Di Balik Pintu Rumah
Ditulis: Dhea Larasati
Dela selalu menganggap bahwa dunia luar adalah panggung teater dan dia adalah aktor yang tak pernah bisa lepas dari perannya. Senyum cerah, tawa kecil, dan kata-kata penuh semangat selalu ia suguhkan untuk orang-orang di sekitarnya. Mereka menganggapnya bahagia, tetapi hanya Dela yang tahu betapa gelapnya hatinya. Setiap malam, kamar Dela menjadi saksi bisu penderitaannya. Suara bising pertengkaran Ayah dan Ibunya menjadi melodi yang terus menghantui.
Sejak kecil, Dela terbiasa mendengar suara keras dari ruang tamu rumah mereka. Ayahnya yang tinggi besar itu sering meninggikan suara, sementara Ibu yang biasanya tenang hanya bisa menangis terisak-isak, terkadang tanpa bisa bicara sama sekali. Mereka tidak pernah bertengkar tentang hal-hal yang besar. Biasanya soal uang, pekerjaan, atau kebiasaan Ayahnya yang sering pulang malam. Namun, semua itu cukup untuk menghancurkan hati Dela.
Suatu malam, Dela berdiri di balik pintu kamar, mendengar pertengkaran mereka.
“Apa yang aku lakukan salah, Nesi? Aku bekerja mati-matian untuk keluarga ini, tapi kamu selalu menyalahkanku!” bentak Ayahnya, suaranya bergema di seluruh rumah.
Ibu menjawab dengan suara gemetar, “Kamu pikir aku tidak bekerja? Aku yang menjaga rumah ini, membesarkan Dela sendirian. Kapan terakhir kali kamu bicara baik-baik denganku?”
“Jangan mulai lagi! Aku sudah cukup lelah!” Ayahnya membanting gelas ke lantai, pecahannya berserakan.
Dela menutup telinga, air mata mengalir deras, sebelum berlari kembali ke tempat tidur dan menangis hingga tertidur.
Keesokan harinya di sekolah, Dela selalu memberikan wajah cerianya. Teman-teman Dela sering memuji keluarganya yang terlihat sempurna. Ayahnya selalu hadir di acara sekolah dengan jas rapi, ibunya tampil anggun dengan senyuman. Tidak ada yang tahu rahasia di balik pintu rumah mereka.
Saat istirahat Dela duduk di kantin bersama teman-temannya. Sarah, teman baiknya yang tersenyum lebar dan berbicara dengan antusias.
“Dela, aku dengar Ayahmu akan datang lagi ke acara hari keluarga minggu depan, kan?” tanya Sarah.
Dela tersenyum tipis, “Iya, Ayahku pasti datang.”
“Wah, keluarga kamu pasti bahagia banget ya. Orang tuamu selalu hadir setiap acara di sekolah, aku iri,” ujar Sarah penuh kekaguman.
Dela hanya tersenyum, meski hatinya terasa hampa. Dalam pikirannya, ia hanya bisa membayangkan gelas yang pecah semalam.
Setelah pulang sekolah, Dela merasa lelah. Bukan hanya karena pelajaran yang penuh tugas, tetapi juga karena ketegangan yang mulai merayapi rumah mereka. Di ruang tamu, Ayahnya sedang duduk di kursi dengan wajah murung, sementara Ibu di dapur terlihat seperti menghindar dari sesuatu.
Dela duduk di meja makan dengan perasaan kosong. Ayah dan Ibunya hanya saling diam. Ayahnya memegang sendok, terus memainkannya tanpa berbicara. Ibunya hanya menatap ke luar jendela, tampak tidak tertarik dengan apapun.
“Dela, hari ini baik-baik saja kan di sekolah?” tanya Ayahnya, akhirnya membuka percakapan setelah lama diam.
Dela menatap Ayahnya dengan hati yang berat, namun mencoba tersenyum. “Iya, Ayah. Semua berjalan lancar.”
“Bagus,” jawab Ayahnya pelan, lalu kembali menundukkan kepalanya.
Dela ingin sekali bertanya, mengapa Ayah dan Ibu selalu bertengkar. Kenapa mereka tidak bisa menjadi seperti keluarga teman-temannya yang terlihat selalu bahagia? Tapi dia tahu, pertanyaan itu tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Malam itu, Dela kembali mendengar suara Ayah dan Ibu bertengkar. Kali ini, suara Ayahnya semakin meninggi. “Apa kamu tidak pernah puas, Nesi? Aku kerja sampai hampir rubuh, tapi di rumah hanya dapat omelan!” bentak Ayahnya.
