Puisi-puisi EM Yogiswara
TEATER BELUM BISA MENGHIDUPKANKU
Di kesepian panggung, Tubuh bergumam:
Hingga kini, aku hanya bisa menghidupkan
teater — yang nyata saat cahaya kehidupan
menyala di ruang impian. Tapi teater belum
bisa menghidupkanku — batin yang terdiam
di luar kehidupan naskah.
Uniknya, resah Tubuh, kisah demi kisah hidup
tetap kuhidupkan, meski hidupku tak berkisah
apa-apa. Teater belum bisa mengembalikan
waktu dan jiwaku, selain menghadiahkan ku
tepuk tangan yang kan lenyap saat panggung
sunyi.
“Lalu kenapa kau masih mau menghidupkan
teater?” Ejek Akal.
Tubuh berdalih: Kuhidupkan teater, karena di
teater aku merasakan keutuhan jiwa, sembari
berharap: teater bisa menyinari kehidupanku.
Akal tersenyum menyimak kilah Tubuh “Kau
berdiri di tengah panggung bak batu nisan.
Menghidupkan teater dari kesunyian dunia.
Menghidupkan kematian di setiap dialog.
Di atas panggung, jantung telah kau beri, tapi
pemberianmu tak pernah kembali. Kau ibarat
api yang terus menyala, tapi tak hangat di
kehidupanmu,” cemooh Akal.
Tubuh terdiam. Pasrah. Tubuh hanya punya
keyakinan: Teater bukan hanya kehidupan
tetapi jalan pulang manusia pada Illahi, meski
teater belum bisa menghidupkan dirinya.
Teater AiR Jambi, 27032025
AKHIR ZAMAN DI SUNGAI
pagi ini, tubuh menyusuri sungai. Tak ada
kebeningan. Keruh disisik penambang emas.
“Serpihan emas di sungai adalah isyarat
bahwa zaman kan mengakhiri lukanya,”
sapa Kalbu.
“Akhir zaman?” Heran Tubuh.
“Ya!” tegas Kalbu sambil mengurai gelisah:
Sungai tlah terluka. Serpihan emas di jernih
sungai, dikeruk pendusta. Keajaiban dunia
sirna. “Usah silau pada kilau emas. Emas
tak menyelamatkan perjalanan hidup, jika
kau masih hanyut di kedalaman semu,”
tegur Kalbu.
Tubuh tak bergeming pada teguran Kalbu. Ia
bersikukuh tuk merindukan serpihan emas di
kebeningan sungai. “Emas anugrah terindah
bagi kami,” bangga Tubuh.
Kalbu tersenyum, lalu berkata: Emas bukan
keajaiban. Ia hanya godaan. Jiwa yang tahu
emas pertanda akhir zaman, kan merasakan
isak tangis sungai. “Sungai kelak dimintai
kesaksian atas kebekuan jiwa yang mengikis kilau tubuhnya. Karenanya, sebelum dosa
bangkit, menangkan hati agar kau tak jatuh
di duka sungai yang kian terkikis.”
Teater AiR Jambi, 03032025
KEBENARAN DI HATI
Mencari kebenaran dalam kehidupan, tak
semudah bertanya. Dan ketika aku ingin
mencari jawaban, kakiku tersandung batu.
Aku mengaduh, dan batu berucap: Jika kau
tak berjalan di bebatuan, kau tak menemukan
makna hidup. Kebenaran yang kau yakini,
belum tentu nyata. Karena semua kebenaran
datangnya dari Allah. Pulang lah, dan cari
jawaban kebenaran di hatimu.
Wejangan batu menyentil hatiku agar tak
terus angkuh mencari kebenaran. Sebab
kebenaran kan hadir karena akal senantiasa
terjaga hati. “Kebenaran akan hadir di akal,
jika hati tak lalai merindukan-Nya. Mencari
kebenaran adalah awal. Menjaganya, itulah
perjuangan. Jaga hati tuk teduh dan rendah,
agar kebenaran Illahi tak lelah memelihara
langkahmu menjalani kehidupan,” tuah Batu.
Teater AiR Jambi, 22032025
MEMBANGUN KESADARAN
masihkah hati berlupa diri saat tubuh dipinta
tuk merapat ke tanah? Jika jawaban tidak,
semoga di sisa usia, masih ada kekuatan
do’a diterima-Nya. Sebab perjalanan tubuh
di kesementaraan dunia, cuma kenangan
menjajaki kehidupan.
Menjajaki kehidupan di dunia, bukan sekedar
menikmati mimpi tapi membangun kesadaran
atas pemberian hidup dari-Nya. Caranya, usah
kegelisahan dipelihara, tapi cahaya syukur
yang harus dirawat.
“Rawat syukur saat tubuh menua, jadikan hati
cahaya menerangi perjalanan menuju Illahi.
Jika lalai, semua kenikmatan tubuh di dunia
jadi kesemuan di akhirat,” tuah Kalbu.
Teater AiR Jambi, 05032025