Puisi-puisi Aldi Muheldi
MELODI TESIS: BERKECAMUK DENGAN PIKIRAN
Ingin mengejar habis sisa-sisa tahun
menyelesaikan semua kertas-kertas buku yang bersepah di kasur,
terselip dalam ketiak dan kapas bantal yang lupa dijahit bersama keyakinan dan jarum tumpul, terbentur pada dinding-dinding putih ternoda karena tinta pena,
bertuliskan catatan rimbun-rimbun kata.
Aku hampir tenggelam dalam pikiran,
yang berputar pada cerita kecemasan dan kegagalan,
yang tak ada ujung kebenarannya.
Aku terhenti pada lorong yang penuh kekosongan,
arah pikiran tak bisa tertuju pada titik yang diinginkan hati,
sebab terhimpit pada riuh-riuh “yang lain”,
datang menghalangi jalan untuk menumpuk kertas-kertas yang menjulangkan ilmu.
Saat kembali pada detik-detik yang hening,
jemari kucoba menari di atas laptop yang sudah penat,
berjalan pada titian berupa ungkapan-ungkapan tentang dalamnya makna,
mengeja rasa yang terlupakan.
bahkan, aku merasa seperti burung malam yang meraba-raba pada seutas tali jemuran.
Aku sudah menyerah, mati terperangkap hanyut meresap terlalu jauh,
berkelahi dengan pekat bayangan di antara nada hitam dan putih,
dan menjerumuskan tubuh dirantai oleh irama kesalahan.
Maka, basuhlah sejengkal tubuh pada detik cahaya yang merambat,
dan teguhkan sajadah dengan melangitkan doa.
“Tuhan akan menjawab lewat angin yang masuk dalam nadi-nadi
memberi bingkisan sabar dan berakhir menerangi karya dan usaha”
DINI HARI MENYAPA MALIOBORO
Seperti malam-malam biasa
Aku tak terpeluk oleh rasa kantuk yang dirasa sebagian orang
Mata ini tak kunjung menemukan sayu
Dan tertahan pada lamunan, terpaku pada layar
“Mungkin, menjelajah malam tak menjadi masalah,” ujar karib dekatku.
Di bawah langit terbuka, Malioboro menjadi titik fokus tanpa rencana.
Apa kabar Malioboro dini hari? Ketika kuhimpun waktu, sudah satu dua puluh
Jalan panjang lenggang, Malioboro yang sepi, seakan waktu meninggalkan deretan hikayat
yang terukir pada gerbang-gerbang kios menjadi perjalanan dan makna kehidupan.
Pijar-pijar lampu trotoar menerpa tubuh menghempas kata
Ada nafas yang terbuang di Malioboro menyatu pada keheningan
Asap rokok mengiring cerita mengudara menembus tawa
Dalam riuh rendah lalu-lalang kendaraan merajut bergabung menjadi narasi
Mencair dalam mata, teranyam dalam rasa yang mengalir di urat nadi
Apa kabar, Malioboro? Ketika jam menunjukkan dua tiga puluh,
di bawah Pohon Gayam, dedaunannya gugur disapu angin kemarau
Ketika semua sudah dirasakan, senyap pun merajai telinga
Cepat-cepat aku ambil pena, mencatat setiap irama
Sekiranya aku harap kau kekal dalam setiap kisah yang tercipta
Dari tangan penyair, yang tak mahir mengolah sajaknya.
Pogung Lor, 29 September 2023
TERUNTUK RANGKA TUBUHMU
Terjatuhlah kau tubuh, dengan pisau tertancap dalam hingga berongga.
Serta kaki yang tak sanggup pulang serta mencari ruang tuk memandang riang.
Sendirilah kau tubuh yang terbuang, saat cinta dan kasih sayang tak dapat kau pegang senang
Dia terdiam terjerat dalam sepetak penjara yang mengurung gerak ayunan tarinya
Rantai-rantai yang mengikat seharusnya dihempaskan
Hingga tembok dingin yang mengait dan menyangga pipimu lebur dalam udara.
Perkasalah kau tubuh layu, dari semua persoalan raga yang pilu
Tangismu sudah cukup sendu, untuk semua benci yang tak berhenti
Kau sudah cukup lelah, peristiwamu cukup panjang melintas bintang-bintang.
Matanglah kau tubuh kerdil, dari perihal krusial seakan merajam jiwa untuk henti tertambat
Kau mesti melempar tali jangkar ke dalam tubuh yang berbeda rupa
Lalu dengan anggun sajikanlah puisi pada segelas anggur yang telah dilupakan
Ketika waktu memahatnya menjadi serupa anggrek yang ronanya kemerahan, dan biarlah kata-kata itu menari.
Ketika sampai malam menjemputmu, panjatlah pinta kau tubuh noda, dari mulut tercela dengan kata-kata yang terbang menuju langit menembus peristiwa-peristiwa.
Maka dia akan menancap pada harapan dan datang pada setapak yang tak pernah kau jajaki
Tersemogalah semua do’a dari tubuh yang gelap karena buta yang merindukan jumpa kepada jiwa tak terpelihara.