Ketika Tradisi Tidak Sekadar Ditampilkan
Malam itu, panggung Teater Arena Taman Budaya Jambi bergetar oleh tawa, tepuk tangan, dan perhatian yang nyaris tak terbagi. Teater Abdul Muluk Reborn tampil membawakan lakon Suhay. Arena penuh sesak oleh penonton lintas generasi. Barangkali, kehadiran penonton turut dipengaruhi oleh pameran seni rupa yang berlangsung bersamaan, juga momen libur sekolah. Namun, yang terasa lebih kuat, kerinduan kolektif akan hadirnya dalam ruang nyata. Ruang yang hingga sekarang masih sulit tergantikan.
Kehadiran penonton menjadi nyawa kedua dalam pertunjukan. Respons spontan memberi ruang hidup bagi para pemain. Akan tetapi, respons penonton juga menuntut kedewasaan dari para pemain. Mereka harus mampu menahan dan mengatur emosi, menjaga ritme permainan agar tidak larut dalam euforia sesaat. Apabila tidak terjaga, respons yang meriah justru bisa mendorong pemain tampil berlebihan, melampaui porsi, bahkan berisiko mengaburkan pesan utama, merontokkan dinding dramatik yang dibangun. Saya anggap malam itu cukup aman.
Menariknya, malam itu bongkar-pasang pemain dilakukan. Dalam teater tradisi, karakter dan pemain seringkali melekat erat. Pergantian sulit diterima karena watak tokoh dianggap satu tubuh dengan sang pemeran. Keberanian melakukan bongkar pasang pemain menjadi isyarat bahwa tengah menjajaki kemungkinan baru dalam eksplorasi bentuk. Keberanian menghadirkan formasi baru terasa sebagai upaya menyegarkan napas tradisi yang juga berkorelasi dengan risiko yang ditimbulkan. Ini bisa dibaca sebagai langkah sadar untuk menemukan formula pertunjukan yang lebih lentur atau sekadar respons atas keterbatasan sumber daya manusia. Apa pun itu, hasilnya cukup meyakinkan.
Kehadiran aktor-aktor “baru” (bagi saya) tidak serta-merta menjadi titik lemah. Justru sebaliknya, mereka membawa warna suara, gestur, dan energi yang memperkaya komposisi pertunjukan. Pemain-pemain “baru” tidak tampil kaku. Mereka hadir dengan motif unik bahkan sering kali memberi kejutan melalui kekuatan bahasa tutur dan dialek lokal yang alami. Penggunaan bahasa ibu ini mengentalkan nuansa pertunjukan dalam kedekatan budaya. Saya, penonton, barangkali juga sama merasa, seperti sedang menonton sesuatu yang dekat, seperti menyaksikan potongan kehidupan sendiri yang direka ulang dengan cara yang hidup dan menghibur.
Jika dibandingkan dengan produksi sebelumnya, seperti So Balik Duo, pertunjukan kali ini menunjukkan perkembangan signifikan dalam sisi visual. Singgasana raja yang megah, penataan panggung yang lebih rapi, pemilihan kostum dan tata cahaya yang menunjang adegan menegaskan perhatian kelompok ini pada unsur estetika. Akan tetapi, kekokohan narasilah yang membuat dramatik terbangun kuat.
Daya pikat yang menonjol adalah pengendalian humor. Para aktor tampil sadar ruang dan sadar porsi. Mereka tahu kapan humor harus dilempar dan seberapa banyak. Kesadaran pemain menandai kematangannya. Barangkali, sutradara sangat mengutamakan ritme tontonan meskipun beberapa terkesan dipaksakan.
Saya sedikit terganggu dengan adegan penyaweran. Adegan ini terasa seperti tempelan yang disisipkan. Adegan ini menyerupai jeda hiburan khas ‘dangdutan’ daripada bagian dari struktur dramatik yang utuh. Di sisi lain, beberapa bentuk humor yang bersandar pada “candaan orang dewasa” juga terasa kurang tepat jika dikaitkan dengan komposisi penonton yang beragam. Barangkali akan lebih menarik jika para pemain mencari objek-objek humor baru yang tetap cerdas tanpa harus menggantungkan diri pada lelucon yang bersifat seksual atau stereotipikal.
Teater tradisional terus bisa dinegosiasikan dengan waktu dan konteks. Ketika narasi kuat bertemu dengan keberanian artistik dan kesadaran kultural, pertunjukan menjadi bukan hanya tontonan, tetapi peristiwa kultural yang menyentuh banyak lapisan. Malam tadi, budaya ditampilkan secara segar tanpa kehilangan akar. Teater Abdul Muluk Reborn berdiri di atas lanskap tradisi dan berani menjangkau langit masa kini. Saya akan selalu menanti pertunjukan kelompok ini.