KELAPA PAK REMI
Karya Aldi Muheldi
Bekas rumah Pak Remi sudah dibiarkan lusuh tak terurus hampir sembilan tahun semenjak dia dan keluarganya pindah ke Semarang, entah kenapa mereka pindah tidak ada satu pun orang di sekitar rumahnya tahu, termasuk pak RT. Di depan halaman rumahnya rerumputan sudah meninggi hingga sebatas lutut orang dewasa dan menyisakan satu batang kelapa tinggi yang keliatan segar karena baru berbuah.
Dan Minggu ini banyak warga yang lewat di depan bekas rumah Pak Remi itu, bolak balik melihat begitu segarnya kelapa yang tumbuh menjulang tinggi ini. Salah satu dari warga sekitar ada yang mau mengambil dengan mencoba memanjat, tapi dari belakangnya ada yang menegur dengan menepuk pundaknya. Seorang pria tua bertopi koboi berjanggut putih yang menyelimuti seluruh dagu. Orang tua itu memarahi warga, namun suaranya tidak seperti marah
“Kau tidak boleh memanjatnya, coba cari cara lain!” Wajahnya begitu datar dengan kumis yang sedikit memanjang di atas bibirnya
“Ba..baik,” warga itu menjawab agak sedikit takut lalu turun, dan berjalan menjauh dari pria itu.
Wajah ketakutan membuat Warga itu berlari kencang keluar dari halaman rumah. Pria tua itu pun juga ikut pergi berjalan keluar dari halaman rumah dengan tongkat yang menopang badannya dan menghilang berlalu setelah belok ke arah kanan.
Berhadapan langsung dengan rumah Pak Remi ada seorang pria muda yang selalu mengintip dari balik tirai jendela jika sesekali melihat ada orang yang akan mengambil kelapa itu. ia melakukannya hampir setiap kali pada saat dia pulang kuliah. Papan nama yang terpampang di rumah ini bertulisakan Ara, mungkin itu namanya.
Orang-orang sekitar tidak terlalu mengenal Ara, karena dia sendiri kurang bersosialisasi dengan tetangga-tetangganya, mungkin dia tidak ada waktu untuk bersosialisasi karena terlalu fokus melihat orang-orang yang mengambil kelapa Pak Remi. Sebagai mahasiswa dia memang sangat aneh, sehabis pulang kuliah tidak ada kegiatan. Memang baru kali ini pohon kelapa itu berbuah, setelah sekian lamanya. Mereka yang memandang pohon kelapa itu seakan-akan terpanggil untuk mengambilnya. Tak ada rasa segan yang terpampang dari wajah mereka ketika mereka mengambil kelapa yang mengoda itu, bahkan orang dewasa yang bisa dikatakan sudah bisa merasa malu pun juga ikut tergoda.
Lantaran rumah itu sekarang tidak ada yang menunggu, dan juga belum tahu status rumah tersebut dijual atau tidak, sungguh tidak ada informasinya. Menurut cerita beredar rumah itu memang tidak jual, karena akan ditempatkan kembali dengan Pak Remi.
Lucunya setiap ada yang mau mengambil kelapa itu, Ara seakan-akan mempunyai sebuah firasat yang sangat kuat, entah itu ketika dia mengerjakan tugas-tugas kuliah, mandi, dan tidur siang sekalipun, tapi firasat itu akan hilang ketika dia sudah berada jauh dari rumah. Rasanya memang cukup aneh pemuda ini, sebagian hidupnya digunakan hanya untuk memata-matai orang yang tergoda untuk mengambil kelapa muda, di tanah yang tidak tahu statusnya.
Setelah pulang kuliah, kursi selalu siap berada di depan jendela, dengan semangkuk Mie instan dan es teh manis. Tidak ada lagi kenikmatan yang sangat bisa disyukuri selain itu, mungkin itu yang ada di pikiran Ara. Televisi di rumahnya bukanlah cara dia untuk mengisi kekosongan waktu, kecuali jika Timnas Indonesia sedang bertanding, pasti dia akan menyetel televisinya saat itu.
