Puisi-puisi Widya Angraini Ramadhani
RIUH
Aku tak ingin hidup
Tatkala akal membuncah gila
Tanpa insan di hiruk-pikuk keramaian
Saban hari raungan nan pekik memecah raga
Mencekik batang leher hingga memerah
Aku tak ingin hidup
Senantiasa mengunyah perihal getir
Acapkali gemar menyesap anyir
Lalu pulas mengabaikan bekas
Aku tak ingin hidup
Karena sembuh tak akan selalu
Luka perih tapi tak pernah mati
Aku tak ingin mati
Tapi beberapa kehidupan seolah tak berarti
Barangkali ketenangan kan dihuni
Aku, Kehidupan yang mencintai kematian
LABIRIN KEGAGALAN
Aku pun juga seorang manusia
Entah mengapa meracau bak makhluk haus darah
Hanya karena rentetan angka penuh makna
Mengapa lara terus menghunjam?
Mengapa sendu selalu menjadi candu?
Bahkan matahari terbit di sela langit abu
Lantas, mana topeng kebahagiaan yang tak tersentuh?
Apakah hanyut terbawa derai kesengsaraan?
Apakah terbenam di balik goresan yang kelam?
Atau
Mungkin hilang direnggut kehancuran
PUAN DAN KEHIDUPAN
Aku puan yang berkawan dengan kepedihan
Tangan berbekas yang menjadi rutinitas
Mata merah yang meredam amarah
Pilu yang tak kenal pulih
Mungkin akan berhenti
Nanti, saat waktunya kembali
Aku puan yang jatuh cinta dengan lara
Rintihan adalah senandung paling syahdu
Daksa melebur yang selalu kususun sendiri
Malam terluka, paginya sudah tertawa
Aku puan gila tanpa rumah
Aku bahkan lupa artinya rumah
Tempat meratap penuh harap?
Tempat terisak tanpa gelak?
Rumah yang tak lagi ramah
Rumah yang tak lagi terjamah
Widya Angraini Ramadhani, atau yang kerap disapa Widya. Tercipta kala senja memudar di bumi Jambi pada 2007. Sejak kecil, ia telah menjamah panggung kata melalui coretan-coretan di buku harian. Baginya, aksara adalah napas yang dihembuskan kepada kanvas. Katanya, “Suatu saat aku akan mati, tapi aku akan tetap hidup melalui bait-bait puisi.” Temukan kisahnya di Instagram @uidygm