Tempat dimana cerita-cerita pendek dipilih dan dibagikan kepada kalian

Sebuah Ekspetasi Jipanna
Di balik dinding tua yang mulai rapuh, Jipanna duduk di sudut ruangan yang sepi. Matanya memandang kosong keluar jendela berdebu. Di luar, angin berbisik lembut, menggugurkan daun-daun tua. Di dalam rumah yang lapuk itu, harapan kecil tumbuh perlahan di hatinya—seperti bunga mekar di tengah hujan.
Ulang tahunnya yang kedelapan kian mendekat. Di dalam hatinya, tersimpan satu permintaan besar—sebesar bintang di langit malam—sebuah boneka kucing. Bukan kucing sungguhan yang bisa melompat atau mengeong, tapi boneka lembut yang bisa dipeluk setiap malam sebelum tidur.
Sayangnya, harapan itu terasa sejauh bintang yang ia pandangi. Rumah mereka hanya cukup sepiring nasi hari ini, belum mampu membeli mimpi kecil seorang anak.
Jipanna tahu, hadiah itu bukan sesuatu yang mudah di dapat. Oma—nenek yang merawatnya dengan penuh kasih—tak pernah punya banyak uang. Setiap rupiah telah ditakar untu kebutuhan sehari-hari. Namun, meski mimpinya itu bukan apa-apa, Jipanna merasa tetap harus mengatakannya.
“Oma,” bisik Jipanna, suaranya lirih, nyaris serupa angin menyentuh daun.
“aku cuma ingin satu hal di ulang tahunku nanti… boneka kucing. Boneka yang bisa kupeluk setiap malam sebelum tidur.”
Oma, yang tengah duduk di kursi rutan tua, menghentikan pekerjaannya sejenak. Wajahnya penuh keriput, pendengarannya mulai memudar, dan matanya tak lagi seterang dulu. Ia menatap cucunya dengan kebingungan.
Boneka kucing? Dalam benaknya, yang terlintas justru seekor kucing sungguhan. Namun, dengan senyum lembut dan tangan yang sedikit bergetar, Oma mengangguk pelan.
“Tentu, sayang… Oma akan berusaha sebaik mungkin.”
Jipanna tersenyum cerah, matanya berbinar penuh harap.
“Terima kasih, Oma,” ucapnya tulus, seolah dunia baru saja memberinya seberkas cahaya.
Namun, tanpa ia tahu, di balik senyum lembut Oma tersembunyi sebuah kesalahpahaman besar—yang diam-diam menunggu untuk mengguncang dunia kecil mereka
Oma mulai berpikir keras untuk memenuhi permintaan Jipanna. Ia tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan seekor kucing, tapi dalam benaknya, kucing adalah hadiah yang sempurna.
“Aku harus mengusahakannya. Jipanna pasti akan sangat senang menerima hadiah ini,” gumam Oma pelan.
Ia mulai membayangkan seekor anak kucing yang bisa menemani Jipanna bermain, tidur di pangkuannya saat mereka duduk bersama, dan menjadi teman sejati yang menghangatkan hari-hari cucunya. Cinta kepada Jipanna membakar hatinya seperti api yang tak pernah padam. Oma pun bertekad untuk memberikan yang terbaik.
Namun, kenyataan datang dengan cara yang tak terduga—dan pahit. Saat Oma mencari harga anak kucing di pasar, ia terkejut bukan main. Seekor kucing hidup ternyata dibanderol lebih dari satu juta rupiah.
Bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, angka itu mengguncang hatinya. Satu juta rupiah? Ia nyaris tak percaya. Jumlah itu terasa seperti gunung tinggi yang tak mungkin didaki, apalagi oleh tubuh tuanya yang sudah renta.
Meski tubuhnya mulai rapuh dan tangan-tangannya kaku, Oma tak gentar. Ia mulai bekerja keras, menggenggam tekad yang lebih besar dari rasa lelahnya. Setiap tetes keringat yang jatuh, setiap langkah yang diayunkan, justru membuat beban itu terasa semakin berat.
Ia membawa kue-kue tradisional buatan sendiri ke pasar, berharap ada yang membeli. Tapi pasar sedang sepi. Setiap rupiah yang ia peroleh terasa seperti butiran pasir yang menetes perlahan dari celah waktu—sedikit demi sedikit. Hatinya pun mulai gelisah, seolah ia sedang berlari mengejar sesuatu yang terus menjauh, tak tergapai
Tak berhenti di pasar, oma juga menerima berbagai pekerjaan serabutan. Ia menjadi tukang rewang di pesta pernikahan, mencuci pakaian milik orang-orang kaya, dan membersihkan rumah-rumah besar yang tak pernah sepi debu.
Semakin banyak pekerjaan yang ia ambil, semakin letih tubuhnya. Kaki Oma terasa seperti dihimpit batu setiap kali melangkah, berat dan lambat. Tapi ia tak pernah mengeluh, tak pernah berhenti.
“Aku harus berhasil,” batinnya.
“Aku harus memberimu kucing itu, Jipanna.”
Setiap malam, Oma duduk dalam sunyi, ditemani cahaya redup dan rasa cemas yang tak kunjung padam. Ia menghitung lembar demi lembar uang yang terkumpul, berharap jumlahnya cukup. Tapi seperti daun yang luruh tertiup angin, harapan itu sering kali terasa ringan—dan tak pernah cukup. Meski begitu, ia tak berhenti. Tak sekalipun.
“Ini untuk Jipanna,” bisiknya lirih, seolah kalimat itu adalah satu-satunya bahan bakar yang membuat tubuh tuanya terus bertahan dari hari ke hari.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan berkeringat dan menahan lelah, uang itu terkumpul—lebih dari satu juta rupiah. Dengan langkah yang rapuh namun penuh harapan, Oma menuju pasar.
Di sana, ia memilih seekor anak kucing berbulu halus, matanya bening, tubuh mungilnya gemetar dalam dekapan. Saat membawanya pulang, hati Oma dipenuhi rasa lega dan bangga. Ia merasa seperti pahlawan yang telah menaklukkan medan berat demi cinta yang tak terhingga.
