Puisi-puisi Aldi Muheldi
Sajak yang bukan untuk siapa-siapa
Kepada belukar malam
Jemari sibuk menjalin kata pada selembar cahaya
Lalu, dibangunnya syair berirama dengan kekaguman.
Berisi makna serupa bintang
Dia menggantung harapan melalui dinding-dinding putih yang rapuh oleh angin.
Dan syair itu hanya diam tersangkut di ujung jendela.
Jambi Selatan, 2024
Aku dimakan lagi
Hari ini sarapannya hanya kecewa bertumpuk dengan sendok, garpu, dan khayalan
Telur dadarnya tidak rata menyebar diacak-acak ekspetasi
Nasinya sedikit yang banyak hanya harapan
Ketika tingkap sudah diurai dan terbentang lah angkasa luar yang cerah, tapi itu kemarin, yang bersandar pada lengan pagi dengan embun manis menempel di daun bambu kerdil bermain dengan senyum dan senandung lembutmu
Padahal, kita sudah membuat rencana tersusun pada kertas biru, dilem dengan lem setan, kuat, ditambah dengan kelingking, serta kata-kata “iya” ditabur di sepanjang perbincangan yang disempurnakan dengan yakin.
Tapi Hari ini aku hanya makan ketidaktahuan kabar, yang dibuat dengan janji.
Jambi Selatan, 2024
Sehelai Daun dan Mimpinya
Tersingkaplah pesan-pesan kasih seorang Penyair
Ketika waktu telah sampai di ujung perjanjian Tuhan
Maka dua helai daun dalam angin berpapasan di simpul takdir
“Makna Pencipta adalah deburan samudera, tak mampu diukur setiap gelombang-gelombangnya”
Kepada Tuhan, seorang Penyair menjumpai-Nya di tempat sujud dan tangisnya
Kata-kata mengalir seraya tangan menampung pesan batin yang terungkap lewat air matanya
“Di sini aku mengucapkan semua rasa terima kasih kepada Mu sampai akhirnya janji kami terikat, terima kasih ini masih tetap tersemat,” kata seorang penyair pada penciptanya.
Hingga akhirnya tubuh terkulai dalam kepenatan merayapi dirinya.
Nafas pikiran serta senyum yang bercerita, hadir dalam mimpi-mimpi itu
Pertemuan dua helai daun dalam angin yang jatuh pada bangku taman, akhirnya menumbuhkan melodi harapan keabadian
Apabila setiap kertas puisi tak pernah ditiupkannya kepada angin hujan di setiap loncatan jarum waktu, maka bangku taman itu adalah luka yang membisu tak terucap.
Dari balik mimpi-mimpi seorang penyair itu.
Ada senyum yang melekat di alam imajinasinya
Ada bait amanah yang akan ingin disegerakannya
Ada air mata yang ingin dihapusnya
Dan akhirnya tersampaikan pada paduan perjanjian yang mengikat takdir dua helai daun dalam angin yang jatuh pada bangku taman-Nya.
Tetapi ketika pagi merangkul lewat fajarnya
Seorang Penyair terjaga karena kilatan menyambar memorinya
Lalu dia terjebak dalam renungan dan mengetahui bahwa impian sudah berlalu
Hanya ada bayang semu tak tentu menyambar harinya
Pada akhirnya seorang penyair berkata “Aku harus datang ke pernikahan Elisa”
Yogyakarta, 2023
Juara dua dalam sayembara puisi Penerbit Palaray Media Tema Jodoh dan terhimpun dalam antologi puisi Amikal