Ibunya, dengan suara lebih berani dari biasanya membalas, “Dan aku? Aku di sini mencoba bertahan dengan semua kekacauan yang kamu bawa pulang! Kamu pikir ini mudah?”
“Diam, Nesi!” Ayahnya menampar Ibunya. Dela yang mendengar itu, berlari keluar dari kamarnya.
“Ayah, berhenti!” teriak Dela dengan air mata mengalir. “Apa Ayah tidak lihat? Ibu sudah cukup terluka. Aku juga terluka! Kenapa Ayah terus melakukan ini? Apa keluarga kita tidak berarti buat Ayah?”
Ayahnya terdiam, tangannya yang terangkat gemetar. Mata suramnya menunduk, sementara Ibunya memeluk Dela erat, menangis ranpa henti.
Setelah keadaan sedikit reda, malam itu, untuk pertama kalinya, Dela memberanikan diri berbicara dengan Ayahnya di ruang tamu. “Ayah, apa Ayah masih sayang sama Aku dan Ibu?”
Ayahnya menatap lama sebelum menjawab pelan, “Ayah selalu sayang. Tapi kadang Ayah tidak tahu cara menunjukkan itu. Ayah terlalu lelah.”
“Lelah? Ayah pikir aku tidak lelah? Aku harus berpura-pura bahagia di depan semua orang, padahal di rumah seperti ini. Aku ingin keluarga kita bahagia lagi, Ayah. Apa itu terlalu sulit?” suara Dela bergetar.
Ayahnya menghela napas panjang. “Ayah tahu, Dela. Ayah minta maaf. Ayah telah mengecewakan kalian. Tapi Ayah tidak tahu bagaimana memperbaiki semua ini.”
“Cobalah, Ayah. Jangan hanya bekerja untuk kami. Jadilah bagian dari kami. Aku tidak butuh uang Ayah. Aku butuh Ayah di sini, bersama kami,” ujar Dela penuh harap.
Ayahnya menggenggam tangan Dela, matanya berkaca-kaca. “Ayah akan mencoba. Demi kamu.”
Dela merasa sedikit lega, meskipun kata-kata itu tidak cukup menghapus luka yang sudah mengakar dalam hatinya. Ia tahu, luka batin itu mungkin akan selalu ada, dan perasaan kesepian yang ia rasakan takkan hilang begitu saja.
Malam-malam setelah percakapan itu, Dela merasa ada sedikit perubahan dalam dirinya. Meskipun Ayahnya sudah mengakui kekurangan dirinya, rasa sakit itu tetap ada. Setiap kali Dela menatap wajah orang tuanya, ia merasa ada jarak yang semakin besar antara dirinya dan mereka. Perasaan itu seperti bayangan yang mengikuti seiap langkahnya, tak pernah benar-benar hilang.
Pagi itu, Dela bangun lebih awal dari biasanya. Ia duduk di meja makan, menatap secangkir susu yang masih penuh. Ayah dan Ibu belum turun dan rumah mereka terasa lebih sepi dari biasanya. Hanya ada suara jam dinding yang berdetak pelan, mengikuti ritme kehidupan seakan berjalan tanpa tujuan. Dela merasa terjebak dalam kesunyian ini, meskipun di luar sana dunia terus berputar.
Ketika ayahnya akhirnya muncul, Dela hanya menyapa dengan pelan. “Selamat pagi, Ayah.”
“Selamat pagi, Dela,” jawab Ayahnya, namun nada suaranya tidak seramah biasanya. Ada ketegangan yang masih tersisa dari percakapan mereka malam itu.
Ibu datang beberapa menit setelah itu, membawa secangkir kopi. Ia tampak lebih tenang, meskipun Dela bisa melihat ada kelelahan yang masih tergambar di wajahnya. Ibu duduk di meja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka semua duduk diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri.
Dela akhirnya memutuskan untuk berbicara lagi. “Ibu, Ayah, aku ingin kita menjadi keluarga seperti dulu lagi. Aku tahu kalian berdua sedang menghadapi banyak hal, tapi aku merasa kita semakin jauh. Aku ingin kita bisa saling mendengar dan berbicara dari hati.”
Ayah menatap Dela, tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kami berusaha, Dela. Kami berusaha sebaik mungkin. Tapi, semua ini tidak semudah yang kamu pikirkan.”
Ibu menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya di kursi. “Dela, kami tahu ini berat untukmu. Tapi kamu juga harus mengerti, hidup tidak sesederhana itu. Ada banyak tanggung jawab yang harus kami pikul.”
