THE TRUMAN SHOW DAN DUNIA PENUH KEPALSUAN TEMPAT KITA TINGGAL YANG MEMBUAT KITA BERTANYA APAKAH HIDUP INI MILIK SENDIRI ATAU SUDAH DIATUR ORANG LAIN
“In case I don’t see ya: Good afternoon, good evening, and good night.” — Truman Burbank
Satu kalimat pamit dari seorang pria yang baru saja menyadari bahwa seluruh hidupnya adalah kebohongan yang dibungkus dengan pencahayaan sempurna, kamera tersembunyi, dan aktor-aktor yang pura-pura jadi keluarganya. Kalimat itu diucapkan dengan senyum penuh kesadaran, di tengah rasa marah, takut, dan sekaligus lega. Dan entah kenapa, kalimat sederhana itu justru jadi salah satu penutup film paling kuat dan menyentuh dalam sejarah perfilman.
Kalau kamu pernah merasa hidupmu terlalu “teratur”, atau kalau kamu pernah merasa kayaknya semua orang tahu sesuatu yang kamu nggak tahu—selamat, kamu nggak sendirian. Truman Burbank juga pernah merasa begitu. Dan hari ini, dua dekade lebih setelah film The Truman Show rilis, kita hidup di dunia yang bahkan lebih “aneh” dari Seahaven.
Kehidupan Palsu yang Terasa Nyata
Proses Truman keluar dari Seahaven bukan sekadar pelarian, tetapi sebuah simbol perlawanan terhadap sistem yang mengikatnya. Ia harus berhadapan dengan ketakutan yang ditanamkan sejak kecil—laut yang menjadi penghalang terbesar bagi dirinya untuk melarikan diri. Di sisi lain, ada aktor-aktor yang terus berusaha meyakinkannya untuk tetap tinggal, bahkan dengan berbagai cara. Namun, saat Truman akhirnya menabrak dinding langit palsu yang selama ini menjadi batas dunia yang terbatas baginya, ia menyadari sesuatu yang luar biasa: kebebasan sejati bukanlah hanya soal fisik, melainkan keberanian untuk keluar dari kendali.
Di puncak ketegangan, saat Truman berdiri di depan pintu keluar, Christof—pencipta dunia palsu itu—berbicara padanya lewat pengeras suara, mencoba membujuknya dengan kata-kata penuh manipulasi. Dialog mereka menjadi klimaks dari seluruh cerita:
Christof: “There’s no more truth out there than there is in the world I created for you. The same lies, the same deceit. But in my world, you have nothing to fear.”
Truman: “You never had a camera in my head.”
Boom. Kata-kata itu bukan hanya sekadar pernyataan perlawanan, melainkan juga pengingat bahwa meskipun dunia luar penuh kebohongan dan ketidakpastian, Truman akhirnya menyadari satu hal penting: satu-satunya tempat yang tidak bisa dikendalikan oleh siapapun adalah pikirannya sendiri. Ia mungkin tidak bisa mengontrol dunia sekelilingnya, namun ia memiliki kontrol penuh atas keputusan untuk melangkah keluar. Dengan kesadaran itu, Truman membungkuk, tersenyum, dan mengucapkan kata-kata penutup yang menggugah:
“In case I don’t see ya… good afternoon, good evening, and good night.”
Dengan kata-kata itu, Truman melangkah keluar, meninggalkan dunia yang penuh kebohongan untuk mencari dunia yang nyata, meskipun tak pasti. Dunia luar mungkin jauh lebih keras dan tidak terduga, namun ia akhirnya bebas—bebas untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa lagi dikendalikan oleh tirani siapa pun.
Ini adalah titik di mana banyak dari kita harus berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita sudah berani menghadapi ketakutan kita sendiri, keluar dari “dunia” yang telah dibangun untuk kita, dan menciptakan kenyataan kita sendiri? Truman memberi kita jawaban lewat langkah pertamanya keluar, dengan kata-kata yang penuh makna.
Reality Show vs Real Life
Dulu, The Truman Show terasa seperti fiksi ilmiah yang jauh dari kenyataan. Hari ini? Rasanya kayak dokumenter yang cuma kebetulan belum kita alami. Kenapa? Karena kenyataannya, kita sekarang hidup di dunia yang sangat mirip dengan dunia Truman.
