Eksistensialisme dan Gen Z: Mencari Makna di Tengah Dunia yang Absurd
Ditulis: Windy Kaunang
Generasi Z dikenal sebagai karakter yang lebih tidak fokus dari milenial, tapi lebih serba-bisa; lebih individual, lebih global, berpikiran lebih terbuka, lebih cepat terjun ke dunia kerja, lebih wirausahawan, dan tentu saja lebih ramah teknologi.
Gen Z adalah generasi yang dikenal dengan sikap kritis, melek teknologi, dan jiwa pemberontak yang anti terhadap standar dan ekspektasi kuno. Hidup di dunia yang serba cepat dan penuh ketidakpastian, Gen Z tumbuh bersama krisis iklim, pandemi, ekonomi yang nggak stabil, dan tekanan dari media sosial. Nah, kondisi ini bikin eksistensialisme, aliran filsafat yang lahir pada abad ke-20, jadi nyambung banget sama mereka. Filsafat eksistensialisme, yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Simone de Beauvoir, mengajarkan tentang kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna hidup yang bisa menginspirasi Gen Z dalam menghadapi dunia yang absurd ini.
- Kebebasan Menentukan Diri Sendiri
Eksistensialisme bilang kalau manusia itu bebas, tapi “bebas” di sini nggak cuma soal kebebasan fisik. Sartre bilang, “Manusia dikutuk untuk bebas,” yang artinya kita punya kebebasan penuh untuk membuat pilihan hidup kita sendiri, tapi konsekuensinya kita juga bertanggung jawab atas semua keputusan itu (Sartre, Being and Nothingness, 1943). Buat Gen Z, yang sering merasa harus hidup sesuai standar tertentu dari media sosial, ini bisa jadi reminder penting bahwa mereka nggak perlu mematuhi harapan orang lain. Gen Z cenderung punya prinsip “jadi diri sendiri,” dan eksistensialisme mendukung banget prinsip ini. Kamu punya kebebasan buat memilih siapa dirimu tanpa perlu mengikuti label atau standar yang dipatok sama orang lain.
- Hidup Itu Absurd, Tapi Tetap Harus Bermakna
Albert Camus, salah satu tokoh besar eksistensialisme, terkenal dengan konsep absurditas. Menurut Camus, hidup ini nggak punya makna yang pasti, dan tugas kita adalah menciptakan makna itu sendiri. Dia bilang, “Harus membayangkan Sisyphus bahagia,” yang artinya meskipun hidup kayak Sisyphus—terus-menerus mendorong batu yang nantinya bakal jatuh lagi—kita tetap bisa bahagia dengan menerima absurditas ini (Camus, Mite Sisifus, 1942). Nah, bagi Gen Z yang seringkali merasa kebingungan atau stress dengan masa depan, konsep ini cocok banget. Hidup memang kadang nggak jelas arahnya, tapi justru itulah tantangan untuk menciptakan tujuan kita sendiri. Gen Z pun jadi semakin sadar kalau mereka bisa menciptakan arti hidup lewat aktivisme, eksplorasi diri, atau hal-hal kecil yang bikin mereka bahagia.
- Otentisitas dan Melawan Kepalsuan
Di era media sosial yang penuh “pencitraan” ini, Gen Z sering merasa harus tampil sempurna atau memamerkan “versi terbaik” mereka. Tapi, dengan prinsip eksistensialisme, Gen Z sadar bahwa jadi diri sendiri—tanpa harus memaksakan diri untuk terlihat sempurna—adalah hal yang lebih penting. Mereka jadi lebih kritis terhadap standar palsu di media sosial dan memilih untuk mengekspresikan diri secara autentik.
- Menemukan Makna di Tengah Krisis Sosial
Gen Z adalah generasi yang sangat peduli terhadap isu sosial seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan kesehatan mental. Eksistensialisme juga menekankan bahwa kita adalah bagian dari dunia yang lebih besar. Sartre bilang, “Keberadaan kita adalah tentang bertindak,” yang artinya kita menunjukkan eksistensi kita melalui tindakan nyata, bukan cuma kata-kata (Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, 1946). Maka nggak heran kalau Gen Z sering terlibat dalam aktivisme. Dengan mempraktikkan prinsip ini, mereka nggak cuma mencari makna pribadi, tapi juga kontribusi yang bisa mereka berikan untuk dunia yang lebih baik.
- Krisis Eksistensial adalah Bagian dari Perjalanan
Gen Z mungkin adalah generasi yang paling sadar akan krisis eksistensial—kebingungan tentang makna hidup, takut gagal, atau bahkan ketakutan akan masa depan. Eksistensialisme mengajarkan bahwa krisis ini adalah bagian alami dari perjalanan kita sebagai manusia. Sartre dan Camus percaya bahwa kita harus terus berjalan meskipun hidup terasa sulit atau tanpa makna yang jelas. Dalam bahasa Camus, “The struggle itself toward the heights is enough to fill a man’s heart. One must imagine Sisyphus happy.” Jadi, bagi Gen Z, krisis eksistensial bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan proses menuju pemahaman diri yang lebih dalam.
Kesimpulan
Bagi Gen Z, yang hidup di era serba cepat dan penuh tekanan, filsafat eksistensialisme menawarkan perspektif yang relevan dan menenangkan. Konsep tentang kebebasan memilih, keberanian menerima absurditas hidup, dan pentingnya otentisitas sangat sesuai dengan tantangan yang mereka hadapi sekarang. Gen Z bisa belajar bahwa mereka punya kendali penuh atas hidup mereka, dan meskipun dunia ini nggak sempurna, mereka tetap bisa menemukan makna dan kebahagiaan dalam setiap keputusan yang mereka buat.
Gen Z dan eksistensialisme adalah pasangan yang cocok di tengah dunia modern yang penuh tantangan. Tetaplah jadi diri sendiri, temukan makna hidupmu, dan ingat bahwa kebebasan itu adalah milikmu!
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka