Tambang Nikel di Raja Ampat: Buzzer Tutupi Kerusakan, Masyarakat Dibodohi
Berita tentang kerusakan lingkungan di Raja Ampat akibat tambang nikel – khususnya di Pulau Gag – acapkali dibantah habis-habisan oleh pejabat dan buzzer pendukung tambang. Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu menegaskan kabar pencemaran itu “hoaks”, dengan dalih air laut di Gag “sangat biru” saat dikunjungi. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Ditjen Minerba Tri Winarno bahkan menyatakan bahwa luas bukaan tambang relatif kecil (187,87 ha) dan setelah reklamasi air laut “tidak ada masalah”. Narasi ini lalu viral di media sosial: “tidak ada sedimentasi”, “reklamasi sudah sesuai”, “air tetap jernih” – seolah-olah isu kerusakan hanyalah fitnah politik. Para buzzer industri lantas menyebarkan klaim-klaim penyejuk hati ini tanpa pengujian bukti, sementara publik banyak yang menerimanya begitu saja tanpa melihat data lapangan yang sesungguhnya.
Padahal, bukti di lapangan justru mengkhawatirkan. Greenpeace Indonesia mengungkap tambang di lima pulau kecil Raja Ampat telah “merusak lebih dari 500 hektare hutan” dan mengancam 75% terumbu karang terbaik dunia di kawasan tersebut. Hasil pengawasan Kementerian LHK juga menemukan pelanggaran serius oleh empat perusahaan tambang (PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera, PT ASP, PT MRP). Dari citra udara dan survei lapangan, KLHK mencatat ada sedimentasi limbah tambang yang telah menutupi permukaan terumbu karang. Menurut Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq, meski kerusakan visual tampak ringan, kondisi itu sangat mengkhawatirkan karena ekosistem karang pulau kecil amat rentan. Temuan lain: kolam endapan PT ASP di Pulau Manuran jebol, mencemari laut (kasus telah diberhentikan sementara izin ASP). Singkatnya, data independen dan institusi lingkungan justru mencatat jejak kerusakan ekstensif dan melanggar UU Pesisir/Pulau Kecil No.1/2014 (yang melarang tambang di pulau kecil karena kerusakan irreversibel).
Sikap kritis para pengamat pun tajam. Ketua Komite III DPD Filep Wamafma menyebut eksploitasi nikel di Raja Ampat “ancaman serius” terhadap kelestarian dan ekonomi lokal. Ia mengingatkan ekosistem terumbu karang Raja Ampat (75% terumbu dunia) siapaharian lembah bagi ratusan jenis ikan, tak tergantikan. Senator Filep bahkan mendesak pencabutan izin tambang karena “hutan ditebang, tanah dikeruk, air dan udara tercemar, ikan-ikan hilang, biodiversitas lenyap” – dampak yang tak bisa dipulihkan dengan dana berapapun. Izin tambang yang sebagian besar terbit sejak 2017 (kontrak karya Antam) kini terancam batal demi menegakkan putusan MK No.35/PUU-XXI/2023: menambang di pulau kecil menyalahi prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antargenerasi.
Penyangkalan resmi atas kerusakan ini tumpah ruah. Setelah kunjungan ke Gag (7 Juni 2025), Gubernur Elisa Kambu menegaskan video laut cokelat itu “bukan dari Pulau Gag” dan bahwa perusahaan tambang “sudah melakukan reboisasi dan reklamasi” bintantoday.combintantoday.com. Ia mengulang klaim, “semua kewajiban itu telah mereka penuhi… pemberitaan itu hoaks”. Sinyal senada datang dari Menteri ESDM: Dirjen Minerba Tri Winarno dan Bahlil mengumumkan hasil peninjauan lapangan “tidak ada sedimentasi di pesisir” dan “secara keseluruhan tidak ada masalah”. Kabinet pun bergerak cepat: KLHK memimpin pengawasan empat tambang, menegaskan akan segera mencabut izin bila dibuktikan merusak. Namun saat yang sama, pejabat menilai tambang “relatif memenuhi kaidah tata lingkungan” sehingga tambang nikel Gag tetap dinyatakan boleh operasi. Intinya, narasi resmi yang dikomunikasikan ke publik adalah: tidak ada yang perlu dikhawatirkan (air bersih, reklamasi sesuai). Narasi penenang ini digencarkan berulang-ulang hingga seolah-olah skeptisisme dianggap membuat gaduh tanpa alasan.
