MASKULINITAS DALAM PERTUNJUKKAN “BUTANDANG” OLEH TEATER KUJU
8 Juni 2024, Teater Kuju kembali menampilkan sebuah pertunjukkan drama bertajuk “Butandang” karya Rilect Amigos dan disutradarai oleh Nabila. Pertunjukkan yang berdurasi satu jam lebih ini mengisahkan perjalan cinta Rahmat, seorang pemuda pengangguran yang jatuh cinta dengan kembang desa bernama Puti. Sebagaimana adat di desa tersebut, Rahmat pun butandang ke rumah Puti pada malam harinya. Sayangnya, Rahmat bukanlah satu-satunya yang datang ke kediaman Putri. Gofar, teman Rahmat yang kini sudah menjadi seorang tentara juga datang ke kediaman keluarga Puti dan memiliki niatan yang sama dengan Rahmat, yakni menjajaki hubungan yang serius dengan Puti.

Pada akhirnya, Rahmat harus merelakan Puti yang lebih memilih Gofar dengan status pekerjaan yang lebih pasti. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Ibu si Puti yang mengidam-idamkan seorang menantu “berseragam”. Akan tetapi, pada akhir cerita Gofar ditangkap oleh seorang intel kepolisian yang selama ini menyamar menjadi tukang sayur di desa tersebut, sekaligus penghulu di pernikahan Gofar dan Puti. Penangkapan tersebut dilatarbelakangi oleh aksi Gofar yang ternyata adalah seorang tentara gadungan. Penangkapan tersebut membuat acara pernikahan menjadi kacau, mau tidak mau Puti dan keluarganya harus menanggung malu dan kerugian yang besar, sebab demi pernikahan tersebut, Bapak si Puti sampai harus menjual semua sawah yang ia miliki. Kejadian ini memberikan pelajaran pahit tentang cinta, kejujuran, dan konsekuensi dari pilihan yang diambil berdasarkan penampilan dan status semata.
Butandang sendiri merupakan kebiasaan atau tradisi dari masyarakat Kerinci yang kini mulai jarang ditemui karena perkembangan zaman. Butandang dilakukan oleh laki-laki yang memiliki niat untuk menjajaki hubungan yang lebih serius dengan seorang perempuan. Dalam bahasa kekinian, butandang dapat diartikan dengan PDKT atau masa pendekatan/pengenalan. Meski tujuannya sama-sama untuk berkenalan, tentunya butandang memiliki poin-poin tersendiri yang menjadi ciri khas atau pembeda dengan PDKT.
Proses butandang umunya akan diawali dengan pihak laki-laki menyampaikan niatnya kepada kepada Induk Gadis selaku penyambung lindah atau perantara. Kemudian, Induk Gadis lah yang akan memnyampaikan niatan tersebut ke pihak perempuan. Jika niatan tersebut disetujui oleh pihak perempuan barulah butandang bisa dilaksanakan. Pihak laki-laki biasanya tidak akan datang sendiri, tetapi didampingi oleh ayah atau kerabat laki-laki yang sudah paruh baya. Sementara pihak perempuan akan didampingi oleh Ibunya atau kerabat perempuan lain yang juga paruh baya. Sesuai dengan norma adab, pihak laki-laki duduk dekat pintu masuk dan tidak boleh masuk terlalu jauh ke dalam rumah si perempuan. Kemudian, si laki-laki mengungkapkan isi hatinya dengan cara berpantun. Jika si perempuan setuju maka kedua pihak akan bertukar barang sebagai tanda jadi.
Sayangnya, tidak semua hal tersebut bisa kita saksikan dalam pertunjukkan “Butandang” yang dibawakan oleh Teater kuju. Ada beberapa hal berbeda dalam pertunjukkan ini. Pertama, ketiadaan sosok penyambung lindah atau perantara. Kedua, sosok yang menemui Puti selaku pihak perempuan adalah ayahnya. Ketiga, Rahmat datang sendirian ke rumah Puti.
Perbedaan-perbedaan di atas bila ditelaah akan terlihat bahwa semuanya terhubung oleh sebuah benang. Benang tersebut adalah peran laki-laki atau maskulinitas. Maskulinitas mempunyai definisi sebagai atribut, perilaku, dan peran yang terkait dengan laki-laki. Dalam pertunjukkan “Butandang”, kita dapat melihat bagaimanaa konsep maskulinitas muncul dan dibangun ulang melalui perbedaan-perbedaan tersebut.
Kehadiran sosok penyambung lidah dalam tradisi aslinya dapat ditafsirkan sebagai penekanan tentang pentingnya komunikasi yang terstruktur dan keterlibatan lingkungan sosial dalam hubungan muda-mudi. Hilangnya sosok tersebut dalam pertunjukan ini, mungkin dikarenakan adanya keinginan untuk lebih menyoroti sifat mandiri laki-laki dalam mengungkapkan niatnya secara langsung. Hal ini mencerminkan konsep maskulinitas, di mana laki-laki tidak bergantung pada orang lain untuk mengeksekusi niat atau rencana hidupnya.
Selanjutnya, sosok yang menemani Puti adalah ayahnya, bukan ibu atau kerabat perempuan. Situasi ini dapat diinterpretasikan sebagai penegasan mengenai dominasi peran laki-laki dalam sebuah tangga. Sebagai kepala keluarga, ayah adalah orang yang bertanggung jawab untuk mengambil keputusan terkait kehidupan keluarganya. Selain itu, ayah adalah sosok yang menjadi penyedia dan pelindung keluarga. Dalam pertunjukkan “Butandang”, sosok ayah juga ikut terlibat dalam aspek emosional dan sosial anak perempuannya, yang semakin mempertegas dominasi laki-laki dan kepala keluarga.
Terakhir, kedatangan Rahmat sendirian ke rumah Puti adalah gambaran dari kemandirian dan keberanian sebagai bagian dari maskulinitas. Berbeda dengan tradisi aslinya, di mana laki-laki datang dengan didampingi. Tindakan Rahmat yang datang sendirian dapat ditafsirkan sebagai cerminan dari sifat yang lebih individualistas dan berani mengambil risiko meski tanpa dukungan dari pihak lain.
Secara keseluruhan, meski butandang telah dikemas dalam sebuah pertunjukkan yang menarik dan relevan dengan kehidupan. Perombakan-perombakan yang terjadi dalam pertunjukkan perlu ditinjau ulang. Alasannya, hal tersebut cukup berbahaya, karena dapat merusak esensi dari tradisi itu sendiri yang mungkin mencoba menekankan peran lingkungan masyarakat dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
REFERENSI
https://www.kompasiana.com/inspirasianakompasiana6909/634ffc8ae2c0f92b18680ec2/tradisi-batandang-yang-telah-lekang-oleh-zaman