Previlege Punya Keinginan dan Bermimpi
Sebelum bercerita lebih jauh, izin saya selipkan ucapan terima kasih pada inspirator dalam hidup saya. Kakak saya sudah keluar dari rumah sejak SMP, untuk bersekolah di kota kabupaten yang jaraknya satu jam dari rumah, dan menumpang di rumah keluarga. Lalu melanjutkan SMA di Bulian, dan Berkuliah di STIKOM (sekarang UNAMA). Perjalanan pendidikannya yang berpindah-pindah membuat saya iri hati.
Saya yang tidak mau kalah juga ingin merantau sejak SMP, tentu saja saya tidak dipercaya untuk hidup sendiri, lantas tidak diperbolehkan oleh kedua orang tua saya. Akhirnya, saya masuk ke SMP yang menjadi satu satunya pilihan oleh anak-anak SD di kampung saya. Jika mereka tidak masuk SMP itu, berarti mereka memilih masuk pesantren. Ketika SMP, beruntung sekali saya bertemu dengan teman yang sama-sama memiliki mimpi yang besar, sampai berangan-angan untuk lanjut ke SMA terbaik di pulau Samosir, Sumatra Utara. Tentu saja lagi-lagi orang tua tidak merestui.
Meski tidak sampai ke Sumatra Utara, saya tetap kekeuh untuk lanjut ke sekolah yang jauh. Pilihan saya jatuh pada SMA swasta di Kota Jambi, empat setengah jam dari rumah. Seiring saya bertemu orang-orang yang lebih beragam dan beberapa membawa cerita kota lain, mimpi-mimpi yang lebih besar tumbuh dalam kepala saya. Saya jadi tamak dan menginginkan berkuliah ke pulau Jawa. Maka di sinilah saya per hari ini.
Saya pikir, semua anak berpikiran dan bercita-cita seperti demikian. Ketika saya kembali ke kampung untuk liburan, beberapa teman dan adik kelas saya sudah menikah, beberapa sudah momong anak, atau sekedar putus SMA dan tidak melanjutkan kuliah. Setelah saya ingat lagi, beberapa teman SMP saya dulu tidak memiliki mimpi untuk berpendidikan tinggi. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini, tentu yang paling utama tetap faktor ekonomi, namun kita tidak bisa terus beralasan demikian, ada banyak bantuan biaya kuliah bagi mahasiswa tidak mampu. Faktor kedua adalah minimnya motivasi internal untuk mengejar pendidikan. ya tidak ingin saja. Malas saja.
Sedangkan di jenjang perkuliahan saat ini, saya dan mahasiswa lain terus dicekoki untuk terus mengejar pendidikan. kadang saya kasihan, pasti pendidikan lelah. Tenaga pendidik terus berkata, “Ambil S2, kejar S3, jadilah dosen, guru besar, bahkan profesor. Kejar beasiswa LPDP, terbang ke negara lain, lakukan penelitian.” Ketimpangan ini membuat dada saya sesak. Apa memang sewajarnya begini? Apa memang harus selalu ada orang-orang sebaya kita yang tidak berpendidikan, agar yang berpendidikan bisa berbangga dan bersombong diri?
Indonesia emas 2045 tinggal 21 tahun lagi. Ingat betul saya, ketika berusia 11 tahun lalu, di tahun 2015 menonton televisi dan memimpikan di tahun 2020-an kita sudah mengendarai mobil di udara, kota-kota berwarna silver diselimuti teknologi. Ternyata angan anak kecil itu tidak terwujud. Sindonews.com menampilkan data siswa putus sekolah di tahun ajaran 2022/2023. Terdapat 75 ribu lebih anak yang putus sekolah dari jenjang SD, SMP, dan SMA (Whyono, 2023).
Kemendagri menyebutkan, penduduk Indonesia yang menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi hanya 6,27% dari jumlah penduduk, dan hanya 0,3% di antaranya yang bergelar magister (Wahyono, 2023). 21 tahun lagi, 75 ribu anak putus sekolah itu akan berusia berkisar 30-40 tahun. Jika diacuhkan, kemungkinan besar mereka hanya akan memiliki kualifikasi untuk pekerjaan berpangkat rendah. Lantas saya memiliki pertanyaan:
- Apakah 6,27% itu mampu membawa Indonesia menuju Indonesia emas (Saya sadar ini bukan hanya tugas mereka)? Saya yakin, tidak semua dari persentase itu memiliki niat lurus dalam berkuliah, dan lulus sesuai IKU (Indikator Kerja Utamas) perguruan tingginya. Ditambah dengan kondisi politik dan kebijakan serta perubahan-perubahan yang tidak bisa saya deteksi ke depannya.
- Apa yang bisa kita lakukan pada 75 ribu anak yang luput dari pendidikan formal tersebut? apakah menyediakan lapangan kerja sesuai dengan kemampuan mereka cukup untuk menyelesaikan persoalan?
Saya yang hari ini gatal ingin melakukan sesuatu membuka sudut pandang banyak orang mengenai pendidikan, sayang saya yang hari ini belum memiliki kapasitas dan koneksi untuk melakukan hal yang lebih serius, seperti mengadakan sekolah rakyat atau diskusi dengan para orang tua di daerah. Yang bisa saya lakukan hari ini hanya menulis dan menuturkan pemikiran.
Pada tahap ini saya memahami bahwa, memiliki kesadaran dan kemauan untuk menjadi individu berpendidikan merupakan hak istimewa, ada banyak individu lain yang tidak mampu memunculkan motivasi internal untuk terus mencari pengetahuan, meskipun memiliki akses yang sama dan kesempatan yang sama. Saya ingin katakan, bahwa sependek pengalaman saya berkuliah, hampir seluruh materi tersedia di internet, dosen hanya mengarahkan saja apa yang perlu dicari dan membantu meluruskan pemahaman kita. Persoalannya adalah, mau belajar atau tidak.
Saya menuliskan ini dengan bias apa yang sering saya lihat, tetap saya tidak menutup mata pada faktor lain yang menghambat pendidikan. Saya ingin sampaikan, belajarlah, bacalah, berusahalah semampu yang kita mampu, sampai orang lain tidak bisa menyalahkan kita karena kita tidak ingin berusaha. Berusahalah sampai kita benar-benar bisa menyalahkan pemangku kebijakan atas terbatasnya akses pendidikan. intilah anak muda saat ini, “If He want, he will.” Jika dia mau, dia akan mengupayakannya. Jika kesadaran individu akan pentingnya pendidikan tidak segera muncul, visi dan tujuan Indonesia emas kemungkinan besar tinggal angan.
“Tinggalkan komentar alasan kamu masih tidak berpendidikan”
Penulis: Putri Nur Syam, perempuan kelahiran 24 Oktober tahun 2005. Saat ini tengah menempuh pendidikan tahun pertama di jurusan PLB. Cari tahu sendiri apa itu PLB, abad 21 harusnya sudah jadi masyarakat yang inklusif. Barang kali ingin mengenal saya lebih jauh, silakan cek kesukaan saya di akun instagram @anthrnewaksok. Tidak punya second account.”