Piring dan gelas yang sudah kosong diletakannya saja di bawah, karena biasanya setelah mengintip itu dia baru membereskan semuanya, sebelum aktivitas mengintipnya selesai pantang sekali baginya untuk melakukan apapun, meski itu tidur sekalipun, dan juga tugas pun pernah dia tidak kerjakan.
Sebenarnya dia bisa saja langsung menegur siapapun yang akan mengambil kelapa itu, tetapi tidak ada hak baginya untuk melakukan itu, dia hanya pemuda biasa belum pantas menegur siapapun, hanya dikarenakan banyak orang yang ingin mengambil kelapa muda di tanah yang tidak memiliki status. Meskipun nanti dia sudah bisa dikatakan seorang yang bergelar sarjana, ia merasa dirinya memang tidak mempunyai hak untuk menegur orang atau melarang untuk mengambil kelapa.
Beberapa jam sudah Ara duduk di depan jendela. Matanya seakan-akan sayup-sayup tertutup, beberapa menit sekali menguap lebar, tapi tidak juga ia melihat seseorang mencoba mengambil kelapa itu. Sampai akhirnya ada mobil yang berhenti tepat di depan rumah Pak Remi, orang itu keluar dari mobil, badannya tinggi, memakai kaca mata hitam dan setelan kemeja rapi. Di tangan kanannya dia menjinjing sebuah tas, di tangan kirinya seperti telepon genggam merek terkini.
“kali ini orang yang berbeda, aku tidak pernah melihat seseorang bergaya seperti ini sebelumnya,” Gumamnnya.
Telepon genggam orang itu berdering, lalu diangkatnya. Ara hanya bisa melihat saja, suara dari pembicaraan orang itu tidak dapat didengarnya dari jarak ia duduk sekarang. Entah apa yang pria itu bicarakan dengan seseorang yang berada di dalam telepon genggamnya.
Semula, tidak ada keanehan yang terjadi, ketika seseorang datang lagi dengan setelan yang tidak kalah rapi, dari pemuda yang tadi. Sepertinya itu bukan orang yang berbicara dengan pria sebelumnya lewat telepon, soalnya jarak waktu dia menelpon datang sangatlah singkat. Dua pria itu berjabat tangan, entah apa maksudnya, mungkin mereka sudah lama tidak bertemu.
Ara melihat dengan serius, sampai matanya lupa untuk berkedip. Perbincangan terlihat serius, sampai pria yang datang pertama mengangkat telepon kembali dan berpamitan begitu saja. Ara berpikir mereka sedang merencanakan sesuatu untuk membeli tanah Pak Remi.
“Jangan sampai yang aku pikirkan ini memang benar, tidak ada yang boleh membeli tanah itu,” dia bergumam kesal.
Keadaan jadi semakin mengejutkan sampai pria yang baru datang itu melirik ke atas. Ara jadi semakin merasa sangat penasaran apakah benar orang seperti pria itu akan memanjat pohon kelapa yang tidak seberapa, memang tampaknya terik matahari sangat menyengat pada saat itu, sesekali pria itu menghelus-helus kerongkongannya yang kering.
Seketika batu yang ada di bawah kakinya diambil dan dilemparnya ke atas, berkali-kali sampai satu lemparannya berhasil mengenai kelapa itu. sedikit ada rasa kesal dari pria itu, terlihat dari raut wajahnya, kembali dia mengambil batu yang berada di tanah dan dilemparnya lagi, tapi belum sempat tangannya berayun, dari belakang sudah ada yang menahan laju tangannya.
Pria tua dengan topi koboi itu lagi yang mencegah, dia kembali menegur. Tatapannya begitu tajam, raut mukanya tidak ada kesan marah. Ketakutan terlihat dari wajah pria rapi itu, genggaman batu yang berada di tangan kanannya terlepas, kaki bergetar hebat.
“Coba cara lain!” kata pria tua itu.
“Saya hanya membersihkan tempat ini saja pak,” Jawab pria rapi ketakutan.
“Bersihkan dengan cara lain!” balas pak tua, sambil melepas pengangannya yang kuat.