“Ini untukmu, Jipanna,” bisiknya dalam hati, terasa dunia akhirnya memberinya pelukan hangat sebagai hadiah atas segala perjuangan.
Hari ulang tahun Jipanna akhirnya tiba. Dengan hati-hati, Oma membawa kotak besar berisi anak kucing itu. Wajahnya yang penuh kerut tampak berseri; matanya berbinar seperti fajar pertama setelah malam panjang.
“Ini hadiahmu, sayang,” ucap Oma pelan sambil membuka kotak, senyumnya penuh harap.
Namun, seketika wajah Jipanna berubah. Ia mundur beberapa langkah, matanya membesar, bingung sekaligus cemas.
“Oma… ini… kucing hidup! Aku hanya minta boneka kucing, bukan yang sungguhan!” serunya, suaranya pecah menahan guncangan.
Seolah dunia runtuh dalam satu kedipan—sebuah batu besar jatuh menimpa hatinya. Oma terdiam. Wajahnya mengeras, matanya memudar.
“Apa maksudmu, Jipanna?” suaranya serak, seperti ranting tua ditiup angin kencang.
“Aku bekerja sekuat tenaga… mengumpulkan tiap sen yang kupunya… demi membelikan ini untukmu. Kenapa kamu tidak senang?”
Jipanna menatap Oma dengan mata penuh penyesalan. Dadanya sesak, seolah ada beban tak kasatmata yang menindih.
“Oma… aku tahu Oma sudah berusaha sekuat tenaga. Aku tahu,” ucapnya pelan.
“Tapi aku belum siap merawat kucing sungguhan. Aku hanya ingin… boneka kucing.”
Keheningan menggantung di antara mereka—sunyi yang panjang, seolah dunia menahan napas. Lalu perlahan, Jipanna melangkah maju dan memeluk Oma erat.
“Oma, maafkan aku. Aku tak bermaksud mengecewakan. Aku akan belajar merawatnya. Kita bisa lakukan ini bersama-sama, ya?”
Isak tertahan pecah dalam tawa kecil yang hangat. Di tengah kekeliruan dan kesalahpahaman, mereka menemukan sesuatu yang lebih penting: cinta yang tak tergantikan.
Dalam pelukan yang saling menguatkan, mereka tahu—bahwa meski harapan bisa keliru arah, kasih sayang yang tulus selalu tahu jalan pulang.

KELAPA PAK REMI
Karya Aldi Muheldi
Bekas rumah Pak Remi sudah dibiarkan lusuh tak terurus hampir sembilan tahun semenjak dia dan keluarganya pindah ke Semarang, entah kenapa mereka pindah tidak ada satu pun orang di sekitar rumahnya tahu, termasuk pak RT. Di depan halaman rumahnya rerumputan sudah meninggi hingga sebatas lutut orang dewasa dan menyisakan satu batang kelapa tinggi yang keliatan segar karena baru berbuah.
Dan Minggu ini banyak warga yang lewat di depan bekas rumah Pak Remi itu, bolak balik melihat begitu segarnya kelapa yang tumbuh menjulang tinggi ini. Salah satu dari warga sekitar ada yang mau mengambil dengan mencoba memanjat, tapi dari belakangnya ada yang menegur dengan menepuk pundaknya. Seorang pria tua bertopi koboi berjanggut putih yang menyelimuti seluruh dagu. Orang tua itu memarahi warga, namun suaranya tidak seperti marah
“Kau tidak boleh memanjatnya, coba cari cara lain!” Wajahnya begitu datar dengan kumis yang sedikit memanjang di atas bibirnya
“Ba..baik,” warga itu menjawab agak sedikit takut lalu turun, dan berjalan menjauh dari pria itu.
Wajah ketakutan membuat Warga itu berlari kencang keluar dari halaman rumah. Pria tua itu pun juga ikut pergi berjalan keluar dari halaman rumah dengan tongkat yang menopang badannya dan menghilang berlalu setelah belok ke arah kanan.
Berhadapan langsung dengan rumah Pak Remi ada seorang pria muda yang selalu mengintip dari balik tirai jendela jika sesekali melihat ada orang yang akan mengambil kelapa itu. ia melakukannya hampir setiap kali pada saat dia pulang kuliah. Papan nama yang terpampang di rumah ini bertulisakan Ara, mungkin itu namanya.
Orang-orang sekitar tidak terlalu mengenal Ara, karena dia sendiri kurang bersosialisasi dengan tetangga-tetangganya, mungkin dia tidak ada waktu untuk bersosialisasi karena terlalu fokus melihat orang-orang yang mengambil kelapa Pak Remi. Sebagai mahasiswa dia memang sangat aneh, sehabis pulang kuliah tidak ada kegiatan. Memang baru kali ini pohon kelapa itu berbuah, setelah sekian lamanya. Mereka yang memandang pohon kelapa itu seakan-akan terpanggil untuk mengambilnya. Tak ada rasa segan yang terpampang dari wajah mereka ketika mereka mengambil kelapa yang mengoda itu, bahkan orang dewasa yang bisa dikatakan sudah bisa merasa malu pun juga ikut tergoda.
Lantaran rumah itu sekarang tidak ada yang menunggu, dan juga belum tahu status rumah tersebut dijual atau tidak, sungguh tidak ada informasinya. Menurut cerita beredar rumah itu memang tidak jual, karena akan ditempatkan kembali dengan Pak Remi.
Lucunya setiap ada yang mau mengambil kelapa itu, Ara seakan-akan mempunyai sebuah firasat yang sangat kuat, entah itu ketika dia mengerjakan tugas-tugas kuliah, mandi, dan tidur siang sekalipun, tapi firasat itu akan hilang ketika dia sudah berada jauh dari rumah. Rasanya memang cukup aneh pemuda ini, sebagian hidupnya digunakan hanya untuk memata-matai orang yang tergoda untuk mengambil kelapa muda, di tanah yang tidak tahu statusnya.
Setelah pulang kuliah, kursi selalu siap berada di depan jendela, dengan semangkuk Mie instan dan es teh manis. Tidak ada lagi kenikmatan yang sangat bisa disyukuri selain itu, mungkin itu yang ada di pikiran Ara. Televisi di rumahnya bukanlah cara dia untuk mengisi kekosongan waktu, kecuali jika Timnas Indonesia sedang bertanding, pasti dia akan menyetel televisinya saat itu.
