Novel Laut Bercerita: Para Suara Yang di Lenyapkan dan Luka yang Terkubur Tanpa Nisan
Novel laut bercerita merupakan karya dari penulis Leila S. Chudori. Novel ini menggambarkan sudut pandang yang kelam pada saat pemerintahan Orde Baru khususnya tentang praktik perlawanan dan penghilangan para aktivis secara misterius yang sampai saat ini tidak ada titik terang mengenai hal tersebut. Penulis menyebutkan, “ide menulis tentang mereka yang hilang, lahir pada tahun 2008 ketika saya meminta Nezar Patria untuk menuliskan pengalamannya saat diculik pada Maret 1998. Saya meminta dia menulis sepenuh hati dan jujur lengkap dengan perasaannya. Hasilnya sebuah artikel berjudul, “Di Kuil Penyiksaan Orde Baru”, yang dimuat Februari 2008. Sebuah cerita yang jujur seorang anak muda dan kawan-kawannya yang mengalami penyiksaan dari hari ke hari karna mereka dianggap menggugat Indonesia di masa Orde Baru yang nyaris tanpa demokrasi. Pada saat itu saya mengatakan pada nya suatu hari nanti saya ingin menulis tentang aktivis yang diculik, yang kembali dan yang tak kembali dan tentang keluarga yang terus menerus sampai sekarang mencari jawaban.”
Bagian pertama novel ini disampaikan dari sudut pandang Biru Laut, dengan narasi di dalam dunia aktivis yang penuh bahaya dan berakhir pada ruang penyiksaan yang sunyi dan kejam. Sementara itu, bagian kedua disampaikan dari sudut pandang Asmara Jati, adik Biru Laut. Ia mewakili para keluarga korban penghilangan paksa yang terus hidup dalam ketidakpastian.
Biru Laut, tokoh utama dalam novel tersebut merupakan seorang mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Gajah Mada, yang tergabung dalam kelompok perlawanan Winatra bersama para temannya seperti Sunu, Daniel, Alex dan Kinan. Kelompok yang menentang kebijakan pemerintahan yang dianggap tidak adil dan membela rakyat yang haknya telah diambil oleh Pemerintah. Laut digambarkan memiliki tekad yang kuat bahwa perubahan sosial dan politik Indonesia harus di perjuangkan, meskipun harus dibayar mahal. Seperti kalimat ungkapan yang tertera pada halaman pertama Prolog
Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali
Makna yang sangat tersirat ini mengisyaratkan bahwa kelak kau akan mati, namun akan lahir kembali melalui kenangan dan perjuangan. Inilah yang dinamakan ‘pembunuhan dua kali’: pertama secara fisik, kedua secara historis.
Blangguan, 1993. Salah satu aksi dalam novel ini terjadi ketika kelompok Winatra melakukan aksi tanam jagung bersama petani sebagai bentuk perlawanan. Lahan pertanian rakyat Desa Blangguan digusur secara paksa karena daerah kediaman dan lahan mereka akan digunakan untuk latihan gabungan tentara dengan menggunakan mortar dan senapan panjang. Lahan pertanian jagung mereka juga digusur dengan buldoser. Laut yang telah mendengar pernyataan tersebut, lantas teringat dengan “Sajak Seonggok Jagung” karya Rendra, dan ia mengusulkan agar mahasiswa dan aktivis melawan tentara dengan aksi tanam jagung.
Pada setiap judul Bab yang di awali judul, Di Sebuah Tempat, seperti
- Di Sebuah Tempat, di Dalam Gelap, 1998
- Di Sebuah Tempat, di Dalam Keji, 1998
- Di Sebuah Tempat, di Dalam Laknat, 1998
- Di Sebuah Tempat, di Dalam Khianat, 1998
- Di Sebuah Tempat, di Dalam Kelam, 1998
Melalui judul-judul tersebut Leila memperlihatkan bagaimana luka sejarah bukan hanya milik mereka yang menerima, tetapi menjadi luka kolektif yang di wariskan. Pada Bab, Di Sebuah Tempat, di Dalam Kelam, 1998. Menjadi Bab penutup dari sudut pandang Biru Laut, yang sekaligus menceritakan akhir penyiksaan dan pengkhianatan yang dialaminya. “Aku masih menggigil dan bibirku bergetar akibat berjam-jam diperintahkan berbaring di atas balok es itu, tetapi itu semua hampir tak ada bandingnya dengan rasa marah, benci, sakit sekaligus putus asa ketika menyadari siapa Gusti Suroso sebenarnya.” Gusti merupakan pengkhianat sesungguhnya walau ia bukan tim inti Winatra, tetapi ia memiliki akses pada seluruh rencana Winatra. Dan pada narasi terakhir Biru laut berkata, “puluhan ikan pari meloncat keatas permukaan laut menyambutku seperti seorang saudara yang telah lama pergi.”
Jika Laut adalah suara yang sengaja di lenyapkan, maka Asmara Jati adalah suara yang menolak untuk dibungkam. Asmara bersama rekan-rekannya memutuskan mendirikan sebuah lembaga yang menangani orang yang dihilangkan secara paksa. Ia juga bekerja sama dengan keluarga dari teman-teman Laut yang hingga kini belum ditemukan. Lembaga itu didirikan dengan harapan agar pemerintah segera menuntaskan perkara ini.
“Gelap adalah bagian dari alam, tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, satu titik ketika kita merasa hidup tak bisa di pertahankan lagi.” Perkataan Sang Penyair, disaat ia hampir tiga bulan disekap dalam gelap, dibawa ke sebuah tempat. Hitam. Kelam. Selama tiga bulan, matanya dibebat kain apak yang hanya sesekali dibuka saat ia berurusan dengan tinja dan kencing.
Dalam dunia yang mudah melupakan, mengingat adalah sebuah bentuk perlawanan. Rumah yang selalu menunggu, kursi makan yang selalu tersisa satu, dan surat-surat yang tak pernah terbalas. Duka yang selalu diiringi penantian dan ketidakpastian, hidup dalam trauma yang tidak pernah menemukan kejelasan. Luka pun menjadi jalan yang tak berujung. Inilah bentuk luka yang terkubur tanpa nisan. Tubuh yang hilang, suara yang di lenyapkan dan negara yang memilih bungkam, serta trauma yang terus hidup berjalan.
Novel ini mengajarkan bahwa dunia yang sering lupa, mengingat adalah sebuah keberanian, dan bercerita adalah bentuk keadilan. Laut Bercerita bukan hanya tentang aktivis yang hilang, tetapi juga tentang keluarga yang ditinggalkan serta luka yang di wariskan. Dan ingatan menjadi senjata untuk menolak penghapusan sejarah.