Sang pria rapi tersenyum ketakutan, dengan langkah teratur dia lalu berlari menjauh dari sana. Pria tua hanya menatap datar dia berlari, sampai menghilang di persimpangan jalan. Tidak berapa kemudian pria yang datang pertama kembali lagi ke tempat semula, kebingungan karena temannya tidak ada, yang ada hanya pria tua.
“Pak, maaf, mana ya orang yang berada di sini tadi?” dia bertanya dengan sopan.
Tanpa ada jawaban dia pun pergi meninggalkan pria itu. berjalan dengan tongkatnya. Pria tua itu tidak kembali lagi sampai dia hilang di persimpangan jalan. Pria yang datang pertama, terlihat tidak tertarik dengan kelapa yang berada di belakangnya. Mata pria itu sekarang tertuju ke rumah Ara, karena dia sudah merasa di lihat, dari balik tirai di mana Ara mengintip.
Langsung tanpa rasa takut, pria ini berjalan menuju rumah Ara, lalu mengetuk pintunya.
“Permisi.” Ara tidak menjawab juga, dia takut pria ini menjadi gila lalu menghantamnya dengan kuat ke dinding. Sekarang Ara berada di depan pintu, dengan ragu-ragu dia mencoba membuka pintu, tapi tidak jadi. Kembali pria itu mengetuk pintu lagi.
“Permisi.”
“Aduh. Mati aku,” Kata Ara kepanikan
Dengan berani dia lalu membuka pintu dan memasang wajah biasa, pria itu pun juga membalas dengan senyuman. Dugaan Ara salah, dia hanya ingin bertanya saja tentang temannya yang tiba-tiba menghilang.
“Apa mas melihat pria yang berada di sana tadi?”
“Saya melihatnya dia lari ke arah kanan persimpangan jalan.” Jawabnya dengan tenang.
“Kenapa ya dia lari?” tanyanya lagi penasaran.
“Tadi dia ingin mengambil kelapa yang berada di rumah yang tidak berpenghuni itu, tapi tiba-tiba seorang pria tua mencegahnya, entah apa yang pria tua itu katakan sehingga pria yang bersama anda tadi pergi dan berlari ketakutan?”
Pria rapi yang datang pertama ini merasa penasaran, dia melirik ke atas pohon, tapi tidak begitu tertarik untuk mengambil kelapanya. Mungkin tidak ada waktu bagi pria itu untuk mengambil kelapa yang bisa ia beli setiap saat, karena pria ini terlihat seperti seorang pengusaha.
“Ya, kalau begitu terima kasih, saya permisi dulu,” Ucapnya sambil berjalan keluar halaman rumah.
Ara kembali menutup pintunya dan duduk di kursinya yang sangat nyaman. Mengintip lagi siapa yang akan mengambil kelapa yang berada di rumah pak Remi. Mobil yang dikendarai pria tadi pun berlalu dari hadapannya, dan sejak saat itu jalan masih sepi dengan orang-orang yang mencoba mengambil kelapa muda pak Remi. Sampai matahari tergelincir dan kembali muncul, jalanan masih sepi. Hanya ada tukang roti yang biasa lewat di depan menjajahkan dagangannya pagi-pagi buta. Ara tidak pernah membelinya karena dia lebih suka memborong roti di mini Market untuk persediaan beberapa Minggu. Setiap pagi dia selalu sarapan roti duduk di kursi yang selalu di letakkan di depan jendela, biasanya roti itu di temani segelas susu cokelat panas.
“Pagi ini keliatan tenang,” Ujarnya sambil mencelupkan roti ke dalam susu.
Rasa penasaran tersentak di kepala Ara, ia lupa kemarin pria yang ketakutan itu tidak kembali-kembali lagi. Apakah dia menghilang begitu saja? Entahlah, Ara tidak akan memikirkannya, tetapi yang ada di pikirannya saat ini tidak itu saja, pria tua yang menegur orang-orang yang ingin mengambil kelapa selalu datang pada saat yang tepat.
Sabtu, perkuliahan libur tidak ada jam tambahan. Benar-benar hari yang sangat bebas untuk mengintip, semua sudah dipersiapkan Ara kali ini sebuah bangku kecil untuk menopang kakinya dan sebuah bantal di belakangnya. Tidak ada buku, tidak ada tugas, hanya sebuah rasa penasaran di pagi yang cerah siapa yang akan mengambil kembali kelapa itu.
