta dengan biaya yang mahal.
Tekanan Sosial dan Beban Finansial
Dalam penelitian psikologi sosial oleh Dr. Michael Argyle (The Psychology of Social Class, 1994), manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti norma sosial agar diterima dalam kelompok. Dalam konteks bukber, ini bisa berarti tekanan untuk menghadiri acara meski merasa tidak nyaman, baik karena biaya, waktu, atau sekadar kewajiban sosial.
Selain itu, dari aspek finansial, tidak semua orang mampu menghadiri bukber yang sering kali diadakan di tempat mahal. Bagi sebagian pekerja, mahasiswa, atau mereka yang memiliki tanggungan keluarga, menghadiri bukber bisa menjadi beban ekonomi yang tidak kecil. Mereka mungkin merasa terpaksa menghadiri acara hanya demi menjaga hubungan sosial, meskipun harus mengorbankan anggaran mereka untuk keperluan yang lebih penting.
Kenapa Banyak Orang Memilih Tempat yang Mahal?
Ada beberapa alasan mengapa bukber sering kali diadakan di restoran mahal atau tempat yang terkesan eksklusif:
- Prestise dan Citra Sosial – Banyak orang ingin menunjukkan status sosial mereka melalui tempat makan yang dipilih. Ini bisa menjadi bentuk pencitraan di hadapan teman atau kolega.
- Kepraktisan dan Kenyamanan – Restoran besar menyediakan layanan yang lebih nyaman, seperti ruang luas, pendingin udara, dan berbagai pilihan menu. Ini membuatnya menjadi pilihan yang lebih mudah dibanding mengadakan bukber di rumah.
- Tren Media Sosial – Foto makanan dan suasana mewah sering kali menjadi bagian dari eksistensi di media sosial. Tempat yang estetik dan Instagramable sering kali menjadi faktor utama dalam memilih lokasi bukber.
- Tuntutan Lingkungan – Dalam kelompok pertemanan atau komunitas tertentu, ada tekanan untuk memilih tempat yang sesuai dengan standar kelompok. Tak jarang, orang ikut serta meski sebenarnya kurang mampu.
- Kebutuhan Praktis untuk Kelompok Besar – Restoran besar sering kali lebih siap melayani rombongan dalam jumlah banyak, sehingga lebih praktis dibandingkan mengatur tempat sendiri.
- Psikologi Konsumtif – Di masyarakat urban, ada kecenderungan untuk mengasosiasikan pengalaman yang menyenangkan dengan sesuatu yang mahal. Orang lebih merasa puas jika berbuka di tempat eksklusif karena ada sensasi pencapaian sosial dan kesenangan psikologis.
- Diskon dan Paket Spesial Ramadan – Restoran sering menawarkan promo khusus untuk grup besar selama bulan puasa, membuatnya lebih menarik dibandingkan opsi lain.
Bukber: Momen Hangat atau Sekadar Basa-Basi?
Banyak peserta bukber mengeluhkan bahwa acara ini sering kali kehilangan esensi. Pertemuan yang harusnya menjadi ajang berbagi cerita berubah menjadi sesi foto-foto demi eksistensi media sosial. Sebagian besar orang hanya datang, makan, lalu pulang tanpa benar-benar menikmati kebersamaan.
Dalam sosiologi, konsep ritual kosong (empty ritual) yang dikemukakan oleh Erving Goffman (Interaction Ritual: Essays on Face-to-Face Behavior, 1967) menjelaskan bagaimana interaksi sosial bisa kehilangan makna ketika hanya dilakukan sebagai kewajiban, bukan karena kebutuhan emosional.
Tidak jarang pula, acara bukber berubah menjadi ajang pamer status sosial, di mana orang-orang sibuk membandingkan pencapaian mereka. Percakapan yang terjadi bisa lebih banyak berisi update pekerjaan, status finansial, atau bahkan sekadar perdebatan memilih tempat yang lebih mewah untuk tahun berikutnya.
Mengembalikan Esensi Buka Bersama
Agar bukber tidak hanya menjadi acara formalitas yang melelahkan, perlu ada beberapa perubahan:
- Selektif dalam Memilih Undangan – Tidak perlu merasa wajib menghadiri semua bukber. Prioritaskan yang benar-benar bermakna.
- Kembali ke Kesederhanaan – Bukber tidak harus diadakan di tempat mahal. Berbuka bersama di rumah atau masjid dengan hidangan sederhana justru lebih membangun kebersamaan.
- Fokus pada Interaksi, Bukan Dokumentasi – Menyimpan kenangan melalui foto boleh saja, tetapi jangan sampai momen yang berharga tergantikan oleh sekadar pencitraan di media sosial.
- Mengatur Waktu dengan Bijak – Tidak semua orang memiliki jadwal yang fleksibel. Menyesuaikan waktu bukber dengan kebutuhan peserta akan membuat acara lebih nyaman.
- Menghindari Kewajiban Finansial yang Memberatkan – Jika ingin berbuka bersama, carilah konsep yang tidak membebani, misalnya dengan sistem potluck atau berbagi secara sukarela.
- Memilih Lokasi yang Lebih Personal – Mengadakan bukber di rumah seseorang atau di taman terbuka bisa menciptakan suasana yang lebih akrab dibanding di restoran.
- Menambahkan Kegiatan yang Bermakna – Daripada hanya makan-makan, bukber bisa diisi dengan kegiatan berbagi, seperti sedekah bersama atau diskusi keagamaan ringan.
Kesimpulan
Buka puasa bersama sejatinya adalah momen untuk mempererat silaturahmi, bukan ajang pamer atau formalitas yang melelahkan. Dengan memahami kembali esensi dari tradisi ini, kita bisa menjadikannya sebagai pengalaman yang lebih bermakna dan tidak sekadar rutinitas kosong. Ramadan seharusnya menjadi waktu untuk refleksi dan kebersamaan yang tulus, bukan sekadar mengikuti tren sosial yang bisa menguras energi dan kantong.
Penting bagi setiap individu untuk lebih sadar dalam memilih mana acara bukber yang benar-benar bermanfaat dan mana yang hanya sekadar gengsi. Dengan demikian, kita bisa merayakan Ramadan dengan lebih khusyuk dan penuh makna.