Demam Abdul Muluk di Jambi
Sudah tiga kali dalam sebulan ini—terhitung sejak 17 Juni 2025—Abdul Muluk dipertunjukan. Menariknya, Abdul Muluk dipertunjukan oleh dua sanggar yang sangat bertolak belakang. Satu masih setia dalam bentuk dan narasi tradisional (Sanggar Abdul Muluk Mekar Kembali), sedangkan satunya lagi sudah memberontak. Tentunya, saya hadir menyaksikan ketiga pertunjukan ini. Sepertinya, Abdul Muluk menjadi trend pertunjukan teater akhir-akhir ini di Jambi.
17 Juni 2025, sebuah lapangan di Desa Sembubuk disulap menjadi panggung rakyat oleh Yayasan Gena Budaya Nusantara. Entah berapa ratus penduduk Sembubuk yang hadir pada malam itu. Barangkali, tak semua datang untuk menonton, tetapi semua ingin bernostalgia. Setidaknya, Datuk dan Nyai di sana bisa mengingat masa mereka pacaran— duduk berdempetan sambil memakan kacang rebus.
Abdul Muluk hadir malam itu sebagai ingatan kolektif. Dengan narasi, bahasa, lelucon, dan nyanyian-nyayian khas, Abdul Muluk mekar kembali—seperti nama sanggarnya. Tak ada eksperimen. Tak ada ledakan lampu warna-warni. Tak ada dramatisasi yang memaksa—seperti Yunani Kuno. Abdul Muluk hanya memperlihatkan seorang raja yang kalah perang, seorang istri yang menyamar untuk membebaskan suaminya, dan aktor-aktor yang bermain dengan ingatan kolektif. Abdul Muluk versi Sembubuk ini benar-benar terasa tradisional, sayangnya stagnan.
Dua minggu berselang— 29 Juni 2025, saya kembali menonton Abdul Muluk. Kali ini di Taman Budaya Jambi, kelompok yang menamakan diri mereka Abdul Muluk Reborn membawa sebuah nuansa baru dengan pertunjukan Suhay. Saya beranggapan kata “Reborn” mungkin adalah pernyataan sikap bahwa mereka ingin lahir kembali dari tubuh tradisi yang terlalu nyaman dalam pakem. Suhay menceritakan sebuah kisah baru, tak lagi membawa narasi lama dari syair.
Dalam petunjukan ini, Suhay diambil dari nama salah satu tokoh di cerita tersebut yang memiliki tabiat mencuri. Bentuk dan narasi pertunjukan ini banyak melepaskan diri dari pakem tradisional. Tak ada lagi beladun, bekesah, atau aktor yang berusaha mengingat dialog. Pola bloking aktor sudah sangat baik, barangkali ini karena aktornya sudah punya jam terbang yang tinggi. Namun, setidaknya, Abdul Muluk Reborn tetap memakai tawaran-tawaran yang telah diciptakan oleh pelaku tradisi sebelunya, seperti perahu, pantun, dan busana.
Bagi saya, pertunjukan ini penuh kelakar. Tawa penonton meledak berkali-kali. Lelucon disisipkan nyaris di setiap adegan, menciptakan ritme yang hidup, kadang terlalu hidup. Tepuk tangan bersahut-sahutan, tetapi ada yang terasa hilang di akhir. Klimaks cerita kurang tersampaikan dengan baik. Barangkali, ia terseret oleh ombak kelucuan yang terlalu deras.
Saat adegan terakhir ditutup, saya merasa janggal, tokoh Nyai tiba-tiba muncul dan bersenandung sedih karena Suhay yang selama ini peduli dan baik padanya telah diusir. Saya mengira puncak adegan belum datang atau mungkin sengaja disamarkan agar penonton bisa pulang dengan tafsir-tafsir tertentu. Tentu saja, saya pulang dengan tafsir sendiri—Suhay adalah Robin Hood.
Beberapa hari kemudian, saya kembali duduk di kursi penonton. Abdul Muluk Reborn kembali pentas pada 5 Juli 2025 di Taman Budaya Jambi. Saya sempat berpikir gerakan kelompok ini sangat luar biasa, pasalnya belum satu minggu mereka sudah pentas lagi. Kali ini dengan dengan isu illegal mining, seluruh identitas naratif versi lama ditanggalkan pada pertunjukan ini, tetapi tetap dengan kelakar dan lelucon pada setiap adegan. Narasi illegal mining membawa penonton melihat bagaimana pengkhianatan manusia terhadap bumi. Tanah dilubangi, air keruh, dan manusia yang menjual kampungnya demi sedikit emas. Dalam versi ini, Abdul Muluk berubah menjadi simbol luka ekologis, bukan sekadar cerita bangsawan.
Jujur, saya menikmati pertunjukan terakhir ini karena sangat fresh baik secara narasi ataupun leluconnya. Mungkin, Abdul Muluk Reborn mempunyai sebuah tantangan pada garapan selanjutnya, yaitu menyeimbangkan gairah eksplorasi bentuk dengan kedalaman emosi pertunjukan. Di satu sisi, mereka berhasil membebaskan diri dari pakem lama, tetapi di sisi lain mereka juga harus menemukan bagaimana cara mengatur dinamika alur pertunjukan agar tak kalah dengan lelucon dan kelakar dari para aktor. Saya sangat menantikan pertunjukan selanjutnya dari kelompok ini.
Berkat aktifnya pertunjukan Abdul Muluk dalam sebulan ini, saya jadi penasaran bagaimana jika Abdul Muluk ditampilkan secara utuh berdasarkan syair asli dan tetap mempertahankan tawaran bentuk pertunjukan yang telah dibuat oleh pelaku terdahulu? Apakah Abdul Muluk bisa mendunia seperti I La Galigo? Semoga, ada kelompok atau individu yang bisa menjawab rasa penasaran saya melalui eksperimen pertunjukan ataupun kajian. Aamiin. Saya akan mengakhiri tulisan biasa ini dengan pantun.
Anak ruso terjun duo
Terjun duo beranak
Mohon ampun pada yang tuo
Mohon maaf pada yang banyak