1. Eksistensi Reality Show yang Meledak
Setelah The Truman Show dirilis, dunia seolah dibanjiri reality show. Program-program seperti Big Brother, Keeping Up with the Kardashians, Survivor, dan masih banyak lagi menjamur. Semua ini membuat kita jadi penonton yang haus akan kehidupan orang lain—meski tahu bahwa beberapa drama dan air mata itu mungkin sengaja disusun oleh produser di balik layar. Kita semakin terbiasa menikmati kehidupan orang lain, bahkan merasa lebih hidup ketika melihat orang lain berjuang atau menghadapi masalah. Parahnya, kita hampir lupa kalau kehidupan yang kita tonton itu, sebagian besar, bisa jadi hanya ilusi.
2. Kita Semua Sedikit Artis
Melalui platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, kita semua bisa jadi Truman. Kita ngevlog, berbagi konten harian, dan membuka kehidupan pribadi kita untuk ditonton publik. Bedanya dengan Truman, kita sadar kalau hidup kita sedang diawasi. Bahkan kita seringkali dengan sengaja membagikan momen-momen hidup yang kita anggap “pantas” untuk konsumsi orang lain. Tapi terkadang, dalam upaya untuk selalu tampil baik dan menarik, kita mulai kehilangan diri sendiri. Emosi kita dipilih-pilih, cara bicara kita dimanipulasi, dan kita bisa saja berpura-pura bahagia di depan kamera. Pada akhirnya, pertanyaannya adalah: siapa yang sebenarnya sedang kita perankan?
Kadang-kadang, kita juga terjebak dalam peran yang telah kita buat—terlalu sibuk untuk tampil sempurna dan mengatur citra diri. Seiring berjalannya waktu, bisa jadi kita mulai bingung antara siapa diri kita sebenarnya dan siapa yang kita coba tampilkan ke dunia. Kita sudah tak lagi sekadar hidup, tetapi hidup untuk ditonton.
Dunia yang Diatur oleh Produser Tak Kasat Mata
Christof, sebagai produser, bukan hanya orang yang mengatur dunia Truman. Ia adalah simbol dari kekuasaan yang tak terlihat tapi menentukan hidup kita: media, sistem, kapitalisme digital.
Truman tidak bisa memilih hidupnya. Ia dikondisikan sejak bayi, diberi rasa takut akan laut (supaya gak bisa kabur), dipaksa mencintai perempuan yang dipilihkan, dan disetir untuk tetap tinggal.
Apakah kita juga begitu?
Lahir dalam sistem yang sudah ada, didorong untuk sekolah-sekolah tertentu, kerja di bidang tertentu, lalu punya rumah dan keluarga di usia tertentu. Kalau nyimpang sedikit? Disebut “aneh” atau “gagal”.
Ketika Hidup Jadi Etalase
Kita hidup dalam budaya pamer. Bukan pamer dalam arti sombong, tapi pamer dalam arti: setiap hal yang kita lakukan seolah harus terlihat. Makan enak? Foto dulu. Baca buku? Foto dulu. Liburan? Wajib upload.
Muncul kebutuhan untuk divalidasi. Dan ini bukan cuma terjadi di medsos, tapi juga dalam relasi, pekerjaan, bahkan spiritualitas. Kita hidup untuk ditonton. Kita bekerja agar dianggap “produktif”. Kita berdoa supaya dilihat sebagai orang “baik”.
Sama seperti Truman yang berusaha bersikap sopan, ceria, dan sesuai harapan semua orang. Sampai akhirnya dia sadar: hidup yang baik bukanlah hidup yang sesuai ekspektasi semua orang, tapi hidup yang jujur terhadap diri sendiri.
Truman dan Keberanian untuk Bertanya
Truman punya segalanya: rumah nyaman, istri cantik, pekerjaan mapan. Tapi ada lubang kosong dalam dirinya. Dan ini pelajaran penting: kadang, kita bisa punya semua yang “ideal”, tapi tetap merasa hampa.
