TUGU BIAWAK BUKTI TUGU NGGAK HARUS MAHAL NGGAK HARUS ANEH NGGAK HARUS MALU MALUIN
Di tengah gemerlapnya proyek-proyek besar dengan anggaran yang mencekik, sebuah tugu sederhana dari Wonosobo berhasil mencuri perhatian. Tidak ada kemewahan, tidak ada pemborosan anggaran, hanya tugu biawak yang kokoh berdiri dengan makna yang dalam. Tugu Biawak di Desa Krasak, Wonosobo, karya seniman lokal Rejo Arianto, adalah contoh nyata bahwa gagasan brilian tidak harus berharga selangit. Dengan biaya yang hanya sebesar Rp50 juta, tugu ini menjadi simbol kebanggaan bagi masyarakat setempat. Ya, hanya Rp50 juta—anggaran yang seharusnya cukup untuk membeli satu set meja kursi kantor pejabat tapi bisa bikin tugu se-estetik ini.
Biawak Itu Bukan Hanya Soal Reptil, Tapi Tentang Identitas Budaya
Jangan salah, biawak di Wonosobo bukan sekadar simbol random yang dipilih asal-asalan. Biawak adalah bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa Krasak. Dalam bahasa lokal, biawak dikenal dengan sebutan “menyawak”, yang seringkali menjadi subjek pembicaraan atau bahkan cerita rakyat. Kenapa memilih biawak? Karena tugu ini berakar pada budaya dan kehidupan warga, bukan sekadar kebutuhan untuk pamer di media sosial atau potong pita untuk mencuri perhatian. Tugu Biawak berhasil memadukan seni dan budaya lokal dalam sebuah bentuk yang tidak hanya estetik, tetapi juga penuh makna.
Bukan cuma bentuknya yang realistis, tugu ini bahkan bisa dilihat sebagai representasi kesederhanaan yang seringkali terabaikan di tengah gemerlapnya proyek-proyek besar yang hanya menumpuk beton dan anggaran tanpa ada nilai yang jelas. Diperkenalkan dengan dana yang sepenuhnya berasal dari CSR (Corporate Social Responsibility) BUMD lokal, tugu ini menunjukkan bahwa proyek sukses tidak harus selalu melibatkan APBD yang membengkak atau melibatkan anggaran yang tak masuk akal. Sekali lagi, hanya dengan Rp50 juta, Tugu Biawak berhasil berdiri tegak, memberikan identitas bagi desa dan menjadi simbol yang membanggakan.
Tugu-Tugu Mewah yang Menguras Anggaran, Tapi Nggak Ada Makna
Sekarang, mari kita balik ke tugu-tugu yang lebih familiar di banyak kota besar yang jelas-jelas lebih mahal dan tidak ada makna. Misalnya, Tugu Durian di Pandeglang yang biaya pembangunannya mencapai Rp175 juta. Durian, yang seharusnya berduri tajam dan penuh aroma kuat, malah jadi tugu berbentuk benda yang lebih mirip kentang. Harusnya durian itu bisa jadi simbol kekuatan, tapi malah jadi bahan lelucon. Banyak yang menilai tugu ini tidak hanya absurd, tetapi juga tidak mencerminkan apapun selain kelalaian desain dan anggaran yang terlalu besar untuk sesuatu yang seharusnya sederhana (Kompas.com, 2022).
Lalu ada Tugu Jagung Tuban yang memakan biaya Rp1 miliar, bentuknya seperti roket bukan jagung. Bayangkan, uang sebesar itu—dengan potensi yang bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur lebih bermanfaat—digunakan untuk membuat benda yang hanya menimbulkan pertanyaan besar di benak masyarakat. Tugu ini jelas lebih banyak menimbulkan pertanyaan daripada memberikan jawaban (Tirto.id).
Lebih lanjut lagi, jangan lupa dengan Tugu Sepeda Jakarta yang dibangun dengan anggaran fantastis Rp800 juta. Konsepnya mungkin terdengar bagus di atas kertas, sebagai bentuk apresiasi terhadap pesepeda dan upaya mendukung transportasi ramah lingkungan. Tapi, tugu ini malah lebih cocok dijadikan obyek selfie daripada simbol perubahan sosial. Menurut pengamat tata kota Nirwono Yoga, proyek ini hanya membuang-buang uang yang lebih baik dialokasikan untuk fasilitas yang benar-benar dibutuhkan oleh pesepeda, bukan hanya untuk menambah koleksi tugu yang katanya ikonik di Jakarta (Republika.co.id).
