JAMBI: MEMOAR, MORAL, DAN MEDITASI
Dia telah datang. Dosa-dosa yang selama ini mengintai dari kejauhan. Dosa- dosa yang menunggu kesadaran tuannya terhadap apa yang telah dilakukan. Sekali lagi, dia menyadarkan bahwa tuannya masihlah manusia yang kaya akan keegoisan dan keserakahan. Sekali lagi, dia memanggil ingatan yang terusir oleh kesenangan dan pemikiran yang enggan terkekang kewajiban.
“Jambi” satu kata yang terlihat, terbaca, dan terdengar pada pagi ini. Satu kata yang menghadirkan gelisah, ketakutan, dan penyesalan. Satu kata yang merobek kelopak mata dan membelah keyakinan.
“Aku, apakah aku adalah benar? Atau aku adalah salah?” tanya logika kepada rasa yang terguncang.
“Aku tidak tahu. Jangan todong aku dengan kebingunganmu!” jawab rasa marah.
“Kenapa kau lepas tangan begitu? Bukankah kau yang meyakinkanku untuk angkat kaki dari sana?!”
“Jadi, sekarang kau menyalahkanku? Bukankah kau yang berpikir bahwa tak ada celah untuk kita menjadi lebih baik lagi di sana?”
“Ya, aku mengakui bahwa itu adalah aku. Aku yang menggagas ide untuk
lari dari tempat itu, tetapi kau harus ingat satu hal. Kegelisahan yang kau bangun adalah akar masalahnya.”
Logika dan rasa saling menyerang. Mereka mencari celah dalam argumen- argumen yang menguap di udara. Mencari siapa yang sebenarnya salah atau mungkin siapa yang bisa untuk disalahkan. Itu bukan sesuatu yang mudah. Tidak, mungkin lebih tepat jika dikatakan itu hal yang percuma. Sebab, mereka adalah kesatuan dari tuannya yang telah menghardik bahwa dirinya salah.
Dahulu, seandainya saja tidak pergi. Mungkin moral di sana tidak akan terinjak, tradisi tidak akan ada yang hilang, dan pendidikan tidak hanya akan jadi sekadar formalitas. Sungai tidak akan mungkin ternoda, hutan tidak akan mungkin tumbang, dan jalanan tidak akan melahap jiwa. Mungkin, mungkin, dan mungkin.
Kini, hanya mengandai-andai yang bisa dilakukan. Sama seperti dahulu, ketika kaki hendak diangkat dan dijatuhkan di tanah orang. Mengandai-andai bahwa hidup bisa menjadi lebih baik, lebih dihargai, lebih dihormati, dan lebih mentereng. Bedanya, apa yang diandaikan masa itu semua benar telah terjadi. Sementara, yang kini hanyalah sebuah dopamin.
Kembali lagi pada pagi ini, ketika Jambi menjadi topik dalam pemberitaan. Aku bisa melihatnya. Tanah kelahiran yang kini tiada lagi kukenal. Teman perjalanan yang kutinggalkan karena keegoisan dan keserakahan seorang bujangan. Gudangnya kenangan dan penyesalan yang akan kubawa hingga liang lahat.
Ketika aku melihat Jambi, tergambarlah dengan jelas dosa-dosaku yang telah melarikan diri. Lari dari tanggung jawab sebagai bagian dari generasi, yang seharusnya menjaga moral, menyambung tradisi, dan menjadi seorang pendidik. Kutinggalkan tanggung jawab itu untuk menggapai kehidupan yang lebih mulia, menaikkan derajat silsilah, dan mendapatkan afirmasi dari isi dunia.
Pada akhirnya, kuteguk sesal itu, kulahap dosa-dosaku, dan kuyakinkan bahwa aku tidak bersalah. Aku juga manusia, aku makhluk yang sombong, serakah, dengki, penuh amarah, bernafsu, rakus, dan malas. Bukan hanya aku yang ada di dunia, bukan hanya aku yang lahir di sana, dan bukan hanya aku yang seharusnya kau nistakan.
Jambi adalah bagian dari dunia. Tempat di mana manusia dihukum dan diperintah memimpinnya. Dan sebagai seorang pemimpin, sudah sewajarnya seluruh umat manusia bertanggung jawab atas kerusakannya.
Mendalo, 25 Oktober 2023
Penulis: Ridho Amanta Rajak seorang guru muda