Realita Lapangan Kerja di Indonesia Apakah Rakyat Memang Sekufur Nikmat Itu
Menteri Investasi sekaligus Menteri ESDM Bahlil Lahadalia baru-baru ini menanggapi keluhan publik soal sulitnya mencari kerja dengan menyindir, “Kalau ada yang mengatakan lapangan pekerjaan tidak ada… jangan kufur nikmat”. Ia bahkan mengklaim pemerintah menyiapkan jutaan lapangan baru – misalnya sekitar 6,2 juta di sektor energi hingga 2030. Pernyataan ini memicu tanya besar: Benarkah rakyat Indonesia tidak bersyukur atas ketersediaan lapangan kerja, atau justru realitasnya memang masih berat?
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia memberikan sambutan pada Human Capital Summit 2025 di Jakarta. Pernyataannya agar masyarakat tidak “kufur nikmat” ketika menyalahkan pemerintah atas minimnya lapangan kerja mengundang kritik.
Kondisi Ketenagakerjaan Nasional
Data resmi menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 memang sempat melemahkan pasar tenaga kerja Indonesia secara tajam. Pada Agustus 2020, misalnya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) melonjak menjadi 7,07% (peningkatan 1,84 poin dari tahun sebelumnya). Sejak itu angka pengangguran berangsur membaik: Februari 2022 tercatat 5,83%, dan Agustus 2024 turun lebih jauh menjadi 4,91%. Secara absolut, angkatan kerja terus bertambah – mencapai 147,7 juta orang pada Agustus 2023 (naik 3,99 juta tahun sebelumnya) – sementara jumlah penduduk yang bekerja mencapai 139,85 juta orang (naik 4,55 juta). Artinya, lebih banyak pekerjaan terserap daripada pendatang baru ke pasar kerja.
Meskipun tren TPT membaik, jumlah pengangguran masih signifikan. Menurut BPS, per Februari 2024 terdapat 7,28 juta orang menganggur di seluruh Indonesia. Pada kelompok usia muda, angka setengah pengangguran (yang bekerja <35 jam) masih sekitar 6,32% dari angkatan. IMF bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi ketiga di Asia. Rata-rata upah buruh pun masih relatif rendah – Agustus 2024 tercatat Rp 3,27 juta per bulan, dengan pekerja berpendidikan S1 ke atas rata-rata hanya 4,96 juta. Sektor formal baru menyerap kurang dari separuh tenaga kerja (sekitar 42% pada Agustus 2024), sisanya masih bekerja di sistem informal yang tidak terlindungi jaminan sosial. Kompas bahkan melaporkan bahwa jumlah pekerja informal meningkat dari sekitar 77 juta (2021) menjadi 84 juta (2024), mengindikasikan kualitas lapangan kerja yang masih rendah.
Dampak di Provinsi Jambi
Kondisi Jambi mencerminkan tren nasional meski dengan angka pengangguran lebih rendah. Berdasarkan data BPS Provinsi Jambi, TPT Jambi tercatat 4,45% (Feb 2024) dan 4,48% (Feb 2025). Angka ini turun tipis dibanding 2023, menunjukkan stabilisasi di kisaran 4,4–4,5%. Jumlah angkatan kerja Jambi per Feb 2025 mencapai sekitar 1,88 juta orang (bertambah 28,2 ribu secara tahunan), dan yang bekerja sebanyak 1,80 juta orang (bertambah 26,3 ribu). Artinya, hampir seluruh pertambahan pencari kerja terserap.
Pekerja pabrik pengemasan minyak goreng di Provinsi Jambi. BPS Provinsi Jambi melaporkan jumlah penduduk bekerja mencapai 1,8 juta orang pada Feb 2025 (naik 26,3 ribu dari tahun sebelumnya). Meski jumlah angkatan kerja tumbuh, tingkat pengangguran Jambi relatif rendah (~4,5%). Namun ketimpangan masih terjadi antar daerah: misalnya, Kabupaten Muaro Jambi mencatat TPT tertinggi kedua (sekitar 5,4% pada 2023)
Upaya Pemerintah dan Kebijakan
Pemerintah menyadari tantangan ketenagakerjaan ini dengan merancang berbagai kebijakan. Undang-Undang Cipta Kerja (2020) diterbitkan untuk mempermudah investasi dan menciptakan lapangan kerja inklusif. Misalnya, Menko Airlangga menyatakan UU ini bertujuan mendorong “lapangan kerja yang lebih banyak dan inklusif”. Hasilnya, laporan World Bank mencatat investasi asing (PMA) melonjak hingga 29,4% secara rata-rata dalam lima triwulan pasca-Cipta Kerja dibanding sebelum UU. OECD juga menyebut UU Cipta Kerja telah menurunkan hambatan investasi lebih dari sepertiga.
