CRY ADALAH LAGU TENTANG PRIA YANG TAHU IA AKAN MENYAKITI NAMUN TETAP INGIN DICINTAI MESKI TAK SANGGUP BERTAHAN
Lagu “Cry” oleh band Cigarettes After Sex (sering disingkat CAS) dirilis pada tahun 2019 sebagai judul track album kedua mereka. Sejak itu lagu ini mendapat sambutan luas dan jutaan kali streaming di berbagai platform musik. Liriknya digubah oleh vokalis sekaligus gitaris Greg Gonzalez, yang mengungkapkan bahwa Cry lahir dari pengalaman pribadinya tentang bagaimana kesuksesan bermusik mengganggu relasi asmara. Dalam wawancara dengan PAPER Magazine, Gonzalez menyatakan bahwa saat ia kerap pergi tur dan fokus pada karier, setiap usaha menjalin cinta “selalu terhalang oleh hal-hal yang saya capai dengan band”. Konflik inilah yang menjadi latar emosi lagu: pengakuan seorang lelaki bahwa ia tak mampu setia dan hanya akan melukai kekasihnya lebih dalam.
Narasi Lirik dan Simbolisme Emosional
Lirik “Cry” dibawakan dengan bahasa yang sederhana namun sarat makna. Narator memulai dengan pengamatan:
“It’s making you cry every time you give your love to me this way / Saying you’d wait for me to stay, I know it hurts you…”.
Dalam bait ini, ia menyadari bahwa cara kekasihnya mencintai justru mengundang air mata, karena kekasihnya setia menunggunya, sementara ia sendiri tahu betapa hal itu menyakiti hati sang kekasih. Pilihan diksi seperti “cry” dan “hurts you” menekankan nuansa kesedihan dan penderitaan. Judul lagu sendiri, Cry (menangis), menjadi simbol universal atas rasa sakit emosional yang muncul akibat cinta yang rapuh. Simbol hati (heart) muncul saat ia mengungkapkan inti konflik batinnya:
“But I need to tell you something / My heart just can’t be faithful for long / I swear I’ll only make you cry.”.
Di sini kata “heart” (hati) dimaknai sebagai simbol jiwa dan komitmen. Pengakuan “hatiku tidak mampu setia lama” mengindikasikan ada keretakan dalam hatinya; ia melihat ketidakmampuannya sendiri sebagai sesuatu yang melekat pada dirinya. Frasa “I swear I’ll only make you cry” (aku bersumpah aku hanya akan membuatmu menangis) menegaskan rasa bersalah dan keputusannya untuk menutup hubungan demi menghindarkan kebohongan lebih lanjut.
Bait selanjutnya melukiskan ambivalensi narator:
“Maybe I’d change for you someday, but I can’t help the way I feel / Wish I was good, wish that I could give you my love now…”.
Ungkapan “Maybe I’d change for you someday” menunjukkan ada niat baik dan harapan untuk berubah di masa depan, namun segera ditolak oleh realitas perasaannya (“tapi aku tak mampu menahan perasaanku”). Rasa penyesalan juga tersirat dalam “Wish I was good” (Andai aku lebih baik), seakan ia mengecam diri sendiri yang dulu baik-baik saja (“I was good” sebelum segala masalah muncul). Secara keseluruhan, lirik ini menggambarkan narator yang sangat menyadari dampak negatif dari kejujurannya: ia tahu keputusan menghentikan cinta “hanya akan membuat kekasihnya menangis”. Kejujuran itu terasa pedih, namun dia menganggapnya sebagai jalan terbaik daripada terus menyakiti dengan kebohongan yang berlarut.
Implikasi Psikologis dalam Lirik
Secara psikologis, narasi lirik ini menonjolkan konflik batin antara keinginan mencintai dan ketidakmampuan berkomitmen. Sesuai pengamatan penulis di Tuned Up, ungkapan “I swear I’ll only make you cry…” melukiskan sosok narator yang sangat menyadari realitas dirinya, berlawanan dengan pandangan naif sang kekasih yang sedang terbuai cinta. Penulis tersebut menyimpulkan bahwa lirik ini “menginferensikan bahwa ia melihat dirinya dalam cahaya yang lebih realistis daripada kekasihnya yang sedang jatuh cinta”. Pendekatan lirik yang gamblang dan halus ini membuat pendengar merasakan kerumitan emosi narator: ia bukan hanya meninggalkan pasangannya secara tiba-tiba, tetapi juga merasa bersalah dan berharap bisa menjadi pria yang lebih baik.