Di sisi lain, publik lokal tampak terbagi. Banyak nelayan di Pulau Gag justru mendukung keberlanjutan tambang. Menurut ANTARA, nelayan Pulau Gag mengaku aktivitas tangkapan mereka “jalan seperti biasa, air tetap jernih, kualitas air juga bagus”. Mereka menjual ikan ke PT Gag Nikel dan menerima bantuan BBM serta peralatan tangkap, sehingga ekonomi rumah tangga terbantu. Saat Bahlil berkunjung, warga setempat bahkan menangis memohon tambang tidak ditutup karena “sudah menolong kehidupan kami”. Bupati Raja Ampat Orideko menyampaikan setelah melihat langsung, masyarakat “tidak mau tambang ditutup, karena itu untuk menopang kehidupan mereka”. Narasi ini – bahwasanya tambang menguntungkan rakyat dan tuduhan pencemaran tak berdasar – kemudian beredar luas di media dan sosmed sebagai penyejuk hati pendukung tambang. Akun-akun pendukung pemerintah sering menampilkan liputan warga pro-tambang ini tanpa perspektif kritis, menegaskan seolah konflik hanya soal persepsi media sosial.
Kondisi ini menimbulkan ironi serius. Di satu pihak, aktivis lingkungan dan jurnalistik menemukan fakta lapangan yang mengkhawatirkan; di pihak lain, narasi resmi dan promosi pemerintah membuat banyak orang merasa cukup dengan verifikasi sekilas. Sikap menerima mentah-mentah klaim “hoaks” atau “tidak masalah” – tanpa meminta data lebih dalam – mencerminkan lemahnya literasi publik. Padahal peninjauan HPH dan AMDAL harusnya bisa diakses masyarakat: transparansi izin tambang nikel seharusnya wajib dibuka, agar warga bisa memeriksa konsesi dan kualitas lingkungan secara independen. Sebagai contohnya, kolom Kompas menyebut pemberian izin tambang di pulau kecil Raja Ampat “korbannya keindahan warisan dunia”, sementara suara adat dan alam “tenggelam dalam deru mesin tambang”. Tanpa keterbukaan data, warga dan pers hanya menerima versi perusahaan/pemerintah, sehingga kebenaran sulit disuarakan.
Kini yang dibutuhkan adalah kesadaran dan kecermatan publik. Kita tidak boleh pasif menyaksikan narasi sepihak. Masyarakat sipil dan media harus menuntut audit independen: publikasi hasil inspeksi tambang, data kualitas air laut, dokumentasi reklamasi, serta pelibatan komunitas adat dalam pengawasan. Lembaga seperti WALHI dan Greenpeace telah membuka mata banyak orang dengan data di lapangan; hal serupa harus digalakkan oleh media massa dan LSM lokal. Penggunaan ilmu pengetahuan dan prinsip kehati-hatian – bukan sokongan emosional terhadap pembangunan – harus jadi dasar dialog publik. Sebab “kita hadir untuk kesejahteraan masyarakat”, seperti kata Gubernur, tapi kesejahteraan itu tidak layak dibayar dengan kerusakan kekayaan alam yang tak ternilai.
Keterbukaan informasi adalah kunci. Pemerintah wajib menciptakan akses seluas-luasnya ke data lingkungan dan perizinan tambang. Masyarakat harus ikut aktif mengawasi: membuat tim pemantau independen, menggunakan citra satelit, atau berkoalisi menuntut forum dialog antarkepentingan. Hanya dengan demikian kita bisa membedakan fakta di lapangan dari “narasi hijau” semu. Bagi masa depan Raja Ampat – surga bawah laut yang aset UNESCO – sikap publik kritis tidak bisa ditawar. Jangan sampai kita tertipu buzzer dan penguasa, sementara pulau tercinta perlahan hancur. Mari kita tolak sekadar pembenaran instan dan berjuang menolak pembodohan publik demi generasi mendatang.
TIM REDAKSI WOUWOO