HARI (CERPEN)
oleh Deni Haryanto
Bulan muda telah lahir, sebagai penanda akan datangnya hari baru yang fitri. Sang fajar menyiram lembut dedaunan yang di tutup embun, embun yang mengepul rindu dan suka cita akannya, layaknya dapur, yang terus berasap untuk menyambut lahirnya bulan muda penanda hari yang fitri itu. Sejak malam, suara gema takbir bersautan dari satu masjid ke masjid lainnya, menyatukan hati dan pikiran satu tujuan untuk kembali fitri, kembali menjadi diri yang bersih tanpa ada noda yang menempel didalam hati ini.
Ku kunjungi setiap rumah, kusambangi setiap insan yang ada di sekitarku. Meskipun begitu, didalam bulan yang suci ini ternyata masih ada noda membandel yang bersembunyi di sela-sela hati manusia, sebuah noda yang selama bertahun-tahun di biarkan begitu saja dan lama kelamaan noda itu terus menyebar dan susah di hilangkan meski dengan pemutih di bulan yang suci ini.
***
Setelah menghabiskan mangkok ketiga dari santapan empal gentong, aku kembali beranjak untuk mengisi ulang mangkok ku ini.
“ya ampun, Tong, eling! Istighfar! Jangan aji mumpung,” ucap nenekku ketika melihat diriku kembali lagi untuk mengisi mangkok besar yang sudah kosong ini.
Mendengar perkataan nenek, akupun hanya bisa tersenyum seraya berucap
“empal buatan nenek, memang paling uenak! Makanya aku sampai tambah terus” Sambil tertawa kecil.
“kalau enak, ya Alhamdulillah, tapi ya kamu harus sadar, kita harus berbagi ke tetangga-tetangga yang lain,” ujar nenekku sembari mengisi kembali mangkok ku.
“tetangga ya? Hmmmm, untuk apa berbagi dengan orang yang tidak mau berbagi ke sesamanya sendiri,” ucapku, sambil diam-diam mengambil potongan lontong yang sudah nenek potong-potong.
“ini nih, generasi muda saat ini. Memang sudah banyak sekali racun yang menumpuk didalam dirinya,” ujar nenek ku, setelah menjauhkan potongan lontong dari hadapanku.
“hm? Racun? Emangnya kenapa dengan racun?” kataku.
“ya racun, racun yang ada di dalam hati yang membuat pikiran kamu itu menjadi enggak karuan seperti ini,” kata nenek.
“diri kita itu, ibarat sebuah gentong atau kendi atau apalah penyebutannya, yang semestinya kita rawat sendiri gentong atau kendi itu. Selain di rawat, kita juga yang menentukan mau di isi apa gentong ini. Di isi makanan lezat kah seperti Empal ini, di isi air yang bisa meredakan dahaga kah, atau bisa saja kamu memilih lumpur, dedaunan, dan reranting untuk di masukkan kedalam kendi diri ini,” lanjutnya.
“dih nenek mah, ada-ada aja, mana mungkin ada orang yang ngisi kendinya dengan lumpur, dedaunan ataupun reranting, memangnya mau diapakan lumpur, dedaunan, dan reranting itu? Dan kenapa harus lumpur, dedaunan, dan reranting yang menjadi contohnya?” tanyaku.
“oalah cucu nenek, nu bager nu kasep. Lumpur, dedaunan, dan ranting itu adalah ibarat penyakit hati yang bersarang didalam hati setiap manusia, kan tadi nenek bilang kalau kendi itu layaknya diri kita kan? Nah kalau tadi lumpur, dedaunan, dan reranting itu adalah penyakit hati, dan si lumpur dan kawan-kawan itu dimasukkan kedalam kendi yang ibarat diri kita itu, jadinya apa?” tanya nenek.
“jadi kotor kendinya,” ucapku
“pinter. Ya begitu dengan banyaknya hati manusia yang ada sekarang ini, karena sudah terlalu banyak penyakit hati yang menumpuk didalam kendi maka jadinya susah hilang. Meskipun sudah dibersihkan berkali-kali tetap saja masih ada sisa kotoran membekas yang akan menempel disitu, makanya kendi diri kita itu harus di jaga dengan baik dan benar. Supaya penyakit-penyakit hati itu tidak terus menerus menumpuk didalam kendi, lalu kita juga tahu mau dimanfaatkan seperti apa kendi ini, baik dari dalam maupun dari luar, mau di letakkan dimana kendi ini? Mau di warnai apa kendi ini? Itu semua kita sendiri yang mengaturnya” jelas nenek.
“sudah nanti lagi ngobrolnya, nah sekarang antar ini ke rumah Bu Carsih, sekalian ambil titipan nenek darinya,” pesan nenek, lalu meninggalkanku bersama dengan semangkok empal hangat yang siap untuk di antar ke rumah Bu Carsih.
