MERAYAKAN HARDIKNAS 2025 DENGAN MENGATAKAN “KETIKA KURIKULUM SELALU BERGANTI DAN ARAH PENDIDIKAN TAK PERNAH JELAS”
Perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025 harusnya menjadi momen refleksi arah dan capaian pendidikan Indonesia. Namun kenyataannya, isu kurikulum sering kali dominan dibicarakan. Fenomena yang melekat kuat di benak publik adalah “berganti menteri, berganti kurikulum”. Seperti ditulis salah satu kolumnis, sebagian rakyat Indonesia meyakini bahwa setiap kali kabinet baru dilantik, otomatis akan ada penggantian kerangka kurikulum nasional. Sikap skeptis ini bukan tanpa alasan: dari era KBK, KTSP, hingga Kurikulum 2013 dan kemudian Merdeka, perubahan kebijakan kurikulum sering terjadi dalam periode singkat. Pola ini menimbulkan kesan bahwa pembangunan kurikulum lebih dipengaruhi pergantian politik jangka pendek ketimbang perencanaan jangka panjang yang matang.
Kronik Perubahan Kurikulum Indonesia
Sejarah kurikulum di Indonesia memang panjang dan penuh pergantian. Kurikulum tahun 1984 misalnya membawa pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), lalu disempurnakan lagi pada 1994. Tahun 2006 muncullah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan 2013 lahir Kurikulum baru yang hingga kini masih berlaku di banyak sekolah. Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi (2019–2024), muncul Kurikulum Merdeka Belajar. Kurikulum ini diluncurkan pada Februari 2022 sebagai bagian dari Merdeka Belajar Episode 15, dengan tujuan menyederhanakan materi pasca-pandemi dan memberikan keleluasaan bagi guru. Menurut rilis resmi Kemendikbudristek, sejak 2022 lebih dari 300 ribu satuan pendidikan telah menerapkan Kurikulum Merdeka secara sukarela. Data Asesmen Nasional 2021–2023 menunjukkan dampak positifnya, dan Rapor Pendidikan 2023 melaporkan peningkatan literasi, numerasi, karakter, inklusivitas, dan kualitas pembelajaran pada sekolah yang mengadopsinya Berdasarkan temuan tersebut, pemerintah Jokowi bahkan menetapkan Kurikulum Merdeka sebagai kerangka kurikulum nasional resmi pada Maret 2024.
Namun, memasuki pemerintahan baru tahun 2024–2025, kebijakan kurikulum kembali bergejolak. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru, Prof. Abdul Mu’ti, mewacanakan perubahan di beberapa aspek sistem pendidikan. Salah satunya adalah rencana menghidupkan kembali penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA mulai tahun ajaran 2025/2026. Keputusan ini mendapat sorotan karena bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya: saat masih Mendikbudristek, Nadiem Makarim telah menghapus jurusan di SMA sebagai bagian implementasi Kurikulum Merdeka untuk memberi keleluasaan memilih mata pelajaran sesuai minat siswa. MetroTV News mencatat, kebijakan menghidupkan kembali penjurusan ini “menandakan tren perubahan sistem pendidikan setiap kali menteri berganti”. Pengamat pendidikan Ubaid Matraji bahkan mengkritik bahwa menteri baru selalu membuat kebijakan yang berbeda dan kontradiktif dengan pendahulu.
Tak hanya itu, istilah “Deep Learning Ful-Ful” sempat menghebohkan publik. Pada bulan Februari 2025 Menteri Mu’ti memperkenalkan konsep pembelajaran bermakna yang “mindful, joyful, dan meaningful” atau disingkat ful-ful. Pada seminar publik, ia menjelaskan bahwa sebenarnya deep learning bukanlah kurikulum baru, melainkan pendekatan pembelajaran mendalam yang sudah ada sejak lama. Pendekatan ini dirancang agar siswa belajar lebih kontekstual dan memahami makna materi. Meskipun Mu’ti menegaskan bahwa belum ada kurikulum baru yang resmi (namun rapat Kabinet disebut akan membahas anggaran hingga “kurikulum nasional baru” di tahun 2025, wacana ini menciptakan ekspektasi bahwa Kurikulum Merdeka yang baru resmi diadopsi sebelumnya bisa segera diganti.
Di sisi lain, pemerintah juga meluncurkan program “Sekolah Rakyat” dengan sistem multi-entrance multi-exit. Menteri Abdul Mu’ti menyatakan akan menyiapkan kurikulum khusus bagi Sekolah Rakyat serta mekanisme agar murid bisa masuk kapan saja tanpa harus mengikuti tahun ajaran standar. Program ini, ditargetkan pada 53 sekolah rintisan, menambah daftar kebijakan pendidikan baru yang diperkenalkan di era kabinet Prabowo-Gibran. Semua perubahan tersebut – dari wacana “deep learning” hingga pembaruan sistem penjurusan – menunjukkan betapa dinamis dan seringnya agenda kurikulum bergeser di tiap masa jabatan.
Respons dan Dampak di Lapangan
Kebijakan berganti-ganti ini menuai beragam respons dari kalangan pendidikan. Guru dan praktisi sering merasa terombang-ambing. Seperti diungkapkan seorang guru di Jember, “Belum selesai kebijakan yang lalu, ada yang baru. Harus adaptasi lagi,” yang menggambarkan kebingungan siswa dan guru menghadapi perubahan terus-menerus. Penelitian dan laporan lapangan juga mengindikasikan beban adaptasi tinggi: misalnya, kurikulum Merdeka yang baru berlaku telah membutuhkan pelatihan intensif bagi guru untuk menyusun rencana pembelajaran baru. Seorang kontributor NU Online mencontohkan, “Perubahan kurikulum harus diikuti dengan pelatihan guru secara intensif, sebelum diterapkan kepada siswa,” karena jika tidak, pendidik tidak siap mengimplementasikannya.
