Pembelajaran Kontekstual: Belajar yang Sesungguhnya
Ditulis: Oky Akbar
Belajar bukanlah persoalan tidak bisa menjadi bisa, tidak paham menjadi paham apalagi sekadar tidak tahu menjadi tahu. Untuk yang terakhir, barangkali cukup dengan gawai, sesuatu yang belum diketahui dengan mudah akan segera diketahui. Belajar harus dimaknai secara luas dengan mempertimbangkan konteks-sosial. Dalam lanskap konsteksual kehidupan, belajar akan selalu berdampingan dengan problematika.
Belajar ialah proses memaknai setiap informasi yang didasari oleh kesadaran dan keresahan. Sadar bahwa manusia adalah makhluk sosial dan resah akan keadaannya. Kesadaran dan keresahan mendorong manusia mencari jawaban untuk menyelesaikan masalah-masalahnya. Upaya mencari jawaban ialah bentuk ketidakpuasan akan realitas. Akan tetapi, realisasi mencari jawaban tidak pernah berujung. Satu jawaban menyelesaikan satu masalah, kemudian akan muncul masalah lainnya. Oleh karena itu, belajar ialah proses pemaknaan yang tak berujung hingga mencapi titik sublimasi, yakni belajar yang paripurna.
Untuk mencapai belajar yang paripurna, rasa puas seringkali berkamuflase menjadi ketercapaian belajar. Padalah, ketercapaian adalah abtraksi konsepsi. Ketercapaian bukanlah penyelesaian jawaban atau pameran produk hasil karya, tetapi kebermaknaan dalam diri yang diperoleh dari proses belajar. Oleh karena itu, kebermaknaan belajar akan dicapai apabila didasarkan atas pengaktifan seluruh pancaindera dalam merespon fenomena yang terjadi di sekitar.
Pembelajaran kontekstual menjadi jurus sakti mencapai pembelajaran yang paripurna. Pembelajaran kontekstual harus dipahami sebagai keresahan alami yang dirasakan dan diyakini oleh siswa bukan keresahan atas dogma-dogma kebenaran idividual. Keresahan siswa ialah problematika kontekstual yang mendorong aktivitas penyelesaiannya. Dalam tahap ini, siswa mencari sebanyak mungkin informasi untuk mengukuhkan bahwa keserahnnya ialah keresahan bersama. Dengan mengukuhkan keresahan sebagai persoalan bersama, muncullah kesadaran untuk menyelesaikan masalah. Akan tetapi, penyelesaian masalah tidak sebatas menyelesaikan misi atau tujuan pembelajaran, tetapi memberi makna dalam wujud aksiologis sebagai kontribusi pemikiran.
Saya banyak belajar dari siswa SMAN 8 Kota Jambi. Melalui program Presisi (Penguatan Karakter Siswa Mandiri Melalui Kreasi Seni), siswa menampilkan wujud Kemerdekaan Belajar. Keresahan akan lingkungan sekolah yang semakin panas dan gersang mendorong Gusti dan Ledo memulai ‘petualangannya’. Observasi, wawancara, dan studi berbagai literatur dilakukan. Dalam prosesnya, mereka memperoleh informasi bahwa pohon Bulian memiliki banyak keunggulan. Bulian dapat hidup ratusan tahun dan kayunya tergolong keras. Kayu keras lebih tahan lama dan kuat. Pertanyaan berikutnya, di mana bibit pohon didapatkan? Mereka berangkat ke Balai Benih, memperoleh bibit kemudian menanamnya di lahan sekolah.
Berbeda dengan Gusti dan Ledo, Dani, Ab Lima dan kawan-kawan melihat fenomena pergaluan pelajar yang semakin meresahkan. Hasil olah data menunjukan bahwa perlu dilakukan berbagai kegiatan positif untuk mencegah tindakan-tindakan amoral. Hebatnya, data tersebut mereka peroleh dari hasil survei kepada ratusan siswa di sekolah.
Aftari dan kawan-kawan resah akan sampah yang tak terurai. Mereka memburu informasi hingga mendatangi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Talang Gulo. Benar saja, di sana sampah menggunung. Rentang beberapa tahun, TPA Talang Gulo tidak lagi mampu menampung sampah. Dalam prosesnya, mereka berpandangan bahwa persoalan sampah juga disebabkan oleh disharmonisasi antar instansi pemerintah. Lewat riset sederhanya, mereka memberi solusi dengan mengusung gerakan “makan sampai habis’.
Dalam lingkup yang lebih sempit, Elida melihat kulit nanas bukan sebagai sampah, melainkan bahan berguna. Selama ini, hanya daging buah nanas yang dimanfaatkan. Setelah terpisah dari daging, kulit nanas menumpuk bersama sampah-sampah lainnya. Lewat pengolahan dan pendampingan serius di laboratorium, kulit nanas dapat diubah menjadi sabun mandi. Namun, demikian, sabun mandi berbahan kulit nanas belum sampai ke tahapan lebih lanjut.
Kemerdekaan Belajar empat kelompok siswa SMAN 8 menunjukkan bahwa telah tercipta pembelajaran yang bermakna. Tahapan refleksi menghasilkan masalah-masalah otentik. Penyelesaian masalah dilakukan dengan metodologis ilmiah; observasi, wawancara, dan kajian literatur. Dalam proses ini, guru hadir sebagai pendamping dan fasilitator. Guru berkontribusi lewat ilmu pengetahuannya guna memberi solusi penyelesaian masalah.
Pemecahan masalah diurai lewat kolaborasi, tidak hanya siswa-dengan siswa, tetapi siswa dengan guru, dan guru dengan guru. Dalam praktiknya, tidak hanya siswa yang belajar, tetapi juga guru. Kolaborasi siswa dan guru membentuk ikatan harmonis yang menjadikan pembelajaran lebih bermakna. Terlepas dari keresahan itu seutuhnya terselesaikan atau tidak, setidaknya proses pembelajaran telah membuka ruang siswa dan guru bernalar, bekerja secara kritis dan kreatif.
Berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif adalah empat modal pembelajaran yang dibutuhkan untuk menjawab ketidakpastian zaman. Empat modal tersebut dapat dilebur ke dalam pembelajaran yang berbasis kontekstual. Tidak hanya itu, pembelajaran kontekstual akan mengintegrasi berbagai mata pelajaran. Pembelajaran kontekstual dengan multi persfektif ilmu pengetahuan akan memunculkan banyak solusi penyelesaian. Dengan begitu, belajar bukan hanya hapalan untuk menjawab pertanyaan, tetapi pengembangan nalar dengan beragam solusi dari persfektif yang dapat dibuktikan secara empiris dan argumentatif.