Dan di situlah titik balik Truman: ia mulai bertanya. Kenapa hidupku begini terus? Kenapa semua terasa diulang-ulang? Kenapa orang-orang seperti robot?
Pertanyaan itulah yang mengguncang dunia palsu di sekitarnya. Dan ini bisa jadi inspirasi buat kita: pertanyaan sederhana kadang bisa menghancurkan sistem yang dibangun di atas kebohongan.
Saat Truman Melawan
The Truman Show bukan hanya soal Truman. Ia adalah cerminan dari kita semua. Dunia Truman, yang penuh dengan keteraturan, kebohongan, dan kamera tersembunyi, bukan sekadar dunia fiksi. Itu adalah metafora dari kehidupan kita yang terperangkap dalam ekspektasi sosial, konstruksi media, dan algoritma yang mengatur hampir setiap langkah kita. Dan yang paling mengejutkan: kadang kita tahu bahwa apa yang kita jalani itu palsu, tapi kita tetap bertahan dan menjalani hidup itu seolah semuanya nyata.
Christof, sang kreator acara The Truman Show, dengan bangganya berkata:
“We’ve become bored with watching actors give us phony emotions. We’re tired of pyrotechnics and special effects. While the world he inhabits is, in some respects, counterfeit, there’s nothing fake about Truman himself.”
Lucu, ya? Dunia di sekitar Truman bisa sepenuhnya palsu, namun Truman-nya tetap asli. Ini mirip banget dengan media sosial hari ini—di mana setting-nya bisa dibuat-buat, kontennya bisa palsu, tapi emosi yang kita rasakan, reaksi yang kita tampilkan, semuanya terasa sangat nyata. Kita ikut senang melihat influencer berhasil, ikut sedih ketika mereka berbagi kisah kesulitan, dan ikut marah ketika terjadi ketidakadilan di dunia maya. Padahal, banyak dari apa yang kita lihat bisa saja hanya sebuah ‘teater’ untuk menarik perhatian dan memanipulasi perasaan kita.
Mungkin yang lebih menggugah adalah kenyataan bahwa kita tahu betul semua itu tidak sepenuhnya “real,” namun kita tetap terlibat dalam permainan tersebut. Kita tetap melihat, berbagi, dan berkomentar, seolah-olah kita hidup dalam sebuah dunia yang diciptakan khusus untuk kita. Kita seolah memaafkan kebohongan demi kebahagiaan yang dipajang di layar, seperti Truman yang memilih untuk hidup dalam dunia yang tak nyata, karena itu adalah kenyataan yang dia kenal.
Kenapa Ini Relevan Sekarang?
1. Mental Health di Era Digital
Orang-orang sekarang makin sering merasa cemas, overthinking, dan tertekan—meskipun hidup terlihat “baik-baik saja” dari luar. Kita hidup dalam era di mana semua orang bisa jadi penonton, sekaligus jadi pemain di panggung bernama media sosial. Dan panggung itu nggak pernah tutup. Kita merasa perlu terlihat bahagia, sibuk, sukses, punya pencapaian, padahal mungkin di balik layar, kita sedang lelah, kosong, atau bahkan bingung sama diri sendiri. Beban untuk tampil “oke” ini lama-lama bikin kita menjauh dari perasaan asli dan menumpuk tekanan dalam diam.
Dalam The Truman Show, Truman menjalani hidup yang “sempurna”—rumah rapi, istri cakep, tetangga ramah, pekerjaan stabil. Tapi ada sesuatu yang kosong. Dan kekosongan itu muncul bukan karena kekurangan, tapi karena hidupnya bukan milik dia. Film ini secara halus menunjukkan bahwa yang bikin manusia bahagia bukanlah lingkungan yang sempurna, tapi kebebasan untuk memilih dan jadi diri sendiri. Kalau kamu merasa hidup ini kayak panggung yang terlalu terang, mungkin saatnya berhenti akting dan mulai ngobrol jujur sama diri sendiri.