“loh empal gentong punyaku mana nek? Perutku sudah keroncongan lagi ni,” rengekku.
“antar dulu, baru nanti nenek buatkan yang paling spesial,” balas nenek.
Dengan langkah yang gontai maka aku turuti permintaan nenek untuk mengantar semangkok empal gentong ini kepada tetangga. Namun, setelah beberapa langkah aku berjalan menjauhi dapur rumah nenek, ada seseorang yang berlari sambil berteriak mengejar diriku, aku yang keherananpun diam memandang seseorang yang berlari kearahku itu.
“pisau. Pisau itu mau kau gunakan apa?” ucap seseorang itu dengan nafas menderu.
“oh ini, mau aku kasih ke tetangga. Nenek yang nyuruh tadi,” kataku
“Ya Allah, Joel. Nenek sudah enggak ada. Sadar Joel, sadar. Nenek sudah enggak ada Joel, dan aku Samsul kakakmu disini untuk mengawasi dirimu yang selalu menganggap nenek masih ada,” ucap seseorang, yang ternyata ia kakak lelakiku.
“jadi nenek sudah tiada?” suaraku tersedat.
“iya, Joel. Nenek sudah wafat,” ucap kakakku.
Langsung seketika semua ingatan dengan nenek yang kucintai kembali hadir di depanku, nenek yang malang telah berakhir hidupnya akibat penyakit asma akut yang telat ditangani. Kematian nenek memanglah menyakitkan bagiku yang sangat menyayangi dirinya, tetapi yang membuat diriku makin merasakan sakit di hati ini ialah, ketika para tetangga yang mana anak-anak kandung dari nenekku tidak hadir di saat nenek menginginkan anak-anaknya ada di sisinya.
Saat itu aku berpikir mungkin saja mereka semua sedang sibuk akan kerjanya masing-masing, tetapi yang membuat aku tak habis pikir ialah saat hari ketiga nenek wafat, para tetangga (anak-anaknya itu) berbondong-bondong datang untuk berbincang mengenai harta warisan sang nenek.
Ada yang sampai bawa penegak hukum untuk mengurus hal itu, ada juga yang cekcok antar saudara karena pembagian warisan yang berat sebelah dan berbagai macam respon lainnya yang ditunjukan saat itu. Mereka tidak pernah sadar akan apa yang mereka lakukan. Yang ada didalam pikiran mereka ialah hanya harta warisan belaka, yang menyebabkan sebuah perpecahan antar saudara.
Kini aku sadar akan semua yang akan aku lakukan, dengan sebuah pisau yang ada di tanganku ini, agar sebuah kedamaian tercipta. Aku kasihan pada nenek yang sudah terbaring kaku didalam tanah mengharapkan cahaya doa dari anak-anaknya, sedangkan sang anak sudah melupakan hal itu dan sedang sibuk akan harta yang menyebabkan perpecahan didalamnya.
***
Kuedarkan pandangan ini, sampai akhirnya mataku tertuju kepada putra sulung nenek yang sedang sibuk berdebat dengan adik-adiknya akan sebuah harta warisan. Kuperkecil jarak secara perlahan hingga tak ada yang menyadari bahwa diriku telah berada tepat di belakang putra sulung nenek, kuhela nafas perlahan lalu kutancapkan pisau ini tepat dileher anak sulung nenek. Pisau yang menancap tepat di urat nadi itu membuat pancaran darah segar mengalir deras, darah itu terus mengalir membasahi tubuh si putra sulung nenek, warna merah pekatnya terus mengalir hingga tercipta sebuah kubangan darah segar dengan bau yang menyengat akannya.
Situasi semakin tak terkendali, semua orang berhamburan keluar dari kediaman sang nenek, teriakan-teriakan saudara yang lain menjadi latar belakang situasi yang terjadi. Guratan senyum tercipta di wajahku, sebuah rasa puas tercipta akannya, terbayang didepanku nenek sedang tersenyum serta menangis melihat hal ini, kemudian kupandangi putra sulung nenek yang sedang berkubang didalam darah itu. Ia yang tak lain tak bukan ialah ayahku sendiri.
21 Maret 2023
.
.
.
Tentang Penulis
Deni Haryanto, email haryantodeni121748@gmail.com ,lahir di Jambi, 12 Maret 2004, kini saya tinggal di Desa Cilaja Dusun Pahing Kecamatan Kramatmulya, 088274254802, id IG haryantodeni121748 saya memulai hobi membuat karya sastra ini ketika saya dikelas 9 Sekolah Menengah Pertama, semasa Madrasah Aliyah di MAN 2 KOTA JAMBI saya mengikuti ekskul Sanggar Seni Teater Alief dan di situ semua imajinasi tersalurkan hingga sekarang, meskipun banyak halang rintang yang saya hadapi tetapi saya sangat menikmati bergelud didalam dunia sastra ini.