TEATER KUJU MENTAS SEPATU GILA: MENARI DI ATAS MAYAT NARASI WARAS DAN MENGAJAK KITA BERTANYA ULANG TENTANG NORMALITAS
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sosial kita hari ini—di mana ketimpangan, ketidakadilan, dan absurditas sistem menjadi makanan sehari-hari—Teater Kuju dan HIMSI hadir dengan pementasan “Sepatu Gila.” Sebuah naskah yang mungkin tampak aneh, bahkan gila, namun justru di situlah letak relevansinya. Dunia telah terlalu waras untuk memahami kegilaan yang lahir dari tekanan sistemik. Maka pementasan ini hadir sebagai bentuk perlawanan simbolik.
Pementasan ini bukan sekadar hiburan. Ia adalah refleksi dan kritik. Melalui metafora sepatu yang tak bisa dilepas, penonton dibawa menyelami kisah seorang pemuda yang terjebak dalam sistem yang cacat. Ia bekerja keras namun tak mendapat pengakuan yang setimpal. Ia melihat orang-orang di sekitarnya mendapatkan upah tinggi tanpa alasan yang jelas. Ia bertanya, mengapa bisa begitu? Dan jawaban yang ia dapat hanya kesunyian sistem.
“Sepatu Gila” menjadi pilihan Teater Kuju dan HIMSI karena temanya yang sangat relevan. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak dari kita yang diam-diam menyimpan keresahan serupa. Mungkin kita pernah bekerja di tempat yang tidak adil, menyaksikan ketimpangan upah, atau terjebak dalam sistem sosial yang tidak memberi ruang untuk bertanya apalagi bersuara. Lewat pementasan ini, tim produksi ingin mengajak penonton tidak sekadar menonton, tapi merenung dan bertanya, apakah kita juga sedang memakai sepatu gila itu?
Sutradara pementasan ini mengaku ada unsur “berjudi” secara artistik. Salah satunya adalah memilih gaya penyajian nonrealis dan simbolik yang memang menjadi ciri khas Teater Kuju. Dalam dunia yang sudah terlalu sering digambarkan secara realistis, absurditas menjadi strategi artistik untuk mengguncang kenyamanan penonton. Menurut sang sutradara, tantangan terbesar justru terletak pada bagaimana mengarahkan aktor-aktor muda untuk menyelami absurditas ini. Mereka harus menanggalkan logika konvensional dan berani masuk ke ruang-ruang pemikiran yang tak lazim.
“Ada satu momen latihan di mana saya merasa: ini akan berhasil,” ujar sang sutradara. “Ketika seorang aktor menangis sambil tertawa, dan tidak ada yang tahu mana yang lebih jujur—tangisnya atau tawanya. Di situlah kegilaan dan kejujuran bertemu.”
Dari sisi para aktor dan aktris, tantangan terbesar datang dari kebutuhan untuk memainkan karakter yang tidak biasa. Salah satu pemeran mengaku bahwa tantangan terberatnya adalah menjadi seseorang yang tak pernah ia mainkan: orang gila. Bukan sekadar menirukan orang dengan gangguan jiwa, tapi menggambarkan kegilaan yang sarat makna. “Gila” dalam konteks ini bukan sekadar kondisi klinis, tetapi bentuk kewarasan yang tidak tertampung dalam norma-norma umum.
Para pemain juga diminta untuk melihat ke dalam diri mereka sendiri. Apa “sepatu gila” yang mereka pakai dalam kehidupan nyata? Salah satu jawaban yang muncul adalah: omongan manusia. Terlihat sepele, namun membawa beban berat yang mempengaruhi pilihan-pilihan hidup. Lainnya menyebut rasa malas, sesuatu yang sering dianggap remeh tapi sangat sulit dilawan. Dalam latihan, para aktor saling membangun relasi agar ketika di atas panggung, dinamika hidup terasa nyata. Improvisasi menjadi salah satu alat untuk membangun hubungan yang organik.