Dari Mana Semua Pemborosan Ini Berasal?
Jadi, kenapa bisa ada tugu-tugu yang memboroskan uang seperti itu? Jawabannya gampang: karena banyak pejabat yang lebih fokus pada pameran prestasi palsu daripada fokus pada apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat. Mereka lebih tertarik pada proyek yang bisa memanfaatkan anggaran dengan mudah, dan sayangnya, seringkali proyek tersebut justru memprioritaskan prestise pribadi atau permainan politik. Bukan untuk meningkatkan kesejahteraan publik atau memberi dampak nyata.
Bahkan lebih parahnya, mereka sering kali mengabaikan unsur budaya lokal, yang seharusnya menjadi bahan utama dalam merancang sebuah tugu atau monumen. Malah, lebih memilih desain yang terlihat keren tapi ternyata sangat jauh dari identitas atau nilai-nilai lokal yang seharusnya diangkat. Alhasil, proyek tersebut hanya menjadi pajangan kosong yang menghabiskan anggaran, tanpa ada makna lebih di baliknya.
Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Tugu Biawak
Kita semua bisa belajar banyak dari Tugu Biawak Wonosobo. Proyek ini adalah contoh sempurna bahwa tugu atau monumen yang bermakna tidak harus dibangun dengan anggaran ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah. Yang lebih penting adalah proses kreatif, pelibatan masyarakat, dan penanaman nilai-nilai budaya. Wonosobo jelas sudah menunjukkan bahwa seniman lokal bisa menciptakan karya luar biasa yang memikat, bahkan dengan dana terbatas. Sederhana, tapi penuh makna.
Tugu Biawak juga menunjukkan bahwa seni dan budaya lokal harus dilestarikan dan dikembangkan dalam setiap proyek publik. Hanya dengan begitu sebuah tugu bisa menjadi simbol yang kuat, bukan sekadar benda yang berdiri tanpa tujuan jelas. Mengambil inspirasi dari alam dan lingkungan sekitar, seperti yang dilakukan oleh Rejo Arianto dengan memilih biawak, bisa menjadi pendekatan yang lebih relevan dan berdampak.
Saatnya Berhenti Menyia-nyiakan Uang untuk Proyek Tak Penting
Sebelum Indonesia dipenuhi oleh tugu-tugu tak jelas dan membuang-buang anggaran, mari kita mulai berpikir realistis. Sudah saatnya berhenti membangun monumen yang hanya menjadi bahan tertawaan netizen. Mulailah dengan memperhatikan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Apakah kita butuh tugu berbentuk durian yang cuma dijadikan bahan meme, atau kita butuh fasilitas umum yang lebih baik? Apakah kita butuh tugu berbentuk roket yang mahal, atau kita butuh ruang publik yang mendukung kesejahteraan masyarakat?
Saatnya para pejabat daerah berpikir jernih dan berhenti terjebak dalam permainan politik yang mengarah pada pemborosan anggaran. Jika Tugu Biawak yang sederhana bisa memberikan dampak positif bagi masyarakat Wonosobo, kenapa tugu-tugu lain tidak bisa menginspirasi dan memberikan manfaat yang lebih besar untuk publik?
Penutup: Belajarlah dari Tugu Biawak
Kunci dari semua ini adalah sederhana: jika ingin membuat tugu atau monumen, buatlah sesuatu yang berakar pada budaya, relevansi sosial, dan anggaran yang wajar. Tidak perlu mewah, tidak perlu mahal, yang penting adalah memiliki makna dan memberi dampak positif. Belajar dari Tugu Biawak yang hanya menghabiskan Rp50 juta, tapi bisa berdiri tegak dengan bangga dan memberikan kebanggaan kepada masyarakatnya. Itu adalah karya nyata yang bisa ditiru, bukan tugu-tugu mahal yang hanya menjadi bahan pembicaraan sesaat.
Tugu-tugu yang sia-sia itu tidak hanya membuang anggaran, tetapi juga mencerminkan betapa jauh pejabat dari kenyataan. Demi kemajuan yang sesungguhnya, mari kita hentikan pemborosan dan mulai bangun sesuatu yang lebih bermakna.