Revisi UU TNI 2025: Ancaman bagi Demokrasi dan Supremasi Sipil
Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025 menimbulkan kekhawatiran serius terkait kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil, yang mengingatkan kita pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Pada masa itu, militer memiliki peran dominan dalam urusan sipil, politik, dan ekonomi, yang dikenal sebagai “Dwifungsi ABRI”. Praktik ini menyebabkan pengekangan kebebasan sipil dan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, revisi UU TNI ini seharusnya tidak pernah ada karena berpotensi mengembalikan Indonesia ke masa kelam tersebut.
Perluasan Peran Militer dalam Jabatan Sipil
Salah satu perubahan signifikan dalam revisi UU TNI adalah perluasan peran prajurit aktif dalam jabatan sipil. Sebelumnya, prajurit TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan di beberapa instansi tertentu, seperti Kementerian Pertahanan dan Badan Intelijen Negara. Namun, revisi ini memungkinkan mereka untuk menjabat di lebih banyak kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kejaksaan Agung.
Perluasan ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya praktik dwifungsi militer, di mana militer tidak hanya berperan dalam pertahanan, tetapi juga dalam urusan sipil dan politik. Hal ini dapat mengancam prinsip supremasi sipil dan demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi 1998. Seperti yang diungkapkan oleh Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, kebijakan ini bisa menghidupkan kembali dwifungsi militer, yang seharusnya sudah ditinggalkan dalam sistem demokrasi.
Perpanjangan Usia Pensiun Perwira Tinggi
Revisi UU TNI juga mencakup perpanjangan usia pensiun perwira tinggi hingga 65 tahun. Kebijakan ini dapat memperlambat proses regenerasi dalam tubuh TNI, menghambat promosi perwira muda, dan berpotensi menurunkan semangat serta kinerja mereka. Selain itu, perpanjangan usia pensiun dapat meningkatkan beban anggaran negara terkait tunjangan dan gaji prajurit senior.
Ancaman terhadap Profesionalisme Militer
Penempatan prajurit aktif dalam jabatan sipil dapat mengganggu profesionalisme militer. Militer yang profesional seharusnya fokus pada fungsi pertahanan negara dan tidak terlibat dalam urusan sipil. Keterlibatan dalam jabatan sipil dapat mengalihkan fokus dan mengurangi kesiapan militer dalam menghadapi ancaman pertahanan. Al Araf dari Imparsial menyoroti bahwa penempatan anggota militer di jabatan sipil dapat mengganggu sistem meritokrasi dalam birokrasi dan melemahkan profesionalisme perwira militer.
Potensi Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil seringkali diiringi dengan pelanggaran hak asasi manusia. Pada masa Orde Baru, dominasi militer dalam kehidupan sipil menyebabkan pengekangan kebebasan berpendapat, penindasan terhadap oposisi, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Revisi UU TNI yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil dapat membuka peluang terjadinya kembali pelanggaran serupa. Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul, menegaskan bahwa revisi ini dapat memperkuat impunitas atau kekebalan hukum bagi anggota TNI, yang mengancam demokrasi dan penegakan hukum.
Penolakan dari Berbagai Elemen Masyarakat
Berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi mahasiswa dan masyarakat sipil, telah menyatakan penolakan terhadap revisi UU TNI ini. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jawa Timur, misalnya, menilai bahwa revisi ini dapat membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi militer dan mengancam masa depan demokrasi Indonesia. Mereka menekankan bahwa TNI seharusnya fokus pada fungsi pertahanan dan tidak terlibat dalam urusan sipil.
Kesimpulan yang sangat panjang (yang mesti kalian baca)
Revisi UU TNI yang disahkan pada 20 Maret 2025 seharusnya tidak pernah ada karena memungkinkan kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil. Reformasi 1998 telah menegaskan bahwa supremasi sipil adalah prinsip utama dalam sistem demokrasi Indonesia, di mana TNI harus tetap profesional dan tidak terlibat dalam urusan pemerintahan sipil. Dengan diperluasnya peran TNI di jabatan-jabatan sipil serta diperpanjangnya usia pensiun perwira tinggi, revisi ini justru membuka peluang bagi militer untuk kembali berperan dalam ranah politik dan birokrasi, yang bertentangan dengan semangat reformasi. Keterlibatan prajurit aktif dalam urusan sipil dapat menciptakan tumpang tindih kewenangan dan memperlemah sistem birokrasi sipil yang seharusnya independen dari militer.
Selain itu, revisi UU TNI ini juga berpotensi mengancam kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam urusan non-pertahanan sering kali berujung pada represi terhadap kebebasan berpendapat, tindakan koersif terhadap masyarakat sipil, dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan diperluasnya tugas TNI dalam operasi militer selain perang, tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, terdapat risiko besar bahwa tindakan militer bisa melewati batas-batas hukum dan mengancam hak-hak masyarakat. Demokrasi yang sehat membutuhkan kontrol sipil yang kuat terhadap institusi militer, bukan malah memberi ruang lebih bagi militer untuk mengatur kehidupan sipil.
Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menolak revisi UU TNI ini demi menjaga keseimbangan demokrasi dan supremasi sipil. TNI harus tetap fokus pada tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara, bukan alat kekuasaan dalam urusan pemerintahan sipil. Reformasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah selama lebih dari dua dekade tidak boleh dikorbankan demi kepentingan segelintir pihak yang ingin mengembalikan militer ke panggung politik. Oleh karena itu, revisi ini harus segera dievaluasi, dan kebijakan yang bertentangan dengan semangat reformasi harus dibatalkan demi memastikan bahwa demokrasi Indonesia tetap berjalan di jalur yang benar.