Proses latihan yang dijalani Teater Kuju penuh keseriusan. Walaupun sesekali diselingi tawa, namun para aktor sadar betul akan tanggung jawab mereka. Mereka harus menghadirkan karakter yang kuat dan konsisten, terutama dalam adegan-adegan penuh beban emosional seperti saat melepaskan sepatu—sebuah simbol kesadaran dan perlawanan terhadap sistem.
Menariknya, meskipun tidak banyak momen latihan yang terasa absurd bagi para pemain, justru keseluruhan pementasan ini dipenuhi oleh absurditas terkonsep. Ini menunjukkan bahwa absurditas bukan semata-mata hal yang aneh, tapi bisa menjadi bahasa artistik yang sangat kuat untuk menyampaikan kritik sosial.
Naskah “Sepatu Gila” sendiri bercerita tentang pemuda yang berkelana dan bertemu berbagai karakter: mahasiswa, ibu-ibu, tukang sol sepatu, hingga orang gila. Dari pertemuan-pertemuan ini, ia menyadari bahwa sistem yang ia jalani memang rusak. Tapi ironisnya, semua orang tetap memaksakan diri berjalan di dalamnya, seperti sepatu yang terus dipakai meski sudah rusak. Dalam dialog-dialognya, muncul pertanyaan-pertanyaan filosofis: apakah cukup hanya bertahan hidup? Apakah kita bisa bertanya mengapa dan bagaimana mengubahnya?
Tim produksi terbentuk dari kerja sama antara dosen pengampu, mahasiswa angkatan 2023, serta dukungan dari HIMSI. Struktur produksi dibentuk melalui musyawarah dan pembagian tugas yang jelas. Kerja kolektif menjadi landasan utama. Mahasiswa angkatan 2024 pun dilibatkan sebagai bentuk regenerasi dan pembelajaran.
Tantangan paling terasa selama proses latihan adalah membentuk karakter yang benar-benar hidup. Peran seperti “orang gila” misalnya, memerlukan pendekatan emosional yang dalam, namun juga harus menyampaikan pesan yang rasional. Untuk itu, para pemain melakukan observasi langsung terhadap karakter-karakter yang mereka mainkan. Ada yang mengamati tukang sol sepatu secara langsung, ada pula yang menggali informasi dari berbagai media sosial.
Teater Kuju dikenal dengan pendekatan simbolik dan gaya nonrealis yang khas. Mereka lebih suka mengeksplorasi metafora, absurditas, dan dialog filosofis ketimbang gaya realis. Hal ini membuat setiap pementasan bukan hanya tontonan, tapi juga ajakan untuk berpikir. Lewat gaya ini, “Sepatu Gila” berhasil menjadi medium kritik sosial yang tidak menggurui.
HIMSI sendiri memberikan dukungan penuh dari sisi logistik hingga publikasi. Mereka memastikan proses produksi berjalan tanpa hambatan dan menjadi ruang tumbuh bagi kreativitas mahasiswa.
Apa yang ingin disampaikan Teater Kuju dan HIMSI lewat “Sepatu Gila” sangat jelas: jika sistem tempat kita bekerja, belajar, dan hidup ini rusak, kita tidak bisa diam saja. Kita harus punya keberanian untuk bertanya dan bahkan keluar dari sistem itu. Kita harus punya keberanian untuk melepas sepatu gila itu.
Bagi sebagian besar anggota Teater Kuju, ini adalah pementasan pertama mereka. Tapi justru karena itu, mereka ingin memberikan yang terbaik. Tidak ada alasan untuk bersembunyi di balik kalimat “ini baru pertama kali.” Sebaliknya, mereka ingin meninggalkan kesan mendalam bagi penonton.
Dalam satu kalimat pendek, “Sepatu Gila” adalah: perjalanan menemukan kebebasan di tengah sistem yang mengekang. Dan harapan terbesar setelah pementasan ini adalah agar pesan-pesan dalam lakon ini tidak berhenti di atas panggung, tapi terus hidup dalam percakapan, renungan, dan tindakan para penontonnya.
Pada akhirnya, jangan lupa untuk menonton “Sepatu Gila” pada 31 Mei 2025 pukul 15.30 dan 19.30 WIB di Taman Budaya Jambi.
TIM REDAKSI WOWOO.COM