Maskulinitas Rapuh dan Konflik Emosional
Lirik Cry juga dapat dibaca melalui lensa maskulinitas modern. Dalam budaya patriarki tradisional, pria sering diharapkan menampilkan citra kuat, dominan, dan tidak rentan emosinya. Menurut Alodokter, toxic masculinity menuntut pria untuk selalu menyimpan emosi, terutama kesedihan, sebagai tanda kejantanan. Demikian pula, kajian dari Magdalene.co menyoroti bahwa “pria dengan maskulinitas rapuh sering menghindari menunjukkan emosi atau kelemahan” karena mereka khawatir hal itu “merusak citra maskulinitas yang ideal”. Dalam konteks ini, pengakuan narator dalam lirik – bahwa ia gagal setia – sebenarnya menantang norma tersebut. Dengan jujur mengekspresikan kerentanannya, dia memperlihatkan “perasaan yang lembut” seperti penyesalan dan kesedihan, sesuatu yang biasanya pria berlindung untuk tidak tampak.
Konflik batinnya pun cerminan dari fragile masculinity (maskulinitas rapuh). Saat narator menuturkan “My heart just can’t be faithful for long,” ia sesungguhnya mengakui kekurangan pada dirinya—hal yang secara sosial bisa dianggap “lemah” bagi seorang pria. Meskipun budaya mengajarkan pria untuk tak tampak lemah, pengakuan ini justru menggarisbawahi sisi jujur seorang pria yang sadar akan batasannya. Pembawaan vokal Greg Gonzalez yang lembut dan melankolis, seperti pada lagu-lagu CAS lainnya, bisa dianggap manifestasi dari ranah emosi pria yang biasanya terkekang. Maka, Cry menampilkan paradoks menarik: narator menolak arti kejantanan yang kaku dengan membiarkan perasaan bersalahnya tersingkap. Seperti ditegaskan oleh peneliti gender, maskulinitas rapuh tercipta ketika pria merasa gagal memenuhi standar “pria sejati”, sehingga mereka sering menunjukkan perilaku defensif atau agresif. Lagu ini malah menunjukkan sebaliknya: kekuatan narator terletak pada keberanian mengakui kelemahannya, walau itu membuatnya tampak tidak “kuat” menurut stereotip lama.
Dinamika Hubungan Modern dan Komitmen
Pengakuan narator bahwa ia tak bisa setia juga menggambarkan kondisi hubungan percintaan modern yang kerap diwarnai ketidakpastian komitmen. Banyak observasi kontemporer menyoroti bahwa di era pilihan tanpa batas (misalnya lewat aplikasi kencan), orang kini sulit berkomitmen jangka panjang. Sebagaimana dicatat oleh psikolog Barry Schwartz, terlalu banyak opsi membuat seseorang “berjuang untuk berkomitmen pada satu pilihan saja”. Bahkan, menurut pengamat hubungan, komitmen sekarang sering terasa seperti sebuah taruhan. Dalam Cry, hal ini terpantul lewat lirik yang seolah mengakui fluktuasi perasaan: “Maybe I’d change for you someday…” menggambarkan keraguan apakah ia bisa berubah.
Konteks pembuatan lagu menguatkan hal ini: Greg Gonzalez menjelaskan bahwa Cry terinspirasi dari pengalamannya kesulitan mempertahankan hubungan karena karier bermusiknya yang sibuk. Ia mengisahkan pernah merasa cocok (chemistry) dengan seseorang, namun “semua berakhir hancur” karena ia harus selalu pergi tur. Bagi narator lagu ini, demikian pula: kesibukan dan pilihan hidupnya membuat ia melihat kelanjutan hubungan sebagai sesuatu yang “terlalu sulit” hingga akhirnya ia memilih mengakhirinya. Dengan kata lain, lirik ini menggarisbawahi dilema banyak pria modern: keinginan cinta dan komitmen terhambat oleh ambisi karier atau ketidakpastian emosi.
