Tuhan, Tolong Bunuh Emak: Tulis, Telaah, dan Terbit

Penulis: Oky Akbar
Naskah drama, sebagai karya sastra, jumlah peminatnya dapat dipastikan di bawah sastra prosa dan puisi. Indikator sederhananya, lihatlah koleksi pajangan di toko buku. Mungkin saja, satu naskah drama pun tidak akan ditemukan di sana. Jika berorientasi kebutuhan atau istilahnya pangsa pasar, naskah drama jelas bukanlah produk unggulan. Prosa dan puisi lebih berpeluang memenuhi kebutuhan batin pembaca.
Sebagai penyedia bacaan, toko buku sangat selektif menentukan buku-buku yang akan menghiasi etalasenya. Nama penulis dan kebutuhan pembaca menjadi poin penting pertimbangan. Meskipun demikian, toko buku hanyalah muara, akhir dari proses kreatif. Lebih penting, sejauh mana proses itu berlangsung. Dalam konteks drama, saya melihatnya ke dalam skema 3T, tulis, telaah, terbit. Sulitnya menemukan naskah drama dalam bentuk buku mengindikasiakan proses tulis yang tidak berjalan. Benarkah demikian? Pertanyaan ini pasti menjadi dialektika dengan asumsi beragam jawaban. Asumsi-asumsi tersebut justru akan menjadi sinar pantul untuk menerangi sisi panggung yang di atasnya ada problematika eksistensi naskah drama.
Saya awali dengan mengutip pernyataan Hasanuddin bahwa drama adalah karya dua dimensi; sastra dan pertunjukan. Kaitannya dengan sastra, drama hadir dalam wujud teks berupa monolog atau dialog-dialog. Teks drama kemudian lebih akrab dengan sebutan naskah drama. Sementara itu, dimensi pertunjukan ialah aktualisasi naskah drama dengan dukungan sarana lainnya. Sekurangnya terdiri atas unsur naskah, sutradara, dan aktor. Dengan demikian, drama dapat dilihat secara tunggal atau melebur dalam kedimensian ganda.
Naskah drama memang sulit ditemui dalam bentuk cetak seperti prosa dan puisi yang berjejer di etalase toko. Naskah drama ditulis untuk kepentingan pentas. Banyak naskah bahkan tidak ditulis lengkap sebab kesempurnaan naskah ialah pertunjukannya. Akan tetapi, banyak juga naskah drama dicetak dan diunggah atas kesadaran akan kebutuhan naskah drama. Baik kesadaran pribadi maupun kesadaran kolektif.
Dari beberapa studi, telaah drama sebenarnya beriring jalan dengan proses tulis dan terbit (produksi) pertunjukan. Drama tulis atau terbit melahirkan telaah terhadapnya. Kampus-kampus terus memproduksi telaah kritis dengan objek materil tulis dan terbit. Selain kampus, apresiasi drama pertunjukan juga terus mengalir dari apreasiator meskipun dalam konteks terbatas. Produksi drama pertunjukan di berbagai daerah semakin subur. Baik dalam bentuk komersialisasi para profesional, sanggar dan komunitas maupun sekadar penyelesaian beban kuliah. Terlepas dari alasan siapa, mengapa, dan untuk siapa drama pentas diproduksi.
Di Jambi, drama pertunjukan menunjukkan masa depan yang baik. Setidaknya, dalam satu bulan ada satu drama pertunjukan. Kondisi seperti ini dapat menjawab pertanyaan semula mengapa naskah drama sulit ditemukan. Dalam ruang terbatas, buku bisa saja memang minim. Akan tetapi, jauh lebih luas jika dilihat menggunakan teropong yang berbeda. Proses kreatif tulis, telaah, dan terbit drama dalam kondisi sehat walafiat. Drama tidak berada di ruang tunggu ‘lampu kuning’.
Tuhan, Tolong Bunuh Emak
Sebuah naskah drama yang ditulis oleh Yessy Natalia. Naskah tersebut merupakan salah satu pemenang Sayembara Naskah Teater Dewan Kesenian Jakarta. Antologi naskah teater dapat diperoleh di https://dkj.or.id/buku-antologi-pemenang-sayembara-naskah-teater-rawayan-award-2022/.
Tuhan, Tolong Bunuh Emak adalah naskah sederhana dengan plot longgar. Setiap peristiwa disampaikan secara lambat. Naskah ini merupakan representasi sosial, kondisi keluarga yang serba sulit dan rumit di peradaban ibu kota. Himpitan ekonomi bersanding dengan penyakit. Bekti yang bekerja sebagai pramubakti, sesekali ngojek sepulang kerja, masih tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya. Gaji ke 13 dan bonus yang akan diterimanya belum cukup untuk membawar utang, membeli obat ibunya, dan membiayai kuliah anaknya. Utangnya kepada Bos (rentenir) terus menumpuk. Sebagai jaminan, motornya harus disita. Utangnya bisa berkurang jika mau menikahkan anaknya dengan Bos. Di sisi lain, kanker tulang yang diderita Ibunya terus menandai kegagalannya sebagai anak. Ibunya pernah dibawa berobat. Dua kali hanya dia mampu. Selebihnya, bekti bertumpu pada khasiat parasetamol. Belum lagi Wiyarti, anaknya, butuh biaya besar sebagai mahasiswa kedokteran.
Minah, istri Bekti, menyerahkan seluruh keputusan keluarga kepada suaminya. Ia ingin semuanya teratasi. Akan tetapi, hanya ada tiga pilihan; membayar utang, membeli obat emak atau membayar uang kuliah. Aku ndak mau milih. Kepala keluarga yang harusnya tentukan. Dan saat ini, yang jadi kepala keluarga adalah kamu! Bukan aku! Kamu yang harusnya tentukan! (hal.56). Sikap Minah dapat dianggap sebagai ketaatan seorang istri. Selama masih sesuai dengan syariat dan tak melanggar perintah agama. Akan tetapi, sikap taat Minah berdampak psikologis bagi Bekti. Bekti merasa seperti terhakimi untuk menanggung seluruh akibat atas keputusannya sendiri. Padahal, pandangan sosiologis membuka peluang seorang istri memberi pandangan atas keputusan yang akