Sebuah Ekspetasi Jipanna
Di balik dinding tua yang mulai rapuh, Jipanna duduk di sudut ruangan yang sepi. Matanya memandang kosong keluar jendela berdebu. Di luar, angin berbisik lembut, menggugurkan daun-daun tua. Di dalam rumah yang lapuk itu, harapan kecil tumbuh perlahan di hatinya—seperti bunga mekar di tengah hujan.
Ulang tahunnya yang kedelapan kian mendekat. Di dalam hatinya, tersimpan satu permintaan besar—sebesar bintang di langit malam—sebuah boneka kucing. Bukan kucing sungguhan yang bisa melompat atau mengeong, tapi boneka lembut yang bisa dipeluk setiap malam sebelum tidur.
Sayangnya, harapan itu terasa sejauh bintang yang ia pandangi. Rumah mereka hanya cukup sepiring nasi hari ini, belum mampu membeli mimpi kecil seorang anak.
Jipanna tahu, hadiah itu bukan sesuatu yang mudah di dapat. Oma—nenek yang merawatnya dengan penuh kasih—tak pernah punya banyak uang. Setiap rupiah telah ditakar untu kebutuhan sehari-hari. Namun, meski mimpinya itu bukan apa-apa, Jipanna merasa tetap harus mengatakannya.
“Oma,” bisik Jipanna, suaranya lirih, nyaris serupa angin menyentuh daun.
“aku cuma ingin satu hal di ulang tahunku nanti… boneka kucing. Boneka yang bisa kupeluk setiap malam sebelum tidur.”
Oma, yang tengah duduk di kursi rutan tua, menghentikan pekerjaannya sejenak. Wajahnya penuh keriput, pendengarannya mulai memudar, dan matanya tak lagi seterang dulu. Ia menatap cucunya dengan kebingungan.
Boneka kucing? Dalam benaknya, yang terlintas justru seekor kucing sungguhan. Namun, dengan senyum lembut dan tangan yang sedikit bergetar, Oma mengangguk pelan.
“Tentu, sayang… Oma akan berusaha sebaik mungkin.”
Jipanna tersenyum cerah, matanya berbinar penuh harap.
“Terima kasih, Oma,” ucapnya tulus, seolah dunia baru saja memberinya seberkas cahaya.
Namun, tanpa ia tahu, di balik senyum lembut Oma tersembunyi sebuah kesalahpahaman besar—yang diam-diam menunggu untuk mengguncang dunia kecil mereka
Oma mulai berpikir keras untuk memenuhi permintaan Jipanna. Ia tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan seekor kucing, tapi dalam benaknya, kucing adalah hadiah yang sempurna.
“Aku harus mengusahakannya. Jipanna pasti akan sangat senang menerima hadiah ini,” gumam Oma pelan.
Ia mulai membayangkan seekor anak kucing yang bisa menemani Jipanna bermain, tidur di pangkuannya saat mereka duduk bersama, dan menjadi teman sejati yang menghangatkan hari-hari cucunya. Cinta kepada Jipanna membakar hatinya seperti api yang tak pernah padam. Oma pun bertekad untuk memberikan yang terbaik.
Namun, kenyataan datang dengan cara yang tak terduga—dan pahit. Saat Oma mencari harga anak kucing di pasar, ia terkejut bukan main. Seekor kucing hidup ternyata dibanderol lebih dari satu juta rupiah.
Bagaikan petir yang menyambar di siang bolong, angka itu mengguncang hatinya. Satu juta rupiah? Ia nyaris tak percaya. Jumlah itu terasa seperti gunung tinggi yang tak mungkin didaki, apalagi oleh tubuh tuanya yang sudah renta.
Meski tubuhnya mulai rapuh dan tangan-tangannya kaku, Oma tak gentar. Ia mulai bekerja keras, menggenggam tekad yang lebih besar dari rasa lelahnya. Setiap tetes keringat yang jatuh, setiap langkah yang diayunkan, justru membuat beban itu terasa semakin berat.