Dela mencoba menahan air matanya. “Tanggung jawab itu penting, aku tahu. Tapi apa kalian tidak melihat bagaimana keluarga kita semakin hancur? Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu.”
“Kami punya cara masing-masing untuk menghadapi semua ini, Dela” ujar Ibunya.
Hati Dela terasa remuk. Ia menatap kedua orang tuanya, mencoba mencari sedikit harapan, tapi hanya menemukan tembok tinggi yang tak dapat ia runtuhkan.
“Jadi, kalian lebih memilih bertahan dengan ego masing-masing daripada mencoba memperbaiki semuanya? Aku sudah mencoba. Aku benar-benar sudah mencoba.”
Ayah memalingkan wajah, sementara Ibu hanya menunduk, tak berkata apa-apa. Sunyi menyelimuti ruangan, menyisahkan Dela dengan kepedihan yang tak lagi bisa ia ungkapkan. Akhirnya, ia berdiri dan berkata pelan, “Aku menyerah. Mungkin memang aku yang selalu berharap terlalu banyak.”
Dela pergi meninggalkan orang tuanya. Namun, perasaannya begitu kuat bahwa keluarganya meskipun saling mencintai, tapi tetap tak mampu membangun jembatan komunikasi yang kokoh. Mereka hanya membiarkan jarak itu tumbuh begitu besar, sementara mereka terus saling berusaha untuk mempertahankan peran mereka masing-masing.
Hari-hari berlalu, Dela merasa hidupnya tetap dalam ketidakpastian. Di sekolah, dia berusaha untuk tetap tampil sempurna, meskipun hatinya terus berontak. Setiap kali teman-teman memujinya atau menganggap keluarganya sebagai keluarga yang bahagia, Dela merasa ada luka yang semakin membesar. Mereka tidak tahu bahwa di balik tawa ceria itu, ada hati yang terluka.
Suatu sore, Dela duduk di taman dekat sekolah, sendirian. Ia menatap langit yang mulai berwarna jingga, merasakan angin sore yang menyejukkan. Ia berpikir, apakah semuanya akan selalu seperti ini? Apakah ia akan terus membawa beban ini sendirian? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya dan ia merasa lelah.
Sarah, teman baik Dela datang dan duduk di sampingnya. “Dela, kenapa kamu tampak begitu murung?” tanya Sarah, matanya penuh kekhawatiran.
Dela mencoba tersenyum, tetapi senyum itu terasa pahit. “Aku baik-baik saja, Sarah. Mungkin hanya terlalu lelah akibat banyak berpikir.”
Sarah menatapnya dalam-dalam, tak membiarkan Dela menyembunyikan dirinya. “Dela, kamu tahu kan, kamu bisa cerita apa saja ke aku? Aku di sini.”
Dela menghela napas panjang. “Sarah, kadang aku merasa seperti berdiri sendirian di tengah kekacauan. Aku ingin percaya kalau semuanya akan membaik, tapi rasanya aku cuma berlari di tempat. Mereka sibuk dengan diri mereka sendiri dan aku? Aku bahkan tidak tahu harus percaya pada siapa.”
Sarah meraih tangan Dela dan menggenggamnya erat. “Dela, tidak apa-apa merasa lelah. Hidup itu penuh dengan ketidaksempurnaan dan itu tidak apa-apa, tapi itu bukan berarti kamu harus kehilangan dirimu. Kamu berhak bahagia, bahkan di tengah semua ini.”
“Aku ingin hidup yang lebih baik, Sarah. Aku ingin bisa berbicara tanpa merasa ada yang menghakimi. Aku ingin bisa merasa bahagia tanpa harus menyembunyikan rasa sakitku.”
Air mata Dela mulai menggenang, tapi ia menahannya. “Aku cuma ingin sebuah rumah yang terasa seperti rumah, Sarah. Tempat di mana aku bisa bicara tanpa merasa tidak didengar. Tempat di mana aku tidak perlu pura-pura bahagia setiap saat. Tapi sekarang, aku rasa itu hanya mimpi. Mungkin, aku harus belajar menerima saja.”
Sarah memeluk Dela dengan lembut, memberikan kehangatan yang Dela rindukan. “Dela, aku tahu kamu kuat. Kadang, menerima memang tidak mudah, tapi ini tidak berarti kamu menyerah. Kamu bisa menciptakan bahagiamu sendiri, meski kecil. Jangan pernah lupa, aku selalu ada untukmu.”
Dela menutup matanya sejenak, merasakan pelukan Sarah. “Terima kasih, Sarah. Mungkin aku belum bisa sepenuhnya berdamai, tapi aku akan mencoba. Aku akan terus mencoba.”
