Pergulatan Menjadi Adil di Tengah Dunia yang Terburu-Buru
Menjadi baik itu mudah. Kita diajarkan untuk berlaku baik sejak kecil dengan mengucapkan terima kasih, meminta maaf, tidak menyakiti orang lain, dan memberi kepada yang membutuhkan. Kebaikan menjadi norma sosial yang kita peroleh dari keluarga, sekolah, agama, dan masyarakat. Tapi adakah yang cukup mengajarkan kita untuk menjadi adil? Inilah perenungan yang menampar kesadaran saya suatu hari: bahwa kebaikan yang kita banggakan seringkali hanya menyentuh permukaan.
Ia mudah, karena menyenangkan, tidak menimbulkan konflik, dan diterima semua orang. Sedangkan keadilan? Ia menuntut keberanian, pertimbangan moral, dan seringkali menuntut pengorbanan, bahkan dari kenyamanan kita sendiri. Kebaikan, dalam banyak kasus, cenderung individualistik dan spontan. Memberi uang kepada pengemis, membawakan makanan ke tetangga yang sakit, atau sekadar tersenyum kepada orang asing adalah tindakan-tindakan baik yang bisa dilakukan tanpa banyak berpikir.
Tapi apakah kita pernah bertanya: mengapa ia mengemis? Mengapa ia sakit tanpa mendapat layanan kesehatan yang layak? Mengapa orang-orang menjadi asing satu sama lain di kota yang padat? Di titik itulah, kita berjumpa dengan tantangan menjadi adil. Kebaikan mungkin menyembuhkan luka sesaat, tetapi keadilan menyentuh akar masalah.
Menjadi adil bukan hanya soal memperlakukan orang sama rata, tapi lebih dalam: memperlakukan setiap orang sesuai kebutuhan, konteks, dan hak-haknya. Keadilan bukan tentang rasa kasihan, melainkan pengakuan akan martabat yang setara. Dan inilah yang membuatnya tidak mudah. Sebab adil mengharuskan kita membuka mata terhadap ketimpangan, lalu memilih berpihak.
Adil memaksa kita menentang sistem yang menindas, meskipun sistem itu menguntungkan kita. Adil membuat kita harus menimbang dua pihak yang berseteru, dan tidak serta-merta memihak yang kita sukai. Coba bayangkan seorang guru yang menghadapi dua murid yang sama-sama melanggar aturan. Yang satu anak dari pejabat, yang satu dari keluarga miskin. Kebaikan bisa membuat guru itu memaafkan keduanya demi menghindari konflik.
Tapi keadilan mendorongnya melihat lebih dalam: apakah keduanya benar-benar berada dalam situasi yang setara? Apakah si miskin yang terlambat sekolah karena harus bekerja dulu patut diperlakukan sama dengan si kaya yang terlambat karena begadang bermain game? Menjadi adil menuntut si guru berpikir kritis, menimbang konteks, dan mungkin menghadapi tekanan dari orang tua murid yang berkuasa.
Di sinilah kita harus jujur mengakui bahwa dunia lebih senang pada orang baik ketimbang orang adil. Orang baik tidak mengusik sistem. Ia memberi sedekah, tapi tidak menggugat ketimpangan. Ia menyayangi semua orang, tapi enggan berkata jujur pada penguasa yang zalim. Ia menyuarakan perdamaian, tapi tidak pernah berdiri di garis depan membela yang tertindas. Di sisi lain, orang yang memperjuangkan keadilan sering dicap pengacau, pembuat keributan, atau tidak tahu diri.
Ia dianggap “tidak baik-baik saja” hanya karena tidak menerima ketimpangan sebagai takdir. Padahal, keadilanlah yang menjadi fondasi bagi perdamaian sejati. Perdamaian yang dibangun di atas ketidakadilan hanya akan menjadi ilusi. Ketika sebagian orang bisa tidur nyenyak dalam kemewahan sementara sebagian lainnya gelisah karena lapar, maka tidak ada keadilan. Ketika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka kebaikan personal tak lagi memadai.
Kita tidak bisa menghibur orang miskin dengan kata-kata manis tentang kesabaran sambil membiarkan sistem ekonomi terus menindas mereka. Kebaikan yang tidak disertai keadilan hanya akan menjadi kosmetik moral. Namun memang, menjadi adil seringkali tidak memberikan kenyamanan. Ia menuntut kita melihat hal-hal yang ingin kita abaikan. Ia mengharuskan kita menyadari bahwa mungkin kita sendiri adalah bagian dari ketidakadilan itu.
Misalnya, saat kita membeli pakaian murah tanpa menyadari bahwa di baliknya ada pekerja yang digaji di bawah standar. Atau ketika kita menikmati subsidi pendidikan, tapi mendiamkan anak-anak di desa yang tak punya akses sekolah layak. Kebaikan memungkinkan kita merasa suci, tapi keadilan memaksa kita bercermin.
Tentu, ini bukan seruan untuk meninggalkan kebaikan. Dunia tetap membutuhkan orang baik. Tapi dunia lebih membutuhkan orang yang bersedia memperjuangkan keadilan. Orang yang tak sekadar memberi, tapi juga mempertanyakan mengapa sebagian orang terus membutuhkan. Orang yang tak hanya menolong korban, tapi juga melawan pelaku ketidakadilan. Orang yang tak hanya memaafkan, tapi juga mencegah kesalahan itu terulang.
Orang yang baik hati, tapi juga berani menyuarakan yang benar, walau tak populer. Menjadi baik bisa kita lakukan sendiri, dalam ruang privat. Tapi menjadi adil menuntut kita hadir dalam ruang publik, menjadi bagian dari percakapan sosial, politik, dan ekonomi. Ia menuntut kita keluar dari zona nyaman, bersedia berdialog, mendengar yang tertindas, dan berdiri di sisi yang tepat, walau sendiri. Ia bukan sekadar ekspresi moral personal, tapi perjuangan kolektif yang membutuhkan ketekunan dan keberanian.
Itulah sebabnya menjadi adil lebih sulit. Ia tidak datang dari perasaan semata, melainkan dari kesadaran yang matang. Ia bukan hasil dari empati sesaat, tapi dari pendidikan etis yang terus diasah. Ia bukan pilihan mudah, tapi jalan sunyi yang harus ditempuh oleh mereka yang percaya bahwa dunia bisa lebih baik bukan hanya karena banyak orang baik, tapi karena banyak orang yang adil.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi ini, kita tergoda untuk mencari solusi instan, termasuk dalam hal moralitas. Kita ingin merasa baik tanpa harus repot. Tapi dunia yang adil tidak dibangun dengan kenyamanan, melainkan dengan perjuangan. Jadi, jika hari ini kita merasa cukup dengan menjadi baik, mungkin sudah waktunya bertanya: apakah kebaikan kita cukup adil bagi mereka yang tidak seberuntung kita? Sejarah tidak mengingat orang-orang yang sekadar baik hati. Sejarah berubah karena mereka yang berani memperjuangkan keadilan.