DULU BUMI MELAYU, SEKARANG BUMI JUDOL: DARI KEJAYAAN BUDAYA KE KEGILAAN JUDI ONLINE YANG MERUSAK GENERASI
Provinsi Jambi tiba-tiba mendadak terkenal bukan karena prestasi positif, melainkan malah dinobatkan sebagai daerah tertinggi kasus judi online (judol) nasional. Gubernur Al Haris mengungkap Kapolri memasukkan Jambi “masuk lima besar provinsi dengan tingkat perjudian online tertinggi di Indonesia”. Pernyataan serupa muncul keesokan harinya dari sang gubernur sendiri: “ternyata Jambi ini paling tinggi kasus judi online”. Data inilah yang mengejutkan publik, apalagi karena melibatkan anak-anak SMP dan SMA hingga para ASN. Jika angka-angka ini dikemas sebagai prestasi, memangnya pemerintah dapat piagam? Tentu tidak – yang ada sindiran keras dari warga: Jambi lebih dikenal sebagai “rusun lampu merah” jugai online daripada barometer kemajuan.
Akar Sosial-Ekonomi: Kemiskinan, Pengangguran, dan Godaan Mudah
Munculnya fenomena judi online berskala massal tak lepas dari deret faktor sosial dan ekonomi. Kementerian Kominfo bahkan mencatat 2,7 juta warga Indonesia terjerat judi online, didominasi usia muda. Faktor ekonomi menjadi pemicu utama: sulitnya mendapatkan pekerjaan, harga-harga tinggi, pendapatan di bawah rata-rata membuat banyak orang terdesak mencari jalan pintas. Di Jambi yang angka kemiskinannya naik menjadi 7,26% atau sekitar 272.200 penduduk pada September 2024, “iming-iming menghasilkan uang besar” lewat judi online sangat menggoda. Seperti disitir ANTARA News, “faktor ekonomi menjadi pendorong utama” terjun ke judi daring karena problem keuangan dan sulitnya penuhi kebutuhan. Ditambah lagi tingkat pengangguran Jambi yang masih di atas 4%, banyak orang yang — alih-alih menunggu kerja atau berwirausaha — menghabiskan waktu di layar ponsel memainkan slot dan togel digital.
Faktor teknologi dan promosi agresif juga memperlebar jurang ini. Iklan judi online nyaris mengintip di setiap kanal media sosial atau game yang diakses anak muda. Wakil Wali Kota Jambi, Diza Hazra Aljosha, membenarkan melihat banyak pop-up iklan judi di platform daring: “Saya sendiri pernah melihat pop-up iklan judi … Maka kita perlu kerja sama dengan Kominfo untuk memblokir akses tersebut,” katanya. Ketika pemerintah kewalahan menutup situs-situs judi, bandar selalu punya akal membuka jaringan baru. Anak-anak kecil usia 10 tahun pun yang semula cuma main game jadi ikut ‘tenggelam’ karena kelangkaan hiburan sehat dan lemahnya pengawasan.
Respons Pemerintah dan Aparat: Patroli Siber, Pemblokiran, hingga Sanksi ASN
Di sisi pemerintahan daerah, langkah pun diambil agar Jambi tak hanya “jago judi” tetapi juga disiplin. Gubernur Al Haris meminta sekolah dan orang tua mengawasi anak agar tak terjerat judi. Wakil Gubernur Abdullah Sani memberi sinyal tegas: “kalau ada kepala sekolah main judol, pecat. Guru main, pecat… segera keluarkan dari sekolah”. Bahkan Pemkot Jambi menggelar tes urine bagi ASN serta sweeping rutin judi online demi memastikan tak ada pegawai negeri terjerat judi. Dalam tes kejiwaan sembari Swab, Diza Hazra mengaku Pemkot juga memblokir iklan judi di jaringan Wi-Fi pemerintah serta memberi sanksi tegas (SP hingga pencabutan jabatan) terhadap pegawai yang ketahuan berjudi. Semua ini jadi bagian “operasi senyap” mengamankan generasi muda: pelatihan soft skill, pembinaan kepemudaan, serta melibatkan Kominfo memotong akses konten haram.
Dampak Sosial-Ekonomi: Dari Rumah Tangga Terhancur hingga Generasi Terancam
Tingginya angka judi online tidak tanpa konsekuensi. Kehancuran rumah tangga sudah nyata: data Pengadilan Agama Jambi mencatat perceraian tahun 2022–2024 mencapai 4.251 kasus, dan judi online jadi salah satu “faktor penyumbang utama” perceraian. Panitera Pengadilan Agama mengakui, alasan perceraian kini “cukup menonjol karena judi online” selain narkoba dan persoalan klasik lainnya. Banyak kaum ibu yang patah hati mendapatkan suami kecanduan judi; istilah “judi online merajalela, kebanjiran janda muda” pun mengemuka dengan getir di media lokal.
Kritik, Sindiran, dan Harapan Pahit di Opini Publik
Media dan publik merespons fenomena ini dengan nada miris dan satir. Beberapa tayangan menyoroti betapa Jambi “berhasil” masuk daftar tertinggi judol—seolah-olah prestasi yang membanggakan. Tetapi sindiran juga datang: media lokal menyorot “rapor merah” pemerintah Jambi karena gagal menekan kemiskinan dan justru malah menjadi provinsi miskin pengejar judi. IMCNews menyebut Jambi mengalami kenaikan kemiskinan signifikan, menuding pembangunan pemerintah lebih pro proyek megah daripada kesejahteraan rakyat. Perbandingan getir: biaya besar untuk stadion mewah tidak menyelesaikan masalah tapi siswa sekolah didik justru tertarik “game” judi online.
Beberapa tokoh pun mengingatkan sinis, di antaranya Ketua LAM yang “mengingatkan keras agar tidak terlibat judi online”—seolah secara halus mengecam lambannya penegak hukum menangani masalah sekelas ini. Opini di media menggarisbawahi ironi: Provinsi Jambi berubah nama menjadi “Jambi Kasino” dengan predikat teratas, sementara mestinya dikenal karena seni dan kuliner. Sindiran lain muncul di media sosial yang menyindir jargon “nomor satu” Jambi: pemimpin dan pejabat kini ditagih pertanggungjawaban, bukan pujian. Harapan masyarakat adalah langkah penegakan tegas yang tidak berhenti pada retorika.
Fenomena judi online di Jambi adalah alarm kemunduran moral dan ekonomi: daripada bangga, publik menganggap ini aib yang harus segera dibasmi. Dengan data valid dari aparat penegak dan lembaga riset—mulai dari patroli siber hingga laporan pasar—tampak jelas pemicu dan solusi yang ditawarkan. Yang tersisa adalah niat serius untuk mengembalikan Jambi pada jalur pembangunan yang sehat, bukan “jalur cepat” kebangkrutan digital.