Piring dan gelas yang sudah kosong diletakannya saja di bawah, karena biasanya setelah mengintip itu dia baru membereskan semuanya, sebelum aktivitas mengintipnya selesai pantang sekali baginya untuk melakukan apapun, meski itu tidur sekalipun, dan juga tugas pun pernah dia tidak kerjakan.
Sebenarnya dia bisa saja langsung menegur siapapun yang akan mengambil kelapa itu, tetapi tidak ada hak baginya untuk melakukan itu, dia hanya pemuda biasa belum pantas menegur siapapun, hanya dikarenakan banyak orang yang ingin mengambil kelapa muda di tanah yang tidak memiliki status. Meskipun nanti dia sudah bisa dikatakan seorang yang bergelar sarjana, ia merasa dirinya memang tidak mempunyai hak untuk menegur orang atau melarang untuk mengambil kelapa.
Beberapa jam sudah Ara duduk di depan jendela. Matanya seakan-akan sayup-sayup tertutup, beberapa menit sekali menguap lebar, tapi tidak juga ia melihat seseorang mencoba mengambil kelapa itu. Sampai akhirnya ada mobil yang berhenti tepat di depan rumah Pak Remi, orang itu keluar dari mobil, badannya tinggi, memakai kaca mata hitam dan setelan kemeja rapi. Di tangan kanannya dia menjinjing sebuah tas, di tangan kirinya seperti telepon genggam merek terkini.
“kali ini orang yang berbeda, aku tidak pernah melihat seseorang bergaya seperti ini sebelumnya,” Gumamnnya.
Telepon genggam orang itu berdering, lalu diangkatnya. Ara hanya bisa melihat saja, suara dari pembicaraan orang itu tidak dapat didengarnya dari jarak ia duduk sekarang. Entah apa yang pria itu bicarakan dengan seseorang yang berada di dalam telepon genggamnya.
Semula, tidak ada keanehan yang terjadi, ketika seseorang datang lagi dengan setelan yang tidak kalah rapi, dari pemuda yang tadi. Sepertinya itu bukan orang yang berbicara dengan pria sebelumnya lewat telepon, soalnya jarak waktu dia menelpon datang sangatlah singkat. Dua pria itu berjabat tangan, entah apa maksudnya, mungkin mereka sudah lama tidak bertemu.
Ara melihat dengan serius, sampai matanya lupa untuk berkedip. Perbincangan terlihat serius, sampai pria yang datang pertama mengangkat telepon kembali dan berpamitan begitu saja. Ara berpikir mereka sedang merencanakan sesuatu untuk membeli tanah Pak Remi.
“Jangan sampai yang aku pikirkan ini memang benar, tidak ada yang boleh membeli tanah itu,” dia bergumam kesal.
Keadaan jadi semakin mengejutkan sampai pria yang baru datang itu melirik ke atas. Ara jadi semakin merasa sangat penasaran apakah benar orang seperti pria itu akan memanjat pohon kelapa yang tidak seberapa, memang tampaknya terik matahari sangat menyengat pada saat itu, sesekali pria itu menghelus-helus kerongkongannya yang kering.
Seketika batu yang ada di bawah kakinya diambil dan dilemparnya ke atas, berkali-kali sampai satu lemparannya berhasil mengenai kelapa itu. sedikit ada rasa kesal dari pria itu, terlihat dari raut wajahnya, kembali dia mengambil batu yang berada di tanah dan dilemparnya lagi, tapi belum sempat tangannya berayun, dari belakang sudah ada yang menahan laju tangannya.
Pria tua dengan topi koboi itu lagi yang mencegah, dia kembali menegur. Tatapannya begitu tajam, raut mukanya tidak ada kesan marah. Ketakutan terlihat dari wajah pria rapi itu, genggaman batu yang berada di tangan kanannya terlepas, kaki bergetar hebat.
“Coba cara lain!” kata pria tua itu.
“Saya hanya membersihkan tempat ini saja pak,” Jawab pria rapi ketakutan.
“Bersihkan dengan cara lain!” balas pak tua, sambil melepas pengangannya yang kuat.
Sang pria rapi tersenyum ketakutan, dengan langkah teratur dia lalu berlari menjauh dari sana. Pria tua hanya menatap datar dia berlari, sampai menghilang di persimpangan jalan. Tidak berapa kemudian pria yang datang pertama kembali lagi ke tempat semula, kebingungan karena temannya tidak ada, yang ada hanya pria tua.
“Pak, maaf, mana ya orang yang berada di sini tadi?” dia bertanya dengan sopan.
Tanpa ada jawaban dia pun pergi meninggalkan pria itu. berjalan dengan tongkatnya. Pria tua itu tidak kembali lagi sampai dia hilang di persimpangan jalan. Pria yang datang pertama, terlihat tidak tertarik dengan kelapa yang berada di belakangnya. Mata pria itu sekarang tertuju ke rumah Ara, karena dia sudah merasa di lihat, dari balik tirai di mana Ara mengintip.
Langsung tanpa rasa takut, pria ini berjalan menuju rumah Ara, lalu mengetuk pintunya.
“Permisi.” Ara tidak menjawab juga, dia takut pria ini menjadi gila lalu menghantamnya dengan kuat ke dinding. Sekarang Ara berada di depan pintu, dengan ragu-ragu dia mencoba membuka pintu, tapi tidak jadi. Kembali pria itu mengetuk pintu lagi.
“Permisi.”
“Aduh. Mati aku,” Kata Ara kepanikan
Dengan berani dia lalu membuka pintu dan memasang wajah biasa, pria itu pun juga membalas dengan senyuman. Dugaan Ara salah, dia hanya ingin bertanya saja tentang temannya yang tiba-tiba menghilang.
“Apa mas melihat pria yang berada di sana tadi?”
“Saya melihatnya dia lari ke arah kanan persimpangan jalan.” Jawabnya dengan tenang.
“Kenapa ya dia lari?” tanyanya lagi penasaran.
“Tadi dia ingin mengambil kelapa yang berada di rumah yang tidak berpenghuni itu, tapi tiba-tiba seorang pria tua mencegahnya, entah apa yang pria tua itu katakan sehingga pria yang bersama anda tadi pergi dan berlari ketakutan?”
