Majority Believe: Kepercayaan Mayoritas yang Mempengaruhi/Dipengaruhi oleh Representasi Serta Identitas Disabilitas dalam Sastra dan Film
Representasi disabilitas merujuk pada penggambaran disabilitas dalam media termasuk seni, seperti film, novel, puisi maupun karya sastra lainnya. Stanback dalam bukunya The Wordsworth-Coleridge Circle and the Aesthetics of Disability (2016) membahas secara khusus bagaimana disabilitas berperan penting dalam penciptaan sastra—khususnya puisi—di era Romantic, atau tahun 1798-1837. Selain fokus pembahasan tersebut, Stanback juga membahas sedikit mengenai studi disabilitas, yakni studi khusus yang memandang disabilitas dari sudut pandang sosial. Dalam pembahasan tersebut, Stanback menjelaskan apabila ‘disabilitas’ dan ‘kesehatan’ dibentuk berdasarkan norma dalam masyarakat. Quayson dalam bukunya Aesthetic Nervousness: Disability and the Crisis of Representation (2007) membahas bagaimana identitas disabilitas dalam masyarakat tergambar melalui respresentasi dalam sastra.
Wendell dalam bukunya The Rejected Body: Feminist Reflections on Disability (1996) juga mengemukakan bahwa bahwa pemahaman biologis serta respons sosial terhadap perbedaan biologis menciptakan konsep ‘disabilitas’. Ia mengatakan, “The social response to and treatment of biological difference constructs disability from biological reality, determining both the nature and the severity of disability.” Dalam artian, Wendell berpendapat bahwa pemahaman masyarakat menentukan konsep disabilitas. Arawindha menambahkan bahwa representasi dibentuk melalui bahasa, sehingga bersifat berubah-ubah sesuai dengan situasi yang baru. Standback menggunakan istilah non-normative embodiment yang secara bahasa berarti perwujudan non-normatif, merujuk pada kondisi tubuh yang tidak sesuai dengan norma sosial—dalam bukunya istilah ini tidak hanya merujuk pada disabilitas, pada era Romantic, istilah ini juga merujuk pada orang gemuk, berkulit hitam, dan bentuk tubuh lain yang tidak sesuai norma. Sebab, ia percaya bahwa norma sosial turut andil dalam membentuk konsep disabilitas.
Pernyataan Wendell dan Stanback menimbulkan pertanyaan bagi saya, masyarakat ‘sosial’ mana yang selama ini membentuk konsep disabilitas? Apakah konsep mengenai disabilitas yang kita miliki saat ini adalah hasil dari identifikasi teman-teman disabilitas sendiri? Penyandang disabilitas, sebagai minoritas mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi dirinya sendiri, sebab apa yang mereka suarakan tertutupi oleh konsep yang dipercaya oleh mayoritas masyarakat yang membentuk norma dalam masyarakat. Alih-alih menggunakan istilah norma sosial seperti yang digunakan oleh Stanback dan Wendell—sebab norma memiliki pemaknaan luas selain kepercayaan, saya lebih memilih untuk menggunakan istilah majority believe yang mengacu pada konsep yang dipercaya oleh mayoritas dari masyarakat. Jika mayoritas mempercayai A, maka A adalah yang benar dan baik, selainnya adalah aneh atau bahkan buruk.
Youngquist dalam Monstrosities: Bodies and British Romanticism (2003), “A performative norm both produce and excludes, produces by excluding. The norm of the proper body thus constitutes monstrosities through exclusion.” Dalam kalimat tersebut kita memahami bahwa, pemisahan antara tubuh formal dan tidak formal didasari pada majority believe terhadap bagaimana konsep tubuh yang normal, dan mengesampingkan tubuh yang dianggap tidak normal. Majority believe dibentuk melalui informasi dan pemahaman yang diterima dan dipercayai, salah satunya adalah informasi mengenai disabilitas yang disampaikan melalui sastra dan film.
Arawindha et al. (2020) secara khusus membahas mengenai representasi disabilitas dalam film Indonesia yang diproduksi pasca orde baru. Di antaranya adalah film Dancing in the Rain, Rectoverso, The Gift, Satu Hati Sejuta Cinta, Malaikat Kecil, Selebgram, Ayah Mengapa Aku Berbeda, dan My Idiot Brother. Dalam film-film tersebut muncul representasi yang berbeda-beda. Antaranya disabilitas sebagi sosok yang aneh, lemah dan selalu membutuhkan bantuan, objek lelucon, objek belas kasihan, beban keluarga, serta hiperbola penggambaran prestasi yang dicapai. Sebagian besar dari representasi yang hadir menunjukkan bahwa disabilitas tidak berdaya dari masyarakat lainnya.
Selain film-film di atas, tokoh disabilitas juga dapat kita temukan pada karya-karya sastra Indonesia, salah satunya dalam novel Bumi Manusia yang ditulis pada masa orde baru dan berlatarkan era kolonial Belanda. Tokoh Jean Marais digambarkan sebagai sosok tuna daksa yang kehilangan satu kekinya sebatas dengkul, ia hidup bersama dengan seorang anak perempuan berusia prasekolah. Jean digambarkan sebagai seorang pengrajin mebel dan pelukis, yang berdaya serta mampu membiayai kehidupannya dan anaknya. Jean tidak banyak berinteraksi dengan tokoh lain selain dari tokoh-tokoh terdekat seperti tokoh utama, dan tokoh-tokoh yang diperkenalkan langsung oleh tokoh utama. Situasi tersebut menggambarkan adanya penarikan diri dari sosial yang dilakukan oleh tokoh Jean sebagai disabilitas.
