FIGHT CLUB MENJADI LIAR BEBAS DAN MASKULIN EKSTREM DEMI DIAKUI DI DUNIA KONSUMERISME
Fight Club bukan sekadar tontonan kekerasan basement belaka; film ini adalah surat cinta sekaligus sumpah serapah terhadap masyarakat konsumeris dan krisis maskulinitas zaman modern. Seperti yang disorot The New Yorker, Fight Club jadi “titik fokus eksplorasi maskulinitas pascamodern, rasa marah pria kulit putih, konsumerisme, dan hubungan gender”. Di awal cerita, kita diperkenalkan pada Narator (Edward Norton) yang tenggelam dalam rutinitas boros: rumah bertema IKEA, baju merek terkenal, hingga gorden yang katanya “sempurna”. Namun semua itu ternyata “kapitalis kabut” yang tebal—seperti dikata The Atlantic, suara narasinya lebih mirip iklan TV dan “kabut kapitalis dalam hidup Narator begitu pekat sampai ia kesulitan bercerita tentang kisahnya sendiri”. Inti gagasan kami: hasrat untuk diakui di film ini diwujudkan lewat lompatan perilaku ekstrem nan maskulin – semacam teriak pengakuan dari jiwa yang sengsara.
Konsumerisme dan Kekosongan Eksistensial
Di mata Narator, gaya hidup serba beli-menemukan hanyalah pelarian dari kekosongan eksistensial. Saat condo-nya meledak (hanya karena gas yang diterak-nekan trilyun dolar, uhuy), ia merasakan kelegaan aneh. Seperti yang diolok-olok film, Narator berujar: “Kamu beli furnitur… lalu (beli) gorden… Karpet. Lalu kamu terjebak di sarang indahmu dan barang-barang yang dulu kau miliki, kini memiliki kamu.”. Kalimat satir itu nyolot – kita menjadi tawanan barang-barang mewah kita. Psychology Today menekankan bahwa banyak orang kerja keras hanya untuk “beli sedikit kehidupan yang lebih baik, tanpa tujuan yang lebih tinggi.” Menurut analisisnya, kapitalisme modern “merampas pria dari harga diri mereka, dan dengan logika Fight Club, merampas maskulinitas mereka juga”. Betul: budaya kerja menjauli paling mahal (yang buat highlight headline hustle culture) membuat banyak orang merasa hampa, termasuk sang Narator.
Sarkasme sinis terus berlanjut. Setelah rumah meledak, Narator pindah ke rumah lusuh bersama Tyler Durden (Brad Pitt) yang santai dan sok bijak. Tyler dengan tajam menancap realita: “barang-barang yang kau punya sebenarnya yang punya kamu” berubah menjadi mantra pembebasan. The Atlantic menulis, gaya Tyler yang flamboyan memotong “kabut konsumeris Narator yang suram” dan menyuruhnya “lepaskan, hidupkan diri sedikit, mulai dari awal”. Jadi, konsumerisme – mulai dari sofa sampai dekade Ikat Pinggang Kelnakelin – jadi katup pelepas kecemasan untuk Narator. Pada akhirnya, kelegaan itu hanyalah ilusi: sekadar mengganti sarang mewah dengan ritual kekerasan hitam.
Pelarian Maskulinitas: Bertarung demi Keaslian
Ini film tentang laki-laki yang merasa tak tampak dalam masyarakat idealis konsumer. Mereka haus perhatian, pengakuan, dan solidaritas yang sebenarnya belum mereka miliki. Jalan keluarnya? Buka Fight Club. Di ruang bawah tanah kumuh dengan lampu remang-remang, sekumpulan pria gundul dan macho bergulat habis-habisan. Ironisnya, mereka melakukan ini bukan demi pertunjukan di TV, tapi justru demi menjadi terlihat di mata sesama. Pasca-baku hantam, setiap luka lebam di tubuh mereka jadi medali tak kasatmata. Seperti dicatat Atlantic, tujuan klub tinju awalnya “kacatargori sebagai cara untuk melampiaskan amarah terhadap pekerjaan upah yang membosankan,” namun ironisnya Fight Club justru memperparah keterasingan mereka. Alih-alih sembuh, para anggota revel in it: pesta pora dalam penderitaan masing-masing, saling memamerkan bekas pukulan satu sama lain seperti korban perang modern.