Pria rapi yang datang pertama ini merasa penasaran, dia melirik ke atas pohon, tapi tidak begitu tertarik untuk mengambil kelapanya. Mungkin tidak ada waktu bagi pria itu untuk mengambil kelapa yang bisa ia beli setiap saat, karena pria ini terlihat seperti seorang pengusaha.
“Ya, kalau begitu terima kasih, saya permisi dulu,” Ucapnya sambil berjalan keluar halaman rumah.
Ara kembali menutup pintunya dan duduk di kursinya yang sangat nyaman. Mengintip lagi siapa yang akan mengambil kelapa yang berada di rumah pak Remi. Mobil yang dikendarai pria tadi pun berlalu dari hadapannya, dan sejak saat itu jalan masih sepi dengan orang-orang yang mencoba mengambil kelapa muda pak Remi. Sampai matahari tergelincir dan kembali muncul, jalanan masih sepi. Hanya ada tukang roti yang biasa lewat di depan menjajahkan dagangannya pagi-pagi buta. Ara tidak pernah membelinya karena dia lebih suka memborong roti di mini Market untuk persediaan beberapa Minggu. Setiap pagi dia selalu sarapan roti duduk di kursi yang selalu di letakkan di depan jendela, biasanya roti itu di temani segelas susu cokelat panas.
“Pagi ini keliatan tenang,” Ujarnya sambil mencelupkan roti ke dalam susu.
Rasa penasaran tersentak di kepala Ara, ia lupa kemarin pria yang ketakutan itu tidak kembali-kembali lagi. Apakah dia menghilang begitu saja? Entahlah, Ara tidak akan memikirkannya, tetapi yang ada di pikirannya saat ini tidak itu saja, pria tua yang menegur orang-orang yang ingin mengambil kelapa selalu datang pada saat yang tepat.
Sabtu, perkuliahan libur tidak ada jam tambahan. Benar-benar hari yang sangat bebas untuk mengintip, semua sudah dipersiapkan Ara kali ini sebuah bangku kecil untuk menopang kakinya dan sebuah bantal di belakangnya. Tidak ada buku, tidak ada tugas, hanya sebuah rasa penasaran di pagi yang cerah siapa yang akan mengambil kembali kelapa itu.
“Kali ini seorang pasti akan mencoba mengambilnya.”
Tak lama setelah dia berbicara, tiba-tiba banyak orang-orang yang berdatangan mengerumuni rumah pak Remi, seperti wartawan, mobil-mobil beberapa stasiun tv berparkir di sana, menutupi sedikit pandangan Ara. Ia merasa terkejut, kejadian seperti ini membuatnya keluar dari rumah dan berdiri di teras memandangi kerumunan wartawan yang meliput.
Dari arah yang berbeda terlihat mobil yang kemarin berada di rumah pak Remi datang kembali kali ini dia menghampiri Ara, dan langsung seketika menjabat tangannya. Ara kebingungan tidak ada orang yang seperti ini dia temui sebelumnya, pria ini tersenyum.
“Berita ini sangat bagus mas,” Katanya dengan semangat.
“Berita apa pak?” Tanyanya bingung.
Telepon berdering dari saku celana pria itu, seketika dia pun berlalu menjauh dari rumah Ara dan langsung bergabung dengan kerumunan. Kebingungan masih tergambarkan dari raut wajahnya, entah apa maksud dari semua ini, yang terpenting dari itu, semua kelihatan berbeda dari sebelumnya.
Setelah wartawan pergi dan benar-benar tidak ada lagi, pohon kelapa itu diberi garis polisi. Orang-orang sekitar banyak yang berkumpul penasaran dengan pohon kelapa itu, ada yang menyentuhnya, berdoa di sana, dan ada yang sekedar berfoto-foto saja seakan-akan berada di objek wisata.
Ara duduk di bangku biasa dia mengintip. Sepertinya orang-orang sekarang lebih tertarik dengan cerita aneh yang terdengar dibandingkan kelapa muda yang beberapa Minggu ini sangat menggoda. Dia merasa tidak ada hiburan lagi, televisi itu bukan sebuah hiburan dia bilang. Dengan rasa kecewa dia beranjak ke tempat tidur dan terlelap sampai matahari kembali terbit.
Dia tidak duduk di kursi di mana dia biasa mengintip. Ia langsung membuka pintu dan mencium bau segar pagi, orang-orang yang masih sepi dari aktivitas burung-burung masih tidur, hanya ayam yang berkokok membangunkan orang, tapi seketika terkejut di depan rumah pak Remi kelihatan berbeda tidak ada lagi dia melihat pohon kelapa yang berdiri kokoh beserta kelapanya yang senang tiasa membuat orang yang lewat di depannya tergoda.
Garis polisi masih tampak mengelilingi pohon itu, tapi kali ini terlihat sangat berbeda.
“Wah, ini sangat mengerikan, aku tidak menyadarinya,” Katanya dengan kesal.
Dia berlari mendekati halaman rumah pak Remi, sambil menatap kosong sekitar halaman. Yang aneh tidak ada batang yang rebah di sana, sepertinya seseorang memotongnya dan langsung menyingkirkan bekas rebahan kayu itu, karena tidak ada sesampahan di sana, tidak ada juga jejak kaki apapun di sana.
Sampai akhirnya pria kemarin datang menghampiri, sambil memukul pundak Ara dengan pelan, dia hanya mengungkapkan rasa kekecewaannya juga, karena ruang beritanya sudah hilang. Ara tidak menghiraukan pria itu, dan saat itu juga wartawan kembali datang meliput, dia pun bergabung dengan kerumunan wartawan. Seseorang dari jauh datang masuk dalam kerumunan dia membawa sebuah tongkat yang biasa pria tua bertopi koboi bawa.
“Semua ini ulah pak Remi, semuanya hanya kebohongan yang ada di sekitar kita,” Katanya lalu pergi ke arah bekas pohon dan meletak tongkat di sana.
“Pak Remi sudah tidak ada, bukan pergi keluar kota.”
Dan air mata Ara pun menetes seketika.