Per hari ini di Indonesia, metode pendekatan medis terhadap konsep disabilitas adalah metode yang paling umum digunakan. Saya pun, merasakan hal tersebut selama menjadi mahasiswa pendidikan luar biasa Universitas Negeri Yogyakarta. Teori-teori yang diajarkan dalam lingkup perkuliahan berfokus pada kajian medis mengenai disabilitas. Dalam sudut pandang medis, disabilitas diyakini sebagai sebuah kerusakan yang harus disembuhkan atau diberikan tindakan medis, pandangan umum ini mempengaruhi representasi disabilitas. Selaras dengan pada Quayson, ketidakmampuan disabilitas mempengaruhi persepsi sosial, norma, dan etika dalam sebuah karya. Maka tidak heran apabila film-film dan sastra Indonesia yang telah dibahas sebelumnya merepresentasikan disabilitas sebagai objek tidak berdaya. Representasi tersebut dikonsumsi oleh masyarakat luas dan dipercaya sebagai sesuatu yang benar, sehingga menciptakan majority believe bahwa disabilitas tidak berdaya.
Quayson menggambarkan bahwa media seni khususnya sastra memiliki banyak peluang untuk merepresentasikan karakter disabilitas secara mendalam, dan menimbulkan empati bagi pembaca. Quyson juga berpendapat bahwa representasi disabilitas dalam sastra mampu mempengaruhi majority believe terhadap konsep disabilitas. Berdasarkan Youngquist dan Quayson dapat disimpulkan bahwa represesntasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terdapat disabilitas itu sendiri. Media seni seperti sastra dan film menjadi salah satu bentuk informasi yang diterima oleh masyarakat sebagai sebuah pengetahuan, dan mampu membentuk pemikiran masyarakat terhadap disabilitas.
Tobin Sieber dalam buku Disability Theori (2008) dijelaskan bahwa disabilitas merupakan identitas kelompok layaknya etnis dan warna kulit. Studi disabilitas juga memperkenalkan kita terhadap konsep diferensiasi fungsi yang dimiliki oleh teman-teman disabilitas, sebagai contoh, teman—teman Tuli menggunakan bahasa isyarat untuk menggantikan fungsi pendengaran, serta teman-teman dengan hambatan penglihatan menggunakan tongkat untuk menggantikan fungsi penglihatan. Tidak ada perbedaan power maupun perbedaan antara lemah dan kuat. Kedepannya, diharapkan kita dapat memanfaatkan ruang seni khususnya sastra dan film, sebagai media sosialisai kepada masyarakat untuk menonjolkan identitas disabilitas melalui representasi yang sesuai.
Salah satu contoh upaya representasi disabilitas yang patut diapresiasi adalah upaya yang dilakukan oleh komedian dan sutradara Muhadkly Acho, dalam film Agak Laen. Acho menghadirkan tokoh Obet, sebagai tokoh tunawicara yang bekerja sebagai cleaning service di pasar malam. Dalam episode podcast bersama Raditya Dika berjudul Di Balik Agak Laen menit ke-23:20, Acho menuturkan bahwa apa yang ia tertawakan dari tokoh Obet bukan kekhususan yang tokoh tersebut miliki, namun situasi komedi yang disebabkan oleh kekhususan Obet. Acho juga mempertegas inklusifitas yang ia coba bangun melalui tokoh yang diperankan oleh Arie Keriting, yakni, “Saya menerima siapa pun untuk bekerja di sini.”
Acho juga mempertegas bahwa dirinya tidak ingin mengesampingkan fakta teman-teman disabilitas adalah bagian dari masyarakat kita, dan hidup berdampingan bersama masyarakat yang lain. ia mengatakan bahwa ia tidak ingin menyembunyikan fakta tersebut dalam film yang ia garap. Saya merasa banyak orang harus memiliki pemahaman demikian, disabilitas tidak seharusnya dipandang tidak mampu atau bahkan disembunyikan dari masyarakat.
Referensi
Arawindha, U., Thohari, S., & Fitrianita, T. (2020). Representasi Disabilitas Dalam Film Indonesia yang Diproduksi Pasca Orde Baru. Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, 4(1), 133–151. https://doi.org/10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2020.004.1.09
Dika, R. (Hosts). (2024, 10 Juni). Di Balik Agak Laen [Audio podcast episode]. Raditya Dika (https://youtu.be/UUzM1-C6zCU?si=ReLReWVgCrNcg-XH)
Quayson, A. (2007). Aesthetic nervousness: Disability and the crisis of representation. Columbia University Press (https://www.goodreads.com/book/show/1615445.Aesthetic_Nervousness)
Stanback, E. B. (2016). The wordsworth-coleridge circle and the aesthetics of disability. Science and Medicine (PLSM) (https://link.springer.com/book/10.1057/978-1-137-51140-9)
Wendell, S. (1997). The rejected body: Feminist philosophical reflections on disability. (https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9780203724149/rejected-body-susan-wendell)
Youngquist, P. (2003). Monstrosities: Bodies and british romanticism. University of Minnesota Press (https://books.google.com/books/about/Monstrosities.html?id=pL8Bi6kAyrIC)