Puisi-puisi Hawa Lia
Sepatu Tua
Sepasang sepatu tua di sudut rumah,
Solnya tipis, warnanya pudar berdebu,
Sekalipun ia tak pernah mengeluh meski menapak,
Jalan berlumpur dan lubang kepahitan.
Kami lah sepatu tua itu—
Dibuat untuk menuntun jalan kalian yang jauh,
Namun tak pernah menginjak karpet istana,
Hanya trotoar retak oleh rencana yang patah.
Kalian, yang sepatutnya selalu licin mengkilap,
Langkah kalian ringan dari rapat ke rapat,
Tanpa kalian tahu rasanya lecet di kaki,
Saat sepatu tua terus dipaksa menari di batu janji.
Tapi sepatu ini masih kami jaga,
Meski sudah ditambal berkali-kali,
Karena ialah saksi, suara kami
Tak cukup untuk didengar dari lantai tinggi.
Yang Tak Pernah Padam
Bangkitlah, jiwa yang kadang terlena,
Dalam maya yang penuh drama,
Setiap duka adalah pengalaman tersembunyi,
Membangun suka dari luka yang perih.
Teruslah berjalan dengan penuh keyakinan,
Jangan biarkan raga terperangkap kelam.
Langkahmu laksana Arjuna yang berani,
Menaklukkan rintangan tanpa henti.
Jangan gentar oleh roda dunia,
Karena hati tangguh, terang menyala.
Jiwamu adalah Agni yang membara,
Membakar lelah, mengusir nestapa.
Teruskan langkahmu di jalan suci,
Meski badai mencoba menghampiri.
Ragamu adalah cahaya abadi,
Menerangi langkah penuh harmoni.
Jejak dalam Bait
Segala hal ku tulis dalam sajak,
Yang setiap baitnya bukan hanya goresan tinta.
Tetapi ruang dimana beribu rasa ku simpan,
Menjadi saksi bisu perjalanan jiwa.
Akulah si pencinta sunyi yang tak lelah menanti,
Di kala malam menghampiri,
Kertas putih perlahan terisi oleh harapan serta janji,
Menghidupkan mimpi yang kadang terlupakan.
Setiap kata adalah jejak langkahku
Menembus waktu, menantang sepi dan gelisah
Karena dalam sajak ini, aku bebas
Bebas menjadi diri sendiri, bebas bermimpi tanpa batas.
Dibalik Topeng
Ku pandangi cermin yang memantulkan bayang-bayang,
Menampakkan senyum ilusi yang dicipta oleh tawa hampa,
Seolah berteriak “berhenti menipu diri sendiri!”
Tertunduk pada dunia yang menuntut untuk berpura-pura.
Persetan dengan itu,
Bukan aku yang memilih terluka dalam diam,
Bukan aku yang membiarkan waktu menggiling mimpi yang patah.
Namun siapa yang mengerti?
Ketika kata-kata menjadi debu yang tersapu angin.
Dan jika dunia ingin terus melihat kesedihan dibalik topengku,
Maka biarlah aku akan tetap berpura-pura,
Sampai waktu memaksa aku untuk melepasnya,
Dan menemukan ketenangan dalam kesendirian,
Tapi bukan sekarang, bukan saat ini.