Setangkai Bunga Mawar di Kertas Kusut
Oleh Aldi Muheldi
Melalui sepasang cincin ini, hutang-hutang yang pernah dijanjikan pada masa lalu terbayar dengan sempurna. Tuhan memperkenankan segala doa yang diungkapkan oleh seorang penyair melalui sujud dan pengabdian yang tulus. Dan pada hari ini, saat itulah kelegaan yang telah dinantikan hadir dengan penuh kebahagiaan.
Bangku taman yang basah ia lapisi dengan beberapa helai tisu, agar bokongnya tidak basah dan saat ia berdiri nanti, tidak menjadi bahan tertawaan setangkai mawar. Tisu itu ia tumpuk hingga lima lapis, memastikan air tidak meresap ke celana dan kulitnya. Barulah setelah itu dia duduk dengan pasti.
Pandangan matanya lurus binar ke depan—ada bayangan pertemuan yang dinanti membuat setiap helai daun jatuh turut mendukung akan peristiwa yang ditunggu sang penyair.
“Aku menjatuhkan setiap helai daunku, agar kau lebih memperindah setiap kata yang akan kau sampaikan.” Mungkin begitu jika sebatang pohon rindang di belakang kursi taman dapat berbicara pada sang Penyair.
Mengulas kembali waktu, memang tak ada yang benar-benar tahu hakikat pertemuan. Ketika Setangkai Bunga Mawar, entah dari mana datangnya, duduk di bangku kesayangan sang Penyair yang sedang menulis bait-bait tangis tentang hidup dan penyesalan di atas selembar kertas kusut. Karena memang di bangku yang ia tempati, hari demi hari, tak ada seorang pun yang ingin mendudukinya.
Tubuh penyair terasa kaku saat itu, seolah ada tangan-tangan yang mengikatnya dengan tali kuat dari kiri dan kanan, membuatnya tak berkutik di hadapan Setangkai Bunga Mawar yang tersenyum padanya. Senyuman itu menembus dan melekat di hatinya, membawanya ke dalam harapan dan perjalanan yang selama ini diimpikannya.
Tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun ada keyakinan dalam hatinya.
“Cinta selalu datang pada saat tak terduga dan kami sedang merasa seperti itu.” Yakin sekali sang Penyair pada saat itu, belum lagi gemericik air hujan yang mengalir dari helai-helai daun dari pohon di belakang bangku itu memberi kegembiraan dan membuat keyakinan itu bertumpuk di dalam hati. Sejak saat itu, ia mengerti bahwa tak ada namanya buah pisang berbuah dua kali.
Dengan perlahan tangannya menari bukan lagi untuk menulis bait-bait tangisan, namun menuliskan pujaan-pujaan untuk Setangkai Bunga Mawar yang menghampirinya; Seorang Penyair murah yang hadir pada musim-musim kesedihannya sendiri. Dalam tulisan yang dibuatnya, ada harum yang bernyawa dalam matanya, ada indah dalam telingannya, dan ada anggun dari mulutnya.
Pada saat tulisan sudah menjadi utuh membentuk sebuah syair, kertas kusut tetap menjadi pesan bisu yang membantu tenggelam dalam sungai yang deras. Jangankan tangan yang ingin memberikan secarik kertas kusut itu, mulut pun tak mau memberikan isyarat kata yang ada hanya gemuruh yang menghujan di kepala dan degup jantung yang berpacu dengan keinginan hati. Seorang Penyair memang pemuja, tapi bukan seorang penyampai pesan yang dibuatnya sendiri.
Sunyi sudah terlalu lama ketika derit pena mengukir tiap-tiap bait yang digunakan untuk memuja Setangkai Bunga Mawar, tapi gemuruh kepala tetap memekak petir pikiran. Sedangkan hati yang berpacu dengan jantung sudah melaju lebih dulu untuk menggerakkan tangan, hingga akhirnya Penyair memberikan kertas kusut penuh syair kepada Setangkai Bunga Mawar.
“Ini apa?,” kata Setangkai Bunga Mawar yang kaget karena Seorang Penyair yang terlalu tiba-tiba memberi kertas kusut itu.
Kemudian dibacalah syair tersebut dengan suara yang samar dari balik-balik angin. Setangkai Bunga Mawar terkesan dengan syair yang diciptakan olehnya. Hal itu kemudian juga membentuk hari-hari kehangatan yang terikat pada kasih yang terjalin dan membuat harapan serta do’a-do’a menuju jalan takdir di ujung penantian yang selama ini dinantikan. Setiap kali pertemuan yang hadir di bangku taman itu dan di situ pula tangan-tangan penyair terus tak habis-habis menciptakan pujaan untuk Setangkai Bunga Mawar.
Setiap kali pulang dari kesan yang telah terukir, kebahagiaan terasa terhias pada dinding-dinding kamar tidur seorang penyair, membentuk kolase kenangan yang terbawa hingga mengalir dalam mimpinya. Kata-kata pujian telah menjadi santapan pagi yang selalu hadir, setiap kali Setangkai Bunga Mawar datang dan duduk di samping penyair. Setelah lama, yang lebih dulu pulang selalu Setangkai Bunga Mawar, namun sang Penyair tak pernah berani mengantarnya atau menemani perjalanannya pulang. Meski begitu, itu tak menjadi masalah. Karena keyakinan tetap menjadi tameng, dan cinta yang mereka punya tak pernah luntur. Begitu mungkin kata penyair yang piawai memainkan pikirannya.
Dari balik dinding kamarnya, tergambar jelas perjanjian yang terpatri di jari Setangkai Bunga Mawar, mengenakan gaun putih yang diterpa angin beserta lemparan bunga-bunga, berdampingannya dengannya melukis senyuman bahagia. Siapa sangka, dari sekadar peristiwa kecil di atas bangku taman, sebuah perjalanan bisa menjadi simpul yang mengikat—tak pernah terbayangkan sebelumnya. Begitulah yang terlintas di benak sang Penyair, terbaring di atas kasur kerasnya, memandang langit terhubung dengan hamparan bintang yang menyambut harapan malam itu.
Namun, kiasan indah tetaplah kiasan dari seorang penyair, karena mimpi datang menyambar ingatan, sementara nafas terhela membawa renungan, dan mata kosong redup tanpa makna. Ketika dia teringat, Setangkai Bunga Mawar yang tergambar di dalam kertas kusut itu datang sebagai pujaan, terlambat menyapa lantunan yang ingin menyentuh telinganya. Namun, kata-kata itu disampaikan dengan paksa, disertai senyuman yang terjahit di atas tembok, dilapisi debu tanpa wangi.