Beringin, di saat pikiran benar-benar tidak sempurna, 18 Desember 2016

Di Balik Pintu Rumah
Ditulis: Dhea Larasati
Dela selalu menganggap bahwa dunia luar adalah panggung teater dan dia adalah aktor yang tak pernah bisa lepas dari perannya. Senyum cerah, tawa kecil, dan kata-kata penuh semangat selalu ia suguhkan untuk orang-orang di sekitarnya. Mereka menganggapnya bahagia, tetapi hanya Dela yang tahu betapa gelapnya hatinya. Setiap malam, kamar Dela menjadi saksi bisu penderitaannya. Suara bising pertengkaran Ayah dan Ibunya menjadi melodi yang terus menghantui.
Sejak kecil, Dela terbiasa mendengar suara keras dari ruang tamu rumah mereka. Ayahnya yang tinggi besar itu sering meninggikan suara, sementara Ibu yang biasanya tenang hanya bisa menangis terisak-isak, terkadang tanpa bisa bicara sama sekali. Mereka tidak pernah bertengkar tentang hal-hal yang besar. Biasanya soal uang, pekerjaan, atau kebiasaan Ayahnya yang sering pulang malam. Namun, semua itu cukup untuk menghancurkan hati Dela.
Suatu malam, Dela berdiri di balik pintu kamar, mendengar pertengkaran mereka.
“Apa yang aku lakukan salah, Nesi? Aku bekerja mati-matian untuk keluarga ini, tapi kamu selalu menyalahkanku!” bentak Ayahnya, suaranya bergema di seluruh rumah.
Ibu menjawab dengan suara gemetar, “Kamu pikir aku tidak bekerja? Aku yang menjaga rumah ini, membesarkan Dela sendirian. Kapan terakhir kali kamu bicara baik-baik denganku?”
“Jangan mulai lagi! Aku sudah cukup lelah!” Ayahnya membanting gelas ke lantai, pecahannya berserakan.
Dela menutup telinga, air mata mengalir deras, sebelum berlari kembali ke tempat tidur dan menangis hingga tertidur.
Keesokan harinya di sekolah, Dela selalu memberikan wajah cerianya. Teman-teman Dela sering memuji keluarganya yang terlihat sempurna. Ayahnya selalu hadir di acara sekolah dengan jas rapi, ibunya tampil anggun dengan senyuman. Tidak ada yang tahu rahasia di balik pintu rumah mereka.
Saat istirahat Dela duduk di kantin bersama teman-temannya. Sarah, teman baiknya yang tersenyum lebar dan berbicara dengan antusias.
“Dela, aku dengar Ayahmu akan datang lagi ke acara hari keluarga minggu depan, kan?” tanya Sarah.
Dela tersenyum tipis, “Iya, Ayahku pasti datang.”
“Wah, keluarga kamu pasti bahagia banget ya. Orang tuamu selalu hadir setiap acara di sekolah, aku iri,” ujar Sarah penuh kekaguman.
Dela hanya tersenyum, meski hatinya terasa hampa. Dalam pikirannya, ia hanya bisa membayangkan gelas yang pecah semalam.
Setelah pulang sekolah, Dela merasa lelah. Bukan hanya karena pelajaran yang penuh tugas, tetapi juga karena ketegangan yang mulai merayapi rumah mereka. Di ruang tamu, Ayahnya sedang duduk di kursi dengan wajah murung, sementara Ibu di dapur terlihat seperti menghindar dari sesuatu.
Dela duduk di meja makan dengan perasaan kosong. Ayah dan Ibunya hanya saling diam. Ayahnya memegang sendok, terus memainkannya tanpa berbicara. Ibunya hanya menatap ke luar jendela, tampak tidak tertarik dengan apapun.
“Dela, hari ini baik-baik saja kan di sekolah?” tanya Ayahnya, akhirnya membuka percakapan setelah lama diam.
Dela menatap Ayahnya dengan hati yang berat, namun mencoba tersenyum. “Iya, Ayah. Semua berjalan lancar.”
“Bagus,” jawab Ayahnya pelan, lalu kembali menundukkan kepalanya.
Dela ingin sekali bertanya, mengapa Ayah dan Ibu selalu bertengkar. Kenapa mereka tidak bisa menjadi seperti keluarga teman-temannya yang terlihat selalu bahagia? Tapi dia tahu, pertanyaan itu tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Malam itu, Dela kembali mendengar suara Ayah dan Ibu bertengkar. Kali ini, suara Ayahnya semakin meninggi. “Apa kamu tidak pernah puas, Nesi? Aku kerja sampai hampir rubuh, tapi di rumah hanya dapat omelan!” bentak Ayahnya.
Ibunya, dengan suara lebih berani dari biasanya membalas, “Dan aku? Aku di sini mencoba bertahan dengan semua kekacauan yang kamu bawa pulang! Kamu pikir ini mudah?”
“Diam, Nesi!” Ayahnya menampar Ibunya. Dela yang mendengar itu, berlari keluar dari kamarnya.
“Ayah, berhenti!” teriak Dela dengan air mata mengalir. “Apa Ayah tidak lihat? Ibu sudah cukup terluka. Aku juga terluka! Kenapa Ayah terus melakukan ini? Apa keluarga kita tidak berarti buat Ayah?”
Ayahnya terdiam, tangannya yang terangkat gemetar. Mata suramnya menunduk, sementara Ibunya memeluk Dela erat, menangis ranpa henti.
Setelah keadaan sedikit reda, malam itu, untuk pertama kalinya, Dela memberanikan diri berbicara dengan Ayahnya di ruang tamu. “Ayah, apa Ayah masih sayang sama Aku dan Ibu?”
Ayahnya menatap lama sebelum menjawab pelan, “Ayah selalu sayang. Tapi kadang Ayah tidak tahu cara menunjukkan itu. Ayah terlalu lelah.”
“Lelah? Ayah pikir aku tidak lelah? Aku harus berpura-pura bahagia di depan semua orang, padahal di rumah seperti ini. Aku ingin keluarga kita bahagia lagi, Ayah. Apa itu terlalu sulit?” suara Dela bergetar.