Para pengamat menilai inkonsistensi ini melemahkan fondasi pendidikan nasional. Ubaid Matraji menyebut kualitas pendidikan kita tertinggal karena kebijakan tidak pernah konsisten. Salah satu bentuk nyata dampaknya adalah pada materi dan buku teks. Dengan penerapan Kurikulum Merdeka yang usianya baru satu tahun, distribusi buku yang sedang berjalan bisa terganggu jika harus kembali ke kurikulum lama atau kurikulum baru lagi. Hal ini memunculkan kebutuhan besar anggaran ekstra untuk cetak buku baru dan pelatihan guru. NU Online melaporkan bahwa perubahan tiba-tiba kurikulum berpotensi mengguncang ekosistem pembelajaran sekolah – mulai dari kebutuhan buku ajar, kesiapan sarana prasarana, hingga peran aktif dinas pendidikan daerah. Dampak-dampak praktis ini menjadi pekerjaan rumah besar, yang menurut pengamat seperti Satriawan (narasumber NU) sebaiknya diatasi dengan memperbaiki kurikulum yang ada, bukan menggantinya secara mendadak.
Namun, tidak semua pihak sepenuhnya menolak perubahan. Dalam refleksi Hardiknas 2025, sejumlah guru mengatakan bahwa Kurikulum Merdeka Belajar selama ini memberikan manfaat. Misalnya, Kepala SD Widyanti menilai kurikulum tersebut cukup baik karena memberi ruang bagi guru dan sekolah untuk berinovasi dan fokus pada perkembangan karakter serta literasi-numerasi siswa. Dia juga menekankan bahwa guru harus terus berkembang mengikuti perubahan kurikulum dan pendekatan baru, seperti diferensiasi dan asesmen formatif. Sisi positif ini menunjukkan bahwa kebijakan lama juga memiliki pendukung yang menilai arah pendidikannya baik, jika diberi waktu untuk benar-benar diimplementasikan.
Analisis: Pendidikan sebagai Proyek Politik Jangka Pendek?
Tenggat kewajaran berganti kurikulum setiap pergantian era pemerintahan mengindikasikan ada yang salah dalam tata kelola pendidikan. Sebagaimana disoroti banyak pihak, kebijakan pendidikan seolah menjadi barang politik jangka pendek. Setiap menteri baru ingin meninggalkan jejak kebijakan tersendiri, tanpa menunggu evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan sebelumnya. Akibatnya, konsistensi dan kesinambungan terabaikan. Komentar Ubaid Matraji menegaskan hal ini: “Menteri yang baru selalu membuat kebijakan berbeda dengan menteri sebelumnya… kebijakan pendidikan kita tidak pernah konsisten”. Imbasnya, dunia pendidikan selalu berjalan maju-mundur, tanpa arah jangka panjang yang jelas.
Kondisi ini berpotensi melemahkan cita-cita pendidikan nasional. Merujuk semangat Hardiknas yang diambil dari filosofi Ki Hajar Dewantara, pendidikan seharusnya membebaskan potensi peserta didik dan membangun masa depan bangsa. Namun jika arah kurikulum terus berubah, anak didik dan guru sulit membangun kompetensi berkelanjutan. Istilah yang berkembang di masyarakat, seperti “untuk meraih ambisi politik sesaat, kurikulum diganti-ganti”, mencerminkan kekecewaan publik. Dampak di lapangan – mulai dari kelelahan guru menyesuaikan RPP baru, hingga kebingungan siswa menentukan jalur studi – semakin mempertegas bahwa pendidikan kerap diperalat sebagai proyek kebijakan sesaat.
Kesimpulan dan Refleksi Hardiknas 2025
Memasuki Hardiknas 2025, sudah saatnya kita renungkan arah pendidikan nasional. Data resmi menunjukkan Kurikulum Merdeka yang dijalankan sebelumnya memberi hasil positif bagi banyak sekolah. Sementara itu, berbagai wacana perubahan terbaru – entah kembalinya jurusan, program deep learning, maupun Sekolah Rakyat – harus disikapi secara hati-hati agar tidak menjadi bumerang. Harus diakui, masyarakat pendidikan – guru, siswa, orang tua, dan pengamat – menginginkan kepastian dan keberlanjutan. Mereka menyuarakan agar pemerintah tak lagi tergesa-gesa mengganti kerangka kebijakan, melainkan melengkapi dan menyempurnakannya.
Akhirnya, substansi pendidikan harus dijauhkan dari genggaman politik jangka pendek. Hardiknas 2025 seharusnya jadi momentum bagi semua pihak mengedepankan perbaikan sistemik: dari pelatihan guru yang merata sampai penyediaan fasilitas belajar bermutu. Kurikulum yang diramu pun butuh evaluasi panjang, bukannya bergonta-ganti setiap pergantian pemerintahan. Jika tidak, visi Indonesia Emas 2045 dan harapan peningkatan kualitas SDM justru akan tertunda. Sebagaimana diingatkan para pakar, keberhasilan pendidikan menuntut konsistensi kebijakan. Semoga refleksi Hardiknas kali ini mendorong komitmen bersama mewujudkan pendidikan berkualitas bukan sebagai proyek sesaat, melainkan warisan berkelanjutan untuk masa depan bangsa.