2. Big Data dan Surveillance
Kalau dulu kita cuma bisa nonton Truman diam-diam lewat kamera tersembunyi, sekarang justru kita sendiri yang secara sukarela memberikan akses ke kehidupan kita—entah itu lewat aplikasi, GPS, atau histori pencarian. Apa yang kamu ketik di Google, konten yang kamu tonton di YouTube, bahkan kecepatan scroll-mu di TikTok—semuanya direkam, dianalisis, lalu dikembalikan padamu dalam bentuk iklan atau saran konten. Kita hidup di zaman di mana kita tidak hanya ditonton, tapi juga dibaca, diprofilkan, bahkan diprediksi oleh algoritma.
Shoshana Zuboff menyebut ini sebagai bentuk baru kekuasaan: “kapitalisme pengawasan.” Kita jadi komoditas yang terus dipelajari agar bisa dijual ke pengiklan. Seperti Truman yang pikir hidupnya “miliknya”, kita juga sering merasa hidup kita bebas—padahal banyak keputusan kita sudah diarahkan secara halus oleh algoritma. Kita beli barang karena direkomendasikan, kita suka hal tertentu karena dilatih oleh sistem. Dan pertanyaannya: seberapa banyak dari pilihan kita yang benar-benar “pilihan sendiri”?
3. Pencarian Makna
Di era yang segalanya serba cepat, serba instan, dan serba visual, banyak dari kita yang kehilangan makna. Kita sibuk bekerja, mengejar target, membangun citra—tapi gak tahu lagi, sebenarnya kita sedang lari ke mana. Rutinitas harian berjalan otomatis seperti roda gigi, dan malam-malam kita sering nanya ke diri sendiri: “Sebenarnya gue mau apa sih?” Pertanyaan itu mungkin gak muncul tiap hari, tapi sekali muncul, bisa bikin kita terpaku lama di kasur, mikirin arah hidup.
Inilah yang dialami Truman. Hidupnya tampak jelas dan aman: bangun tidur, kerja, pulang, ngobrol sama tetangga, ulangi lagi. Tapi di balik semua itu, ada perasaan gelisah yang terus mengganggu: “Apa cuma ini hidup gue?” Saat ia mulai mempertanyakan, dunianya retak. Dan itu bukan kehancuran—itu justru awal dari pembebasan. Film ini ngajak kita buat berani mempertanyakan semua hal yang selama ini kita terima begitu saja: aturan, ekspektasi, bahkan mimpi yang katanya ideal. Karena mungkin, hidup kita bukan sepenuhnya milik kita… sampai kita mulai bertanya.
Akhir Kata: Jadilah Truman yang Keluar
Setelah Truman melangkah keluar dari pintu itu, dia memasuki dunia yang tak lagi terjadwal, tanpa naskah, dan tanpa jaminan “happy ending” yang sudah ditentukan orang lain. Dunia nyata memang penuh tantangan—ada badai yang sebetulnya bukan lampu panggung, ada ombak yang benar-benar menabrak lambung kapal, ada orang-orang yang tak selalu jadi “aktor” yang ramah. Tapi justru di situlah letak keindahannya: setiap keputusan ada konsekuensi nyata, setiap langkah terasa penting karena itu datang dari pilihan kita sendiri.
Kita semua punya “pintu” itu—bisa berupa keputusan untuk berhenti berkutat pada standar yang bukan milik kita, bisa berupa keberanian mengatakannya kepada orang-orang terdekat, atau bisa juga sekadar momen kita mematikan notifikasi untuk mendengarkan nurani sendiri. Di balik pintu itu, mungkin kita akan menemukan ketidakpastian, rasa takut, bahkan keraguan tentang apakah kita sudah siap. Tapi ketahuilah, setiap keraguan yang kita lalui justru memperkuat keyakinan bahwa hidup ini memang milik kita sepenuhnya.
Jadi, kapan pun kamu merasa hidup ini terlalu diatur—terlalu banyak ekspektasi, terlalu banyak “kamera” yang menatap, terlalu banyak peran yang harus dimainkan—ingat pilihan Truman. Ingat bahwa kebebasan sesungguhnya dimulai dari keberanianmu menekan kenop yang membuka pintu itu. Dan setelah kamu melangkah keluar, jangan lupa ucapkan pada diri sendiri, dan pada dunia:
“In case I don’t see ya… good afternoon, good evening, and good night.”