Ritual ini—beladiri darah-darah di got basement—menjadi terjemahan literal dari ungkapan bos dari The Atlantic: pria-pria di film ini benar-benar “sulit berkomunikasi”. Mereka tidak pandai bicara langsung, maka amarah dan kesakitan yang terpendam baru keluar lewat pukulan keras. Setiap babak tinju adalah teriakan: “Perhatikan aku! Aku masih ada!”. Namun Fight Club bukan olahraga heroik; seperti yang ditulis Reviewer, melatih kedewasaan tidak ada di sini. Tyler Durden pun bilang langsung, bahwa self-improvement is masturbation—itu gurauan kebanggaan toxic.
Tingkah anggota Fight Club betul-betul mendekati “macho porn”, kata kritikus Roger Ebert yang merasa berbahaya melihat adegan terobsesi maskulinitas (ya ampun, Trump baru saja gugling Frat Haus sekaligus riset zombie di Netflix). Intinya, Fight Club mengejek pikiran: anggapan bahwa demi pengakuan sosial pria harus menjadi super macho. Mereka pakai kekerasan dan kebrutalan sebagai senjata untuk mendapat jempol dari dunia. Namun film ini – sesuai rencana Fincher– justru mengungkap bagaimana pelarian itu berujung bencana.
Identitas Ganda dan Pencarian Diri
Lewat Tyler Durden, Fight Club menggarisbawahi konflik identitas ekstrem. Si Narator yang pemalu tak terlihat mendadak menciptakan alter egonya yang flamboyan: seorang pria sekuat binatang buas. Seperti dicatat The Atlantic, twist paling mengejutkan film ini adalah sang Narator dan Tyler adalah orang yang sama. Narrator bahkan “tak mengenali hasrat dan fantasinya sendiri” sampai persona Tyler mengambil alih . Kebingungan ini menunjuk satu hal: untuk terlihat, ia membuat topeng terbesar—Tyler Durden.
Dalam sudut pandang psikologis populer, ini mirip dissociative identity disorder ala film Hollywood. Kapan lagi seorang pria bisa cuma ‘ada’ demi diakui? Tyler berani nyablak segala nilai sosial: ia anarkis, sok ulama, gemar sabun-bom revolusi, dan – yang terburuk – berbadan keren dan karismatik. Tyler takjubak jadi role model nakal; ia menggantikan narator sebagai persona yang disegani. Namun Fight Club sebenarnya “menunjukkan krisis identitas maskulin”, seperti yang diulas oleh Dan Olson (dikutip The Week): film ini “membongkar krisis identitas maskulin saat pria kulit putih hetero kehilangan posisi tak tergantikan, beserta reaksi berbahayanya.” Krisis identitas ini tuntas terasa: Tyler mewakili fantasi ekstrem apa yang Narator mau jadi agar merasa berdaya.
Hal menarik lainnya: peran Marla Singer (Helena Bonham Carter) sebagai cermin. Ia tidak hidup dalam mode diam dan sembunyi, tapi terang-terangan bicara. The Atlantic mencatat bahwa Marla punya “keterbukaan yang anathema (bertentangan) dengan kode diam para pria Fight Club”. Saat Marla teriak atau tertawa, itu tepat menggagalkan kemegahan bisu Tyler. Dan inilah puncak gelap film: Narator menembak dirinya sendiri untuk ‘membunuh’ Tyler dan berbicara sendiri kepada Marla. “Kamu bertemu aku di waktu yang sangat aneh,” ujarnya sambil tersenyum—akhirnya ia berbicara untuk dirinya sendiri Momen itu lugas: ia rela kehilangan alter egonya demi diakui sebagai dirinya sendiri.
