Puisi-puisi Fikri Ghazali
Kursi berkaki tiga
Lihatkan kursi itu,
Warnanya kusam, catnya mengelupas, dan
Kreot-kreot saat ditempa angin malam.
Kata temanku,
kakinya yang satu tanggal,
Karena terkena bola yang terpental,
Yang ditendang striker berwajah tampan.
Sambil berkeringat dan mulai menghitam,
karena dihantam berjam-jam,
matahari di bulan juli,
dia mulai lengkapi semua,
yang kata orang janggal.
Biar bisa sejajar dan diperlakukan wajar.
Malang, ‘24
Ponsel
Bu, aku ingin punya ponsel yang berlayar lebar, berkamera tak samar.
Buat apa? Kata ibuku yang wajahnya abu-abu berlumur debu tungku.
Biar aku bisa belajar dengan nyaman dan bisa berfoto di depan cermin yang dipajang di sekolahan.
Ambil uang di saku di dekat tungku, nak.
Jawabnya sambil mengunyah makanan-makanan sisa yang tak dihabiskan.
Malang, ‘24
Siksa
Apa yg seharusnya terjadi?
Pada Laila pemilik purnama.
Kata orang, dia sudah mulai kehilangan selera hidangan kebab ankara,
yang lezat dagingnya mashur sampai Indonesia.
Tak hanya itu,
tetanggaku bilang, dia sudah susah untuk berjalan ke pasar, warung, dan tempat ia mengajar.
Tadi malam, ia meneriaki orang-orang dengan pengeras suara sambil keliling jalanan.
Sekarang! Sekarang!
Kemudian aku tertegun dalam diam yang cukup panjang,
Lantas kita?
Jogja, ‘24
Arah
Apa yang dirasakan seseorang yang sedang menderita?
Kebanyakan orang mengira,
Dia sedih,
Kasihan,
Perlu dibantu.
Siapakah yang layak diamini?
Kamu yang selalu jadi pertimbangan, atau mereka yang memperhatikan?
Bagi seorang penggembala apakah ia yang menuntun domba? Ataukah ia yang digiring domba?
Semua bertujuan nan berpedoman.
Aku dan kamu?
Semoga kita berjumpa di penghujung jalan tempat orang-orang berpamitan.
Klaten, ‘24