Ayahnya menghela napas panjang. “Ayah tahu, Dela. Ayah minta maaf. Ayah telah mengecewakan kalian. Tapi Ayah tidak tahu bagaimana memperbaiki semua ini.”
“Cobalah, Ayah. Jangan hanya bekerja untuk kami. Jadilah bagian dari kami. Aku tidak butuh uang Ayah. Aku butuh Ayah di sini, bersama kami,” ujar Dela penuh harap.
Ayahnya menggenggam tangan Dela, matanya berkaca-kaca. “Ayah akan mencoba. Demi kamu.”
Dela merasa sedikit lega, meskipun kata-kata itu tidak cukup menghapus luka yang sudah mengakar dalam hatinya. Ia tahu, luka batin itu mungkin akan selalu ada, dan perasaan kesepian yang ia rasakan takkan hilang begitu saja.
Malam-malam setelah percakapan itu, Dela merasa ada sedikit perubahan dalam dirinya. Meskipun Ayahnya sudah mengakui kekurangan dirinya, rasa sakit itu tetap ada. Setiap kali Dela menatap wajah orang tuanya, ia merasa ada jarak yang semakin besar antara dirinya dan mereka. Perasaan itu seperti bayangan yang mengikuti seiap langkahnya, tak pernah benar-benar hilang.
Pagi itu, Dela bangun lebih awal dari biasanya. Ia duduk di meja makan, menatap secangkir susu yang masih penuh. Ayah dan Ibu belum turun dan rumah mereka terasa lebih sepi dari biasanya. Hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan, mengikuti ritme kehidupan seakan berjalan tanpa tujuan. Dela merasa terjebak dalam kesunyian ini, meskipun di luar sana dunia terus berputar.
Ketika ayahnya akhirnya muncul, Dela hanya menyapa dengan pelan. “Selamat pagi, Ayah.”
“Selamat pagi, Dela,” jawab Ayahnya, namun nada suaranya tidak seramah biasanya. Ada ketegangan yang masih tersisa dari percakapan mereka malam itu.
Ibu datang beberapa menit setelah itu, membawa secangkir kopi. Ia tampak lebih tenang, meskipun Dela bisa melihat ada kelelahan yang masih tergambar di wajahnya. Ibu duduk di meja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka semua duduk diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri.
Dela akhirnya memutuskan untuk berbicara lagi. “Ibu, Ayah, aku ingin kita menjadi keluarga seperti dulu lagi. Aku tahu kalian berdua sedang menghadapi banyak hal, tapi aku merasa kita semakin jauh. Aku ingin kita bisa saling mendengar dan berbicara dari hati.”
Ayah menatap Dela, tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kami berusaha, Dela. Kami berusaha sebaik mungkin. Tapi, semua ini tidak semudah yang kamu pikirkan.”
Ibu menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya di kursi. “Dela, kami tahu ini berat untukmu. Tapi kamu juga harus mengerti, hidup tidak sesederhana itu. Ada banyak tanggung jawab yang harus kami pikul.”
Dela mencoba menahan air matanya. “Tanggung jawab itu penting, aku tahu. Tapi apa kalian tidak melihat bagaimana keluarga kita semakin hancur? Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu.”
“Kami punya cara masing-masing untuk menghadapi semua ini, Dela” ujar Ibunya.
Hati Dela terasa remuk. Ia menatap kedua orang tuanya, mencoba mencari sedikit harapan, tapi hanya menemukan tembok tinggi yang tak dapat ia runtuhkan.
“Jadi, kalian lebih memilih bertahan dengan ego masing-masing daripada mencoba memperbaiki semuanya? Aku sudah mencoba. Aku benar-benar sudah mencoba.”
Ayah memalingkan wajah, sementara Ibu hanya menunduk, tak berkata apa-apa. Sunyi menyelimuti ruangan, menyisahkan Dela dengan kepedihan yang tak lagi bisa ia ungkapkan. Akhirnya, ia berdiri dan berkata pelan, “Aku menyerah. Mungkin memang aku yang selalu berharap terlalu banyak.”
Dela pergi meninggalkan orang tuanya. Namun, perasaannya begitu kuat bahwa keluarganya meskipun saling mencintai, tapi tetap tak mampu membangun jembatan komunikasi yang kokoh. Mereka hanya membiarkan jarak itu tumbuh begitu besar, sementara mereka terus saling berusaha untuk mempertahankan peran mereka masing-masing.
Hari-hari berlalu, Dela merasa hidupnya tetap dalam ketidakpastian. Di sekolah, dia berusaha untuk tetap tampil sempurna, meskipun hatinya terus berontak. Setiap kali teman-teman memujinya atau menganggap keluarganya sebagai keluarga yang bahagia, Dela merasa ada luka yang semakin membesar. Mereka tidak tahu bahwa di balik tawa ceria itu, ada hati yang terluka.
Suatu sore, Dela duduk di taman dekat sekolah, sendirian. Ia menatap langit yang mulai berwarna jingga, merasakan angin sore yang menyejukkan. Ia berpikir, apakah semuanya akan selalu seperti ini? Apakah ia akan terus membawa beban ini sendirian? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya dan ia merasa lelah.
Sarah, teman baik Dela datang dan duduk di sampingnya. “Dela, kenapa kamu tampak begitu murung?” tanya Sarah, matanya penuh kekhawatiran.
Dela mencoba tersenyum, tetapi senyum itu terasa pahit. “Aku baik-baik saja, Sarah. Mungkin hanya terlalu lelah akibat banyak berpikir.”
Sarah menatapnya dalam-dalam, tak membiarkan Dela menyembunyikan dirinya. “Dela, kamu tahu kan, kamu bisa cerita apa saja ke aku? Aku di sini.”
Dela menghela napas panjang. “Sarah, kadang aku merasa seperti berdiri sendirian di tengah kekacauan. Aku ingin percaya kalau semuanya akan membaik, tapi rasanya aku cuma berlari di tempat. Mereka sibuk dengan diri mereka sendiri dan aku? Aku bahkan tidak tahu harus percaya pada siapa.”
Sarah meraih tangan Dela dan menggenggamnya erat. “Dela, tidak apa-apa merasa lelah. Hidup itu penuh dengan ketidaksempurnaan dan itu tidak apa-apa, tapi itu bukan berarti kamu harus kehilangan dirimu. Kamu berhak bahagia, bahkan di tengah semua ini.”