Ia membawa kue-kue tradisional buatan sendiri ke pasar, berharap ada yang membeli. Tapi pasar sedang sepi. Setiap rupiah yang ia peroleh terasa seperti butiran pasir yang menetes perlahan dari celah waktu—sedikit demi sedikit. Hatinya pun mulai gelisah, seolah ia sedang berlari mengejar sesuatu yang terus menjauh, tak tergapai
Tak berhenti di pasar, oma juga menerima berbagai pekerjaan serabutan. Ia menjadi tukang rewang di pesta pernikahan, mencuci pakaian milik orang-orang kaya, dan membersihkan rumah-rumah besar yang tak pernah sepi debu.
Semakin banyak pekerjaan yang ia ambil, semakin letih tubuhnya. Kaki Oma terasa seperti dihimpit batu setiap kali melangkah, berat dan lambat. Tapi ia tak pernah mengeluh, tak pernah berhenti.
“Aku harus berhasil,” batinnya.
“Aku harus memberimu kucing itu, Jipanna.”
Setiap malam, Oma duduk dalam sunyi, ditemani cahaya redup dan rasa cemas yang tak kunjung padam. Ia menghitung lembar demi lembar uang yang terkumpul, berharap jumlahnya cukup. Tapi seperti daun yang luruh tertiup angin, harapan itu sering kali terasa ringan—dan tak pernah cukup. Meski begitu, ia tak berhenti. Tak sekalipun.
“Ini untuk Jipanna,” bisiknya lirih, seolah kalimat itu adalah satu-satunya bahan bakar yang membuat tubuh tuanya terus bertahan dari hari ke hari.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan berkeringat dan menahan lelah, uang itu terkumpul—lebih dari satu juta rupiah. Dengan langkah yang rapuh namun penuh harapan, Oma menuju pasar.
Di sana, ia memilih seekor anak kucing berbulu halus, matanya bening, tubuh mungilnya gemetar dalam dekapan. Saat membawanya pulang, hati Oma dipenuhi rasa lega dan bangga. Ia merasa seperti pahlawan yang telah menaklukkan medan berat demi cinta yang tak terhingga.
“Ini untukmu, Jipanna,” bisiknya dalam hati, terasa dunia akhirnya memberinya pelukan hangat sebagai hadiah atas segala perjuangan.
Hari ulang tahun Jipanna akhirnya tiba. Dengan hati-hati, Oma membawa kotak besar berisi anak kucing itu. Wajahnya yang penuh kerut tampak berseri; matanya berbinar seperti fajar pertama setelah malam panjang.
“Ini hadiahmu, sayang,” ucap Oma pelan sambil membuka kotak, senyumnya penuh harap.
Namun, seketika wajah Jipanna berubah. Ia mundur beberapa langkah, matanya membesar, bingung sekaligus cemas.
“Oma… ini… kucing hidup! Aku hanya minta boneka kucing, bukan yang sungguhan!” serunya, suaranya pecah menahan guncangan.
Seolah dunia runtuh dalam satu kedipan—sebuah batu besar jatuh menimpa hatinya. Oma terdiam. Wajahnya mengeras, matanya memudar.
“Apa maksudmu, Jipanna?” suaranya serak, seperti ranting tua ditiup angin kencang.
“Aku bekerja sekuat tenaga… mengumpulkan tiap sen yang kupunya… demi membelikan ini untukmu. Kenapa kamu tidak senang?”
Jipanna menatap Oma dengan mata penuh penyesalan. Dadanya sesak, seolah ada beban tak kasatmata yang menindih.
“Oma… aku tahu Oma sudah berusaha sekuat tenaga. Aku tahu,” ucapnya pelan.
“Tapi aku belum siap merawat kucing sungguhan. Aku hanya ingin… boneka kucing.”
Keheningan menggantung di antara mereka—sunyi yang panjang, seolah dunia menahan napas. Lalu perlahan, Jipanna melangkah maju dan memeluk Oma erat.
“Oma, maafkan aku. Aku tak bermaksud mengecewakan. Aku akan belajar merawatnya. Kita bisa lakukan ini bersama-sama, ya?”
Isak tertahan pecah dalam tawa kecil yang hangat. Di tengah kekeliruan dan kesalahpahaman, mereka menemukan sesuatu yang lebih penting: cinta yang tak tergantikan.
Dalam pelukan yang saling menguatkan, mereka tahu—bahwa meski harapan bisa keliru arah, kasih sayang yang tulus selalu tahu jalan pulang.