Semua ini nyambung dengan ide psikologi populer tentang toxic masculinity. Psychology Today menjabarkan aturan-aturan klasik maskulin: “pria harus menanggung sakitnya dalam diam”, “pria tak boleh tergantung pada orang lain”, “pria cuma boleh marah dan berani” . Seluruh Fight Club menantang itu: menekan emosi sampai meledak lewat adu tinju, menolak bantuan sampai cerita sendiri yang samar terkubur. Akhirnya, Narator menolak aturan itu – dia berbisik sendiri “aku sebenarnya takut”, berbicara jujur pada Marla, menolak menjadi automaton maskulin.
Dari Toxic Masculinity ke Hustle Culture dan Sosial Media
Meski berlatar 1999, Fight Club terasa kontemporer: kita masih mendengar gemanya setiap kali ada drama ‘toxic men’ di Twitter atau semangat hustle culture. Sekarang banyak pria memoles citra diri dengan standar alfa ala TikTok. GQ Inggris misalnya mencatat tren “Sigma Grindset” di media sosial: para user membentangkan daftar sifat “sigma male” di atas cuplikan narator Fight Club. Konsep ini memadukan fiksi macho dengan semangat kapitalisme: menurut GQ, “sigma males… adalah kapitalis pejuang [hustlers],” mendorong hidup kaku penuh produktivitas demi jadi lebih ‘alpha’, lebih kaya. Sialnya, pesan mereka (lurus atau nyinyir) serupa dengan aksi Tyler: tampil keras, perkasa, tak pernah tunjuk lelah untuk membuktikan eksistensi.
Lebih lanjut, krisis maskulinitas yang dikritik film tetap ada. The Week (yang mengutip Dan Olson) menegaskan Fight Club “secara terang-terangan mengekspos krisis identitas maskulin” akibat pria tradisional merasa tersisih. Di dunia nyata, sebut saja banyak influencer ala stoic atau tepuk dada tiap bangun pagi, mengekang keraguan dengan mantra motivasi. Mereka mengukuhkan ide toxic: “You met me at a very strange time in my life,” kata Narator—film menertawakan ajaran semu bahwa pria tidak boleh gentar.
Selain itu, platform media sosial pun kehausan pengakuan. Dulu adegan neriko di basement penanda dominasi, sekarang bukti dominasi datang dari jumlah likes atau subscriber. Kalau Tyler dan Narator dulu sabun bikin bom, generasi sekarang punya bom hashtag. Para pria berlaga tegar di depan kamera, bersepeda ala pedagang ala, sepatu olahraga branded – semua demi tampak kece di feed orang lain. Pada dasarnya Fight Club hanya berganti medan: dari tajam tinju di basement, ke pasang sedotan kopi di Instagram; tapi intinya sama: tetap ada keinginan untuk didengar, diakui, dan mendapat tempat.
Akhirnya, film ini mengajari kita bahwa upaya jadi terliar dan setegar mungkin cuma panah terbalik: melukai diri sendiri, menciptakan monster (Tyler), atau bunuh diri secara simbolis untuk bicara. Pada zamannya Trump ini, saat banyak orang marah-marah di media soal gender dan ekonomi, Fight Club tetap relevan sebagai cermin satir. Kekosongan jiwa akibat konsumerisme dan kultur kerja gila (hustle) tidak berubah banyak sejak 1999. Mungkin sekarang caranya beda (scroll feed daripada meninju lawan), tapi hujannya sama: pria tetap menari di ujung jurang eksistensi, berharap sisakan jejak. Dan kalau Fight Club mengajarkan satu hal, itu bahwa manusia—terutama pria yang ingin dilihat—masih mendefinisikan diri lewat kebebasan dan kekerasan simbolik yang ekstrem, sekaligus terus menyanggah kekosongan di sekitarnya.