“Aku ingin hidup yang lebih baik, Sarah. Aku ingin bisa berbicara tanpa merasa ada yang menghakimi. Aku ingin bisa merasa bahagia tanpa harus menyembunyikan rasa sakitku.”
Air mata Dela mulai menggenang, tapi ia menahannya. “Aku cuma ingin sebuah rumah yang terasa seperti rumah, Sarah. Tempat di mana aku bisa bicara tanpa merasa tidak didengar. Tempat di mana aku tidak perlu pura-pura bahagia setiap saat. Tapi sekarang, aku rasa itu hanya mimpi. Mungkin, aku harus belajar menerima saja.”
Sarah memeluk Dela dengan lembut, memberikan kehangatan yang Dela rindukan. “Dela, aku tahu kamu kuat. Kadang, menerima memang tidak mudah, tapi ini tidak berarti kamu menyerah. Kamu bisa menciptakan bahagiamu sendiri, meski kecil. Jangan pernah lupa, aku selalu ada untukmu.”
Dela menutup matanya sejenak, merasakan pelukan Sarah. “Terima kasih, Sarah. Mungkin aku belum bisa sepenuhnya berdamai, tapi aku akan mencoba. Aku akan terus mencoba.”
Waktu terus berjalan dan Dela perlahan mulai menemukan cara untuk berdamai dengan segala kenyataan yang ada dalam hidupnya. Pertengkaran yang dulu membuatnya terperangkap dalam rasa sakit kini tak lagi menggerogoti hatinya. Ia tahu, keluarganya tetap seperti itu. Terjebak dalam siklus ketegangan yang tak pernah benar-benar selesai. Namun, Dela mulai menyadari satu hal yang paling penting. Ia tidak bisa mengubah mereka, yang bisa ia ubah adalah dirinya sendiri.
Dela melangkah keluar dari bayang-bayang kebahagiaan palsu yang dulu ia ciptakan untuk dunia luar. Ia mulai lebih fokus pada dirinya. Ia mendengarkan kata hati dan berusaha menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, meskipun dunia di sekitarnya masih penuh ketidaksempurnaan.
Pagi-pagi dalam setiap harinya, Dela tidak lagi tenggelam dalam kekosongan yang dulu menguasai hatinya. Rumah mereka masih sering diwarnai oleh ketegangan antara Ayah dan Ibunya, tetapi Dela tidak lagi membiarkan itu menguasainya. Ia belajar untuk mengabaikan pertengkaran yang terus terjadi, tidak membiarkan kata-kata tajam mereka menghancurkan kedamaian dalam dirinya.
Dela tetap menjadi dirinya sendiri. Dia tidak lagi merasa harus berpura-pura menjadi orang yang sempurna untuk memenuhi harapan orang lain. Dia tetap ceria, tetap membantu teman-temannya, tetapi kali ini, dia melakukan semuanya dengan hati yang lebih ringan tanpa beban. Teman-temannya tak lagi terlalu banyak bertanya tentang keluarganya. Mereka tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah Dela dan Dela merasa tidak perlu menjelaskan. Keluarganya tetap menjadi bagian dari hidupnya, namun ia tidak lagi merasa harus menjadikan mereka sebagai alasan untuk tidak bahagia.
***
Suatu sore, saat Dela duduk di taman yang sama di mana Sarah pernah berbicara dengannya, ia merasakan angin lembut menyentuh wajahnya. Namun kali ini, hatinya terasa lebih damai. Ia menyadari, bahwa ia tidak perlu lagi berlarian mencari kebahagiaan di luar sana. Kebahagiaan itu dapat ia ciptakan sendiri, meski dengan kondisi yang jauh dari sempurna. Meskipun keluarganya tetap penuh konflik, Ayah dan Ibunya tetap bertengkar, Dela tahu bahwa ia sudah cukup kuat untuk tetap berdiri tegak dan terus melangkah.
Dalam keheningan sore itu, Dela tersenyum. Bukan karena segalanya sudah sempurna, tetapi karena ia telah menemukan cara untuk berdamai dari ketidaksempurnaan. Ia mulai memahami bahwa hidup bukan tentang memiliki segala sesuatu yang sempurna, melainkan tentang menerima setiap luka dan kekurangan dengan hati yang lapang.
Malam itu, di meja makan yang sama, Dela kembali duduk bersama. Ayah dan Ibu masih terlihat kaku dan suasana tetap dingin. Dela tidak lagi merasa ada beban berat di hatinya. Dengan tenang, ia berbagi cerita ringan tentang harinya tanpa berharap lebih dari percakapan itu. Mereka saling berbicara, meskipun suasana di meja makan tetap sepi. Namun, bagi Dela itu sudah cukup.
Hari demi hari, Dela terus melangkah. Ia tidak lagi menggantungkan kebahagiannya pada hal-hal yang tidak bisa ia kendalikan. Ia telah belajar untuk mencintai diri sendiri, meski di tengah kekacauan. Kini, di balik senyum yang selalu ia tunjukkan, Dela tahu bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang apa yang terlihat oleh orang lain, melainkan tentang bagaimana kita menerima diri kita dengan sepenuh hati. Dela tidak lagi berusaha menjadi sempurna, karena ia telah memahami bahwa ia cukup berharga sebagai dirinya sendiri.
Dhea Larasati, perempuan kelahiran 2004 yang akrab dipanggil Daye, adalah sosok santai yang kerap berkata “tidak apa-apa” sambil tersenyum menghadapi berbagai hal. Dengan prinsip sederhana, “Jalanin aja dulu, urusan keren belakangan,” hidupnya penuh plot twist ajaib yang dihadapinya dengan sikap “yaudah lah.”

Setangkai Bunga Mawar di Kertas Kusut
Oleh Aldi Muheldi
Melalui sepasang cincin ini, hutang-hutang yang pernah dijanjikan pada masa lalu terbayar dengan sempurna. Tuhan memperkenankan segala doa yang diungkapkan oleh seorang penyair melalui sujud dan pengabdian yang tulus. Dan pada hari ini, saat itulah kelegaan yang telah dinantikan hadir dengan penuh kebahagiaan.
