Puisi-puisi Khairul Ni’mah
Buku Kecil Ayah
Yah,
maafkan aku
yang diam-diam membaca buku kecilmu.
Di jeda sunyi antara rindu dan kehilangan,
aku juga kehilangan cara untuk mengingat.
Aku menyusup ke ingatanmu,
menyelami baris-baris sepi
yang kau tulis dengan napas terbata.
Di pertengahan,
aku terhenti.
Ada halaman terlipat rapi,
serapi luka yang disembunyikan di balik senyum.
Tulisannya merembes luka,
menghitam seperti lebam.
Aku membukanya,
perlahan,
dengan doa yang lebih mirip permintaan maaf.
Mungkin isinya rencana-rencana sederhana:
menikahkan anakmu,
membeli sepatu baru,
atau sekadar menahan sakit sampai minggu depan.
Tapi, Yah,
ini bukan tentang aku,
bukan tentang kakak, abang, adik,
atau ibu yang selalu tegar di sisimu.
Ini tulisanmu, Yah.
Tentang luka yang kau dekap sendiri dalam diam,
lelah yang tak pernah kau hidangkan di meja makan.
Tentang doa-doa yang kau gores dengan jemari gemetar,
dan air mata yang selalu kau tahan di tepi pelupuk.
Ajari aku, Yah,
cara menggenapkan doa-doamu yang tertinggal dalam sunyi.
Teater AiR, 14 Februari 2025
Puisi ini ditulis untuk sosok Ayah yang sabarnya seluas samudra.
Menjemput Rindu di Kelas yang Sepi
Beberapa hari ini aku menjemput rindu.
Ia duduk di kepalaku,
melimpahkan kata-kata yang ingin berlari.
Mereka berhamburan di udara kelas,
menempel di papan tulis,
tertinggal di sudut meja yang tak tersentuh.
Aku coba mengumpulkannya,
menyusunnya satu per satu menjadi puisi,
tapi jariku selalu berhenti,
seperti spidol yang ragu menuliskan jawaban
di hadapan anak-anak yang tak tahu harus bertanya apa.
Tapi kucoba lagi.
Terus.
Sampai mati.
Sampai aku lupa,
Mengapa harus menjemputnya.
Mungkin aku telah mati,
ditimpa beribu diksi dan ilusi,
beribu cerita yang kutinggalkan di buku catatan
dan percakapan yang tak sempat selesai di jam terakhir.
Sungguh,
aku tak ingin mati
sebelum membersihkan hati,
menuliskan puisi ini,
dan memastikan rindu tak hanya berdiam di kepala,
tetapi juga tumbuh di antara mereka
yang kubimbing hari ini.
Teater AiR, 14 Februari 2025
Puisi ini ditulis untuk anak-anak didikku yang manis. Semangat untuk meramu kata-kata
Ma
Ma,
bolehkah aku jemput kembali bulan itu?
Bulan suci yang kau simpan di antara gemericik panci
dan harum bawang yang kau cincang dengan doa.
Ma,
bolehkah kudengar lagi suara lirihmu,
serupa angin dini hari yang menyusup ke jendela,
mengusap ubun-ubunku ketika sepi menjelma selimut?
Ma,
bolehkah kukecup keningmu sebelum kuberlari ke jalan-jalan pagi,
di mana bayangmu masih menari di dasar piring,
dan tangan rentamu menggenggam waktu yang enggan kembali?
Ma,
mengapa kini bibirmu serupa jendela tertutup?
Mengapa suaramu hanya tinggal gema di dada?
Ma,
apakah Tuhan telah memberimu rumah yang lebih tenang,
sehingga kau memilih menatapku dari jauh saja?
Aku ingin menjemput bulan bersamamu, Ma
Tapi
kau telah lebih dulu pulang dengan doa-doa yang di langitkan waktu itu.
Bilik, 14 Februari 2025
Puisi ini untuk seorang sahabat yang merindukan ibunya, saat bulan Ramadan mampir ke rumahnya.