Waktu terus berjalan dan Dela perlahan mulai menemukan cara untuk berdamai dengan segala kenyataan yang ada dalam hidupnya. Pertengkaran yang dulu membuatnya terperangkap dalam rasa sakit kini tak lagi menggerogoti hatinya. Ia tahu, keluarganya tetap seperti itu. Terjebak dalam siklus ketegangan yang tak pernah benar-benar selesai. Namun, Dela mulai menyadari satu hal yang paling penting. Ia tidak bisa mengubah mereka, yang bisa ia ubah adalah dirinya sendiri.
Dela melangkah keluar dari bayang-bayang kebahagiaan palsu yang dulu ia ciptakan untuk dunia luar. Ia mulai lebih fokus pada dirinya. Ia mendengarkan kata hati dan berusaha menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, meskipun dunia di sekitarnya masih penuh ketidaksempurnaan.
Pagi-pagi dalam setiap harinya, Dela tidak lagi tenggelam dalam kekosongan yang dulu menguasai hatinya. Rumah mereka masih sering diwarnai oleh ketegangan antara Ayah dan Ibunya, tetapi Dela tidak lagi membiarkan itu menguasainya. Ia belajar untuk mengabaikan pertengkaran yang terus terjadi, tidak membiarkan kata-kata tajam mereka menghancurkan kedamaian dalam dirinya.
Dela tetap menjadi dirinya sendiri. Dia tidak lagi merasa harus berpura-pura menjadi orang yang sempurna untuk memenuhi harapan orang lain. Dia tetap ceria, tetap membantu teman-temannya, tetapi kali ini, dia melakukan semuanya dengan hati yang lebih ringan tanpa beban. Teman-temannya tak lagi terlalu banyak bertanya tentang keluarganya. Mereka tidak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi di balik pintu rumah Dela dan Dela merasa tidak perlu menjelaskan. Keluarganya tetap menjadi bagian dari hidupnya, namun ia tidak lagi merasa harus menjadikan mereka sebagai alasan untuk tidak bahagia.
***
Suatu sore, saat Dela duduk di taman yang sama di mana Sarah pernah berbicara dengannya, ia merasakan angin lembut menyentuh wajahnya. Namun kali ini, hatinya terasa lebih damai. Ia menyadari, bahwa ia tidak perlu lagi berlarian mencari kebahagiaan di luar sana. Kebahagiaan itu dapat ia ciptakan sendiri, meski dengan kondisi yang jauh dari sempurna. Meskipun keluarganya tetap penuh konflik, Ayah dan Ibunya tetap bertengkar, Dela tahu bahwa ia sudah cukup kuat untuk tetap berdiri tegak dan terus melangkah.
Dalam keheningan sore itu, Dela tersenyum. Bukan karena segalanya sudah sempurna, tetapi karena ia telah menemukan cara untuk berdamai dari ketidaksempurnaan. Ia mulai memahami bahwa hidup bukan tentang memiliki segala sesuatu yang sempurna, melainkan tentang menerima setiap luka dan kekurangan dengan hati yang lapang.
Malam itu, di meja makan yang sama, Dela kembali duduk bersama. Ayah dan Ibu masih terlihat kaku dan suasana tetap dingin. Dela tidak lagi merasa ada beban berat di hatinya. Dengan tenang, ia berbagi cerita ringan tentang harinya tanpa berharap lebih dari percakapan itu. Mereka saling berbicara, meskipun suasana di meja makan tetap sepi. Namun, bagi Dela itu sudah cukup.
Hari demi hari, Dela terus melangkah. Ia tidak lagi menggantungkan kebahagiannya pada hal-hal yang tidak bisa ia kendalikan. Ia telah belajar untuk mencintai diri sendiri, meski di tengah kekacauan. Kini, di balik senyum yang selalu ia tunjukkan, Dela tahu bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang apa yang terlihat oleh orang lain, melainkan tentang bagaimana kita menerima diri kita dengan sepenuh hati. Dela tidak lagi berusaha menjadi sempurna, karena ia telah memahami bahwa ia cukup berharga sebagai dirinya sendiri.
Dhea Larasati, perempuan kelahiran 2004 yang akrab dipanggil Daye, adalah sosok santai yang kerap berkata “tidak apa-apa” sambil tersenyum menghadapi berbagai hal. Dengan prinsip sederhana, “Jalanin aja dulu, urusan keren belakangan,” hidupnya penuh plot twist ajaib yang dihadapinya dengan sikap “yaudah lah.”