“Kali ini seorang pasti akan mencoba mengambilnya.”
Tak lama setelah dia berbicara, tiba-tiba banyak orang-orang yang berdatangan mengerumuni rumah pak Remi, seperti wartawan, mobil-mobil beberapa stasiun tv berparkir di sana, menutupi sedikit pandangan Ara. Ia merasa terkejut, kejadian seperti ini membuatnya keluar dari rumah dan berdiri di teras memandangi kerumunan wartawan yang meliput.
Dari arah yang berbeda terlihat mobil yang kemarin berada di rumah pak Remi datang kembali kali ini dia menghampiri Ara, dan langsung seketika menjabat tangannya. Ara kebingungan tidak ada orang yang seperti ini dia temui sebelumnya, pria ini tersenyum.
“Berita ini sangat bagus mas,” Katanya dengan semangat.
“Berita apa pak?” Tanyanya bingung.
Telepon berdering dari saku celana pria itu, seketika dia pun berlalu menjauh dari rumah Ara dan langsung bergabung dengan kerumunan. Kebingungan masih tergambarkan dari raut wajahnya, entah apa maksud dari semua ini, yang terpenting dari itu, semua kelihatan berbeda dari sebelumnya.
Setelah wartawan pergi dan benar-benar tidak ada lagi, pohon kelapa itu diberi garis polisi. Orang-orang sekitar banyak yang berkumpul penasaran dengan pohon kelapa itu, ada yang menyentuhnya, berdoa di sana, dan ada yang sekedar berfoto-foto saja seakan-akan berada di objek wisata.
Ara duduk di bangku biasa dia mengintip. Sepertinya orang-orang sekarang lebih tertarik dengan cerita aneh yang terdengar dibandingkan kelapa muda yang beberapa Minggu ini sangat menggoda. Dia merasa tidak ada hiburan lagi, televisi itu bukan sebuah hiburan dia bilang. Dengan rasa kecewa dia beranjak ke tempat tidur dan terlelap sampai matahari kembali terbit.
Dia tidak duduk di kursi di mana dia biasa mengintip. Ia langsung membuka pintu dan mencium bau segar pagi, orang-orang yang masih sepi dari aktivitas burung-burung masih tidur, hanya ayam yang berkokok membangunkan orang, tapi seketika terkejut di depan rumah pak Remi kelihatan berbeda tidak ada lagi dia melihat pohon kelapa yang berdiri kokoh beserta kelapanya yang senang tiasa membuat orang yang lewat di depannya tergoda.
Garis polisi masih tampak mengelilingi pohon itu, tapi kali ini terlihat sangat berbeda.
“Wah, ini sangat mengerikan, aku tidak menyadarinya,” Katanya dengan kesal.
Dia berlari mendekati halaman rumah pak Remi, sambil menatap kosong sekitar halaman. Yang aneh tidak ada batang yang rebah di sana, sepertinya seseorang memotongnya dan langsung menyingkirkan bekas rebahan kayu itu, karena tidak ada sesampahan di sana, tidak ada juga jejak kaki apapun di sana.
Sampai akhirnya pria kemarin datang menghampiri, sambil memukul pundak Ara dengan pelan, dia hanya mengungkapkan rasa kekecewaannya juga, karena ruang beritanya sudah hilang. Ara tidak menghiraukan pria itu, dan saat itu juga wartawan kembali datang meliput, dia pun bergabung dengan kerumunan wartawan. Seseorang dari jauh datang masuk dalam kerumunan dia membawa sebuah tongkat yang biasa pria tua bertopi koboi bawa.
“Semua ini ulah pak Remi, semuanya hanya kebohongan yang ada di sekitar kita,” Katanya lalu pergi ke arah bekas pohon dan meletak tongkat di sana.
“Pak Remi sudah tidak ada, bukan pergi keluar kota.”
Dan air mata Ara pun menetes seketika.
Beringin, di saat pikiran benar-benar tidak sempurna, 18 Desember 2016