Puisi-puisi Selly N P Manurung
Disudut Kota Ini
Deru nafasnya begitu menusuk
Dia yang bertahan hidup di sudut kota ini
Langkahnya terpaksa diseret
Bibir lengkung itu terpaksa dirobek
Hidup baginya seperti mati suri
Terlalu naif akan validasi konyol yang sempat berhembus
Mengambil hak orang lain itu disebut perubahan kebijakan
Lantas mengambil hak dalam diri orang lain bukankah layak disebut bajingan?
Jika manusia bisa hidup hanya dengan oksigen
Lantas mengapa para bajingan sibuk memeras tulang demi sepotong roti?
Bukankah nyawa hanya sekedar hembusan angin yang berlalu
Lantas, mengapa banyak jiwa terenggut paksa hanya demi nafsu tak terbatas?
Sempat terpikir olehnya …
Mereka yang mati tergilas, akankah masih bisa menyuarakan haknya?
Mereka yang mati tak bersalah, mengapa bisa lenyap tanpa suara?
Sementara yang hidup, meski telah mencekik banyak leher, terus melenggang, entah dimana kini berada
Pembangunan itu berhasil, karena telinga mereka memekik tiba-tiba lalu tuli
Mata mereka yang buta seketika berbinar kala uang menyapa, namun genangan darah yang
bercucuran itu tak kurang dan tak lebih dari hiasan sunyi bagi pandangan yang kehilangan
nurani
Bukankah ini pikiran yang terlalu waras untuk orang gila sepertinya?
Iya dia yang sempat ada dalam diriku, yang sekarang entahlah kegilaan itu justru sudah menjadi bagiannya.
Aku Perempuan Gila
Adakah pelepasan kenikmatan yang sudah kulewatkan
Bukankah semua lubang itu hanya lorong panjang yang gelap dan kumuh
Bukankah ujung yang tersisa hanya lendir kental yang begitu menyengat
Begitu busuk menusuk hingga sampai ke saraf mati
Atau mungkinkah setiap lubang itu dihiasi pita-pita lucu yang mungil
Disudut ruang itu kulihat seorang lelaki tua renta menyelipkan serutu di selangkangannya
Ah … ah … uh … surga ini begitu membakar tulang rusukku, pelepasan yang nikmat katanya
Aku terkagum, akankah keperkasaannya mampu mempropagandakan keimananku
Persetan dengan logika aku habis akal
Aku butuh makan aku butuh minum aku butuh uang uang lagi lagi hanya uang
Pernah sekali aku membayangkan bagaimana rasanya bila aku mengendarai mobil pak tua itu
Saling bertaut jari, berbagi peluh, bersahut-sahutan dalam desahan panjang
Namun ku urungkan niatku karena kala itu aku belum begitu kotor
Hingga tanpa sadar kuseret langkah ini ke ruang kosong disebelah
Terlambat suara itu begitu memekikkan telingaku
Kancing bajuku sudah terlepas tiga mengapa tidak sekalian aku tanggalkan semua
Aku haus akan batang kayu yang selalu kutemui di setiap sudut ruangan ini
Mengapa tidak sekalian saja aku tenggelam dalam pusarannya
Mengarungi derasnya ombak yang mengalir di kedua sela pahaku, hidupku maksudku
Ah …
Rasa sakit ini tak seberapa dibanding perih yang selama ini terkubur dalam diam
Bukankah ini yang kucari? sebuah pelarian dari kelaparan dan dahaga tanpa ujung
Aku perempuan terpuruk, menggantung pada mimpi rumah beratap dan hidup yang tenteram
Aku perempuan gila di ujung jalan, yang terperangkap lapar dan dahaga tak berujung
Salahkah aku? Aku hanya perempuan gila yang tak lagi tahu cara menyuap nasi dengan tanganku
sendiri
Jerat di Meja Kekuasaan
Di meja para penguasa, kepala babi tergeletak, mulutnya menganga, bisunya tajam,
Namun lebih nyaring dari jerit pilu suara rakyat yang ditelan sunyi
Tikus-tikus gemuk berdansa di bawah bayangannya
Di bawah meja melahap sisa-sisa yang dilempar dari tangan penuh noda
Keadilan? Mungkin telah dikubur bersama taring mereka yang haus kekuasaan
Pena yang mencatat sejarah kini menjadi belenggu
Membatasi suara, memenjara kebenaran di ruang gelap
Siapa yang bicara akan digilas oleh gigi yang tak terlihat
Mereka yang melawan hanya mendapat sisa tulang
Berteriak di lubang sunyi tanpa gema, tanpa ujung
Keadilan di negeri ini bagai tikar usang yang koyak
Menutupi sebagian, sementara sisanya dibiarkan telanjang
Rantai itu mengikat, bukan pada pelaku kejahatan
Tapi pada suara yang paling lantang dan berkuasa
Hukum berlutut di hadapan mereka yang menggenggam kuasa
Sementara mereka yang bermimpi, siapa suruh mereka bermimpi?
Apa yang lebih kejam dari ketimpangan yang sengaja dirawat?
Kepala babi itu bukan sekadar pesan
Ia adalah jerat yang menghantui setiap lidah yang mencoba bicara
Tikaman diam yang menodai keadilan
Menjaga taring kekuasaan tetap haus, tetap lapar
Namun suara tidak bisa sepenuhnya dibungkam
Dari reruntuhan ketakutan akan lahir perlawanan
Kepala babi itu akan menjadi simbol, bukan ancaman
Tikus-tikus gemuk akan tersandung di atas taring mereka sendiri
Rakyat hanya tinggal menyuarakan nasib malangnya, menjadi penghantar tidur bagi telinga SI PENGUASA
Tuhan, bisakah kita tukar posisi
Aku mencari wajahMU di cermin yang retak
Tapi yang kulihat hanya rasa kecewa
Kau yang memilihku atau aku yang memilihMu?
Semua tergantung seberapa kuat tangan melipat atau seberapa hebat aku merayuMu?
Aku ingin bertanya, Tuhan
Apa Kau tahu rasanya menjadi manusia?
Menghirup udara yang sering berbau getir, menggigit roti yang rasanya seperti debu
Mencintai hidup tapi selalu disandingkan dengan kematian
Aku ingin mencoba berdiri di tempatMu, bolehkah?
Aku ingin melihat apa yang Kau lihat dari atas sana
Apakah penderitaan kami seperti tarian yang menghiburMu?
Apakah aku akan menikmati aroma doa yang terbakar, lalu ku padamkan dengan hujan belas kasih
Tapi tunggu, Tuhan, mungkin aku sudah tahu jawabannya.
Kau tak pernah turun karena Kau takut
Takut melihat bagaimana ciptaanMu menuntut balas
Kau adalah Tuhan yang lupa menjadi Tuhan
Selly N P Manurung, kerap dipanggil Selly, pecinta kupu-kupu, bunga, biola, merah maron, perpaduan yang sangat ikonik. Baginya menulis adalah seni di atas kata kebebasan dan sebuah karya yang liar dan menantang adalah daya pikat, bukan sebatas estetika, melainkan keberanian untuk menggugat kebekuan makna. Baginya, kata adalah belati, dan puisi adalah seni menusuk, berharap darah tersembur, apa yang sebenarnya sedang kuperjuangkan?