MISTIS, MESTINYA LOGIS (MERESPON PERTUNJUKAN TEATER “KASIH SEKAMPUNG”)
oleh Zefanya Manullang
Hibernasi, kata tersebut nampaknya dapat digunakan untuk menggambarkan situasi pada malam,10 Juni 2023 lalu, dimana Teater Kuju, seakan bangkit dari tidurnya dengan penuh semangat, kembali menggelar pementasan di Taman Budaya Jambi dengan tajuk Kasih Sekampung.
Teater Kuju adalah sanggar Teater mahasiswa Universitas Jambi yang terbentuk dan aktif sejak 20 Desember 2013. Sempat vakum, karena mendapat imbas dari situasi pandemi Covid-19, seperti dalam tuturan Liza Septa Wilyanti, S.Pd., M.Pd., selaku ketua Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Jambi dalam kata sambutan singkatnya. Teater Kuju kembali mengelar pementasan tunggalnya.
Pertunjukan hasil penyutradaraan Maqfirotun Qiftiya menampilkan gairah lokalitas dengan membawa beberapa kesan dari pola teater tradisional Jambi, yaitu Teater Abdul Muluk. Gestur, respon dan kelakar di atas panggung agaknya juga merupakan siasat untuk membuat pertunjukan malam itu terasa dekat dengan para penonton. Terlepas efektif tidaknya, tindakan tersebut layaklah mendapat apresiasi karena memang tak jarang, jurang pemahaman menciptakan kehambaran dari suatu pertunjukan.
Kasih Sekampung menampilkan roman sederhana sebagai pembungkus potret kehidupan masyarakat juga hubungannya dengan mistikisme. Dikisahkan Surtono (Angga) seorang pemuda hendak merantau, meninggalkan kekasihnya Haryati (Desi) dimana dari adegan pembuka tiga orang warga kampung (Cindy, Amel, Sasi) menyiratkan bahwa Haryati menggunakan ilmu pengasih agar Surtono terpikat padanya. Candu cinta anak muda pupus tatkala hubungan mereka di tentang oleh Ibu Haryati alias Mak Leha (Yessa yuliana) sebab Surtono dianggap kurang mapan secara finansial untuk bersanding dengan anaknya.
Cukup miris memang, betapa kasih hilang harga bila takaran kapital menjadi tolak ukurnya. Surtono, mengalami penolakan karena dianggap kurang berada. Tetapi karena aktris pemeran Mak Leha serta pemeran lainnya konsisten mengimplementasikan sisi komedi dari tragedi dalam permainan panggung mereka, alih-alih menangis tersedu sedan penonton malah tertawa terbahak-bahak.
Pertunjukkan berlanjut, saat Surtono merantau, Haryati kemudian dinikahkan dengan Burhan (Reffo) orang kaya nomor satu di kampung. Semakin melankolis saat Surtono pulang dari peraduannya. Ia mendapati kekasihnya telah dinikahi lelaki lain. Tetapi seperti sebelumnya, penonton kembali tertawa bahagia.
Keterampilan para aktor dan aktris menciptakan komedi ringan, mengangkat realitas kekinian membuat pertunjukan teater yang berlangsung kurang lebih satu setengah jam tersebut terasa amat sangat dinamis. Bahkan rasanya terlalu cepat berlalu.
Suatu hari Mak Leha mendapati anaknya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Burhan mencoba menyingkirkan keduanya dan berhasil kabur Mak lLeha melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Kampung (Ridho), merespon itu Kepala Kampung diikuti Surtono dan warga lainya mendatangi rumah Haryati.
Sesampainya disana, alangkah terkejutnya mereka mendapati Burhan menggelepar, serta Haryati terisak sembari berteriak, “bukan saya, bukan saya!..” Meski demikian mengutip salah satu bait dari puisi Sapardi Djoko Damono, “yang fana adalah waktu, kita abadi”, Cinta Surtono lekat pada Haryati.
Fakta demikian membuat Maimunah (Lia) wanita pengagum Surtono menjadi galak api amarahnya. Ia selalu ditolak Surtono dan lebih memilih menikahi Haryati setelah Burhan pergi. Maimunah lalu mendatangi dukun, meminta sebuah rapalan santet.