Sejumlah program pendukung turut digulirkan: pelatihan vokasi (misalnya Kartu Prakerja), insentif hilirisasi industri, hingga pembangunan infrastruktur skala besar. Data BPS menunjukkan penyerapan tenaga kerja meningkat, seiring investasi besar. Per Agustus 2023 misalnya, 139,85 juta orang bekerja (bertambah 4,55 juta) sementara jumlah angkatan kerja bertambah 3,99 juta menjadi 147,71 juta. Proporsi pekerja formal pun naik didorong lapangan stabil di korporasi besar. Sektor energi dan tambang – fokus Kementerian ESDM – diproyeksi menyerap jutaan pekerja baru. Bahlil menuturkan, investasi migas dan hilirisasi industri ESDM diperkirakan menciptakan 6,2 juta pekerjaan hingga 2030.
Namun, beberapa analisa mengkritisi daya serap industri. Kompas mencatat bahwa satu dekade terakhir kemampuan investasi menciptakan pekerjaan menurun drastis – pada 2013, Rp1 triliun investasi masih menyerap 4.594 orang, tetapi pada 2023 hanya 1.285 orang. Artinya, di tengah ledakan bonus demografi, lapangan kerja berkualitas belum tumbuh sebanding. Pemerintah mengakui kesulitan ini dan menekankan fokus pada investasi teknologi tinggi demi pertumbuhan ekonomi, meski pekerjaan padat karya makin tersisih oleh otomatisasi industri.
Keluhan Masyarakat dan Realitas Sosial
Keluhan masyarakat justru mengindikasikan betapa pasar kerja dirasa sulit di era pemulihan. Kompas melaporkan pengalaman pencari kerja yang “semakin susah” memperoleh lowongan: tawaran gaji sering di bawah UMK, syarat pengalaman kerja tak masuk akal bagi fresh graduate, serta budaya “orang dalam” yang memperketat seleksi. Kondisi ini turut memaksa makin banyak orang beralih kerja informal: dari 2021 ke 2024 jumlah pekerja informal melonjak dari 77 juta menjadi 84 juta. Job fair besar kerap dipadati ribuan orang berebut posisi, bahkan untuk gaji sangat rendah: di Ciamis misalnya, pencari kerja antre sejak pagi hanya demi upah Rp2,1 juta (di bawah UMK) tanpa jaminan jelas.
Beberapa sorotan opini juga menolak “label” tidak bersyukur bagi rakyat. Mereka menggarisbawahi bahwa kesulitan tersebut bukan karena permintaan rakyat tapi keterbatasan kesempatan. Surat pembaca dan media melaporkan bahwa meski ekonomi berangsur membaik, kekurangan lapangan padat karya dan persaingan ketat membuat belasan juta pencari kerja masih berjuang. Fenomena antrean panjang ribuan orang di bursa kerja (seperti di Bekasi 8.000 pelamar untuk 35 perusahaan) atau membludaknya pendaftar CPNS (lebih dari 30.000 pelamar untuk 2.525 formasi) menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan pekerjaan. Keluhan soal ketimpangan akses – misalnya wilayah terpencil dengan sedikit industri – pun kerap muncul.
Dalam situasi demikian, aksi introspeksi bukan hanya tanggung jawab pencari kerja, melainkan terutama tanggung jawab pemerintah. Selama ini pemerintah menyuguhkan jutaan lapangan formal (seperti klaim ESDM 6,2 juta), tetapi realitas lapangan kerja menuntut evaluasi lebih. Tuntutan agar SDM terampil selaras dengan kebutuhan industri perlu dibarengi dengan peluang nyata. Banyak yang berpendapat bahwa menyuruh masyarakat bersyukur mengabaikan fakta-fakta di lapangan: gaji rendah, pekerjaan kontrak, dan ketimpangan.
Kesimpulan: Antara Seruan dan Kenyataan
Melihat data dan keluhan di atas, klaim bahwa “rakyat tidak kufur nikmat” patut dikaji ulang. Nyatanya, sebagian besar masyarakat memang menghadapi prospek pekerjaan yang sulit: pengangguran masih jutaan orang, lapangan formal tumbuh lambat, dan persyaratan kerja sering di luar jangkauan. Provinsi Jambi, misalnya, memang memiliki TPT lebih rendah dari rata-rata nasional, tetapi sejumlah daerah di dalamnya masih berjuang dengan TPT tinggi dan sebagian besar pekerja informal.
Bahlil benar bahwa peluang baru diciptakan melalui investasi dan hilirisasi, tetapi realisasinya baru dirasakan setengah-setengah. Rakyat menuntut kerja konkret dan berkualitas – bukan sekadar optimisme data. Jadi, alih-alih menyalahkan mereka yang mengeluh, langkah investigatif yang tepat adalah mengukur kesenjangan harapan dan realita lapangan kerja 2020–2025, lalu memperbaiki kebijakan agar penciptaan lapangan kerja itu benar-benar berdampak pada kesejahteraan warga.
TIM REDAKSI WOUWOO