Fenomena ini diperparah oleh “fear of commitment” (takut berkomitmen) generasi saat ini. Sebagian orang lebih memilih tetap sendiri daripada terikat karena berbagai alasan, mulai dari karier yang penuh tuntutan hingga trauma melihat relasi di sekitar yang gagal. Sementara lirik Cry tidak secara eksplisit membahas aplikasi kencan, ia menangkap esensi yang sama: narator tahu pasangannya siap memberikan waktu dan cinta (terlihat dari lirik “You give your love to me this way”), tetapi ia sendiri tidak berada pada posisi yang sama. Ia memutus karena sadar bahwa pada akhirnya “hanya akan menyakiti lebih dalam” dengan menunda atau pura-pura setia. Sikap ini bisa dimaknai sebagai bentuk kejujuran pahit: ia lebih memilih memutuskan rasa sakit sekarang daripada terus membuat luka batin lebih dalam bila ia tetap berbohong tentang kesetiaannya.
Keterbukaan Emosional vs Ekspektasi Budaya Pria
Lagu ini akhirnya menjadi potret budaya pria yang berhadapan dengan harapan tak tergoyahkan. Dalam masyarakat patriarki, pria sering dituntut untuk tak banyak bicara soal perasaan dan “tetap tegar”. Sebagaimana disebutkan di Alodokter, nilai maskulinitas tradisional menempatkan emosi sebagai kelemahan: setiap pria harus pandai menekan kesedihan dan bersikap dominan. Konsep ini mirip dengan apa yang digambarkan BincangPerempuan sebagai maskulinitas rapuh, di mana pria yang menghadapi tekanan tak bisa menunjukkan keraguan dan kelemahan tanpa merasa terancam.
Dalam kontras itu, narator Cry melakukan hal yang dianggap tabu: ia terbuka dan rentan. Ia jujur mengakui kelemahan hatinya, meski tahu kata-katanya akan menyakiti. Justru kejujuran yang menyakitkan inilah yang dominan dalam lagu. Alih-alih pura-pura kuat, ia mengatakan “tapi harus ku sampaikan padamu” sebelum mengungkap ketidaksetiaannya. Hal ini menunjukkan bahwa kadang pengungkapan emosional yang tidak nyaman lebih bijak daripada menahan kebenaran; tindakan yang muncul dari kekuatannya sendiri untuk menghormati perasaan pasangannya.
Analisis media juga melihat sentimen ini. Misalnya, PAPER Magazine menggambarkan album Cry sebagai kumpulan lagu yang menyoroti kerentanan ekstrem dalam cinta, menunjukkan bahwa “cowok-cowok yang sedih pun membutuhkan cinta”. Hal serupa terjadi dalam lagu ini: meski menyiratkan keputus-asaan, suara lembut narator menuntun pendengar memahami betapa ia pun terluka. Dengan kata lain, Cry melukiskan sebuah ironi: budaya menuntut pria tetap kuat, tapi pria ini menemukan kekuatan pada kejujuran emosional—meski pahit.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, Cry oleh Cigarettes After Sex mengandung simbolisme dan nuansa psikologis yang dalam terkait maskulinitas dan cinta modern. Lirik yang terbuka tentang ketidaksetiaan menampilkan sang narator dalam konflik batin: ia menyadari kebohongannya sendiri akan melukai pasangannya (“aku hanya akan membuatmu menangis”), namun memilih mengungkapkan kejujuran daripada terus berpura-pura. Keputusan ini mencerminkan maskulinitas rapuh yang bersedia menantang norma: menggambarkan perasaan lembut dan kerentanan yang biasanya pria sembunyikan. Konteks hubungan modern juga terasa jelas – ketidakpastian komitmen dan pilihan hidup yang rumit – sejalan dengan analisis psikologis bahwa semakin banyak opsi membuat komitmen menjadi “taruhan” yang menakutkan. Cry akhirnya menjadi potret emosi seorang pria yang tidak sempurna: terbuka, menyesal, dan takut, dalam budaya yang kerap mendefinisikan kekuatan sebagai ketiadaan kelemahan. Pendekatan jujur dalam lirik ini menyampaikan bahwa kejujuran kadang memakan korban, namun itu juga bentuk kejujuran emosional yang jarang tersuarakan dalam musik pop masa kini.