“Nah pakai skincare”, sang Dukun muncul menyerah produk kecantikan.
“lebih baik pakai ini ketimbang susuk”, ujar sang Dukun sebelum menyiapkan mantra pintaan Haryati.
Bagian kecil fragmen menjelang akhir ini jelas adalah sebuah iklan semata. Bila memberi perhatian, penonton akan sadar bahwa pementasan Kasih Sekampung ini memanglah padat adegan tambahan untuk mempromosikan pihak yang mensponsori pertunjukan ini.
Adegan semacam ini juga turut serta menyumbang durasi pementasan yang yang cukup membuat kurang khusyuk penonton dalam menyaksikan pertunjukan. Meskipun demikian, perlu diingat perenungan bisa muncul dari mana saja. Termasuk dari adegan tambahan yang barangkali belum cukup matang persiapannya

Bayangkan, bisa-bisanya seorang dukun supranatural menghimbau pasiennya untuk memilih produk kecantikan ketimbang produk gaib. sepintas adegan ini mendatangkan efek paradoks luar bisa, yaitu bagaimana sang Dukun mengajak penonton berpikir lebih logis, ketimbang mengamini hal mistis. Luar biasa, bukan? Sebuah fenomena sosial yang dapat kita temui belakangan ini.
Dewasa ini, kita saksikan banyak terjadi kemajuan. Semua aspek kehidupan berjalan ke tahap yang lebih canggih. Modernitas perlahan menyingkap tirai penutup sehingga terang ilmu pengetahuan sedikit banyaknya kita rasakan. Namun sayang disela-sela kemajuan tersebut, ada saja bias bayang problematika lama, yakni kepercayaan berlebih terhadap perkara alam gaib. Contoh kecilnya diksi seperti “penglaris”, “penggandaan uang”, “Pelet”, dan sebagainya, masih akrab di telinga kita. Artinya kepercayaan terhadap hal-hal tersebut masih terjaga. Bahkan masih kerap dilakukan sehingga begitu kuat melekat. Salah satu bentuk kongkretnya pada market place online, kita dapat temui jimat dan pelet dijual bebas. Terkadang bahkan menyempil di antara barang-barang eletronik.
Nampaknya keyakinan bahwa hal-hal tersebut memberikan “jawaban” lebih cepat ketimbang menempuh cara lain, menjadi faktor paling besar dalam pelestariannya dan akan sangat mengkhawatirkan bila penalaran tidak hadir sebagai barier dalam konteks-konteks tersebut.
Bukan ingin menggerus kearifan budaya lebih lagi meniadakan kepercayaan akan peristiwa adikodrati. Tentu, kita perlu menjaga hal-hal yang telah secara turun temurun diwariskan oleh para “orang tua” kepada generasi kita. Karena pastinya terdapat nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam hal-hal tersebut. Tetapi mestinya pertimbangan logis layak dikedepankan. Bukankah, nilai- nilai tersebut juga dapat dilestarikan dalam bentuk yang berbeda, bila kita benar mengetahui esensi dibaliknya.
Alih-alih sibuk menyiapkan penglaris ketika hendak membangun usaha, mestinya pengoptimalan media promosi, nilai kualitas produk, distribusi, serta manajemen pengelolaan usaha menjadi fokus utama. Ketimbang menggunakan ilmu pengasih. Bukankah lebih baik merawat diri, meningkatkan keterampilan dan kompetensi, serta memperluas wawasan untuk menarik perhatian orang.
Penampilan Kasih Sekampung dengan sangat membahagiakan, membawa penyadaran tersebut lewat pementasannya. Mistik biarlah tetap berada pada remangnya, tetapi rasa dan logika jangan redup nyalanya.
Semoga sutradara (Maqfirotun Qiftiya) serta para aktor tidak berhenti untuk terus berproses dan bersama menambah warna perteateran khususnya di Jambi. Pun Teater Kuju semoga kembali mantap menapakkan kakinya pada panggung teater dalam pertunjukan hebat lainya.
.
.
.
Tentang penulis
ZEFANYA MANULLANG
Lahir pada tanggal 21 November 2003. Sejauh ini ia tumbuh dan berproses di provinsi Jambi.