Bangku taman yang basah ia lapisi dengan beberapa helai tisu, agar bokongnya tidak basah dan saat ia berdiri nanti, tidak menjadi bahan tertawaan setangkai mawar. Tisu itu ia tumpuk hingga lima lapis, memastikan air tidak meresap ke celana dan kulitnya. Barulah setelah itu dia duduk dengan pasti.
Pandangan matanya lurus binar ke depan—ada bayangan pertemuan yang dinanti membuat setiap helai daun jatuh turut mendukung akan peristiwa yang ditunggu sang penyair.
“Aku menjatuhkan setiap helai daunku, agar kau lebih memperindah setiap kata yang akan kau sampaikan.” Mungkin begitu jika sebatang pohon rindang di belakang kursi taman dapat berbicara pada sang Penyair.
Mengulas kembali waktu, memang tak ada yang benar-benar tahu hakikat pertemuan. Ketika Setangkai Bunga Mawar, entah dari mana datangnya, duduk di bangku kesayangan sang Penyair yang sedang menulis bait-bait tangis tentang hidup dan penyesalan di atas selembar kertas kusut. Karena memang di bangku yang ia tempati, hari demi hari, tak ada seorang pun yang ingin mendudukinya.
Tubuh penyair terasa kaku saat itu, seolah ada tangan-tangan yang mengikatnya dengan tali kuat dari kiri dan kanan, membuatnya tak berkutik di hadapan Setangkai Bunga Mawar yang tersenyum padanya. Senyuman itu menembus dan melekat di hatinya, membawanya ke dalam harapan dan perjalanan yang selama ini diimpikannya.
Tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun ada keyakinan dalam hatinya.
“Cinta selalu datang pada saat tak terduga dan kami sedang merasa seperti itu.” Yakin sekali sang Penyair pada saat itu, belum lagi gemericik air hujan yang mengalir dari helai-helai daun dari pohon di belakang bangku itu memberi kegembiraan dan membuat keyakinan itu bertumpuk di dalam hati. Sejak saat itu, ia mengerti bahwa tak ada namanya buah pisang berbuah dua kali.
Dengan perlahan tangannya menari bukan lagi untuk menulis bait-bait tangisan, namun menuliskan pujaan-pujaan untuk Setangkai Bunga Mawar yang menghampirinya; Seorang Penyair murah yang hadir pada musim-musim kesedihannya sendiri. Dalam tulisan yang dibuatnya, ada harum yang bernyawa dalam matanya, ada indah dalam telingannya, dan ada anggun dari mulutnya.
Pada saat tulisan sudah menjadi utuh membentuk sebuah syair, kertas kusut tetap menjadi pesan bisu yang membantu tenggelam dalam sungai yang deras. Jangankan tangan yang ingin memberikan secarik kertas kusut itu, mulut pun tak mau memberikan isyarat kata yang ada hanya gemuruh yang menghujan di kepala dan degup jantung yang berpacu dengan keinginan hati. Seorang Penyair memang pemuja, tapi bukan seorang penyampai pesan yang dibuatnya sendiri.
Sunyi sudah terlalu lama ketika derit pena mengukir tiap-tiap bait yang digunakan untuk memuja Setangkai Bunga Mawar, tapi gemuruh kepala tetap memekak petir pikiran. Sedangkan hati yang berpacu dengan jantung sudah melaju lebih dulu untuk menggerakkan tangan, hingga akhirnya Penyair memberikan kertas kusut penuh syair kepada Setangkai Bunga Mawar.
“Ini apa?,” kata Setangkai Bunga Mawar yang kaget karena Seorang Penyair yang terlalu tiba-tiba memberi kertas kusut itu.
Kemudian dibacalah syair tersebut dengan suara yang samar dari balik-balik angin. Setangkai Bunga Mawar terkesan dengan syair yang diciptakan olehnya. Hal itu kemudian juga membentuk hari-hari kehangatan yang terikat pada kasih yang terjalin dan membuat harapan serta do’a-do’a menuju jalan takdir di ujung penantian yang selama ini dinantikan. Setiap kali pertemuan yang hadir di bangku taman itu dan di situ pula tangan-tangan penyair terus tak habis-habis menciptakan pujaan untuk Setangkai Bunga Mawar.
Setiap kali pulang dari kesan yang telah terukir, kebahagiaan terasa terhias pada dinding-dinding kamar tidur seorang penyair, membentuk kolase kenangan yang terbawa hingga mengalir dalam mimpinya. Kata-kata pujian telah menjadi santapan pagi yang selalu hadir, setiap kali Setangkai Bunga Mawar datang dan duduk di samping penyair. Setelah lama, yang lebih dulu pulang selalu Setangkai Bunga Mawar, namun sang Penyair tak pernah berani mengantarnya atau menemani perjalanannya pulang. Meski begitu, itu tak menjadi masalah. Karena keyakinan tetap menjadi tameng, dan cinta yang mereka punya tak pernah luntur. Begitu mungkin kata penyair yang piawai memainkan pikirannya.
Dari balik dinding kamarnya, tergambar jelas perjanjian yang terpatri di jari Setangkai Bunga Mawar, mengenakan gaun putih yang diterpa angin beserta lemparan bunga-bunga, berdampingannya dengannya melukis senyuman bahagia. Siapa sangka, dari sekadar peristiwa kecil di atas bangku taman, sebuah perjalanan bisa menjadi simpul yang mengikat—tak pernah terbayangkan sebelumnya. Begitulah yang terlintas di benak sang Penyair, terbaring di atas kasur kerasnya, memandang langit terhubung dengan hamparan bintang yang menyambut harapan malam itu.
Namun, kiasan indah tetaplah kiasan dari seorang penyair, karena mimpi datang menyambar ingatan, sementara nafas terhela membawa renungan, dan mata kosong redup tanpa makna. Ketika dia teringat, Setangkai Bunga Mawar yang tergambar di dalam kertas kusut itu datang sebagai pujaan, terlambat menyapa lantunan yang ingin menyentuh telinganya. Namun, kata-kata itu disampaikan dengan paksa, disertai senyuman yang terjahit di atas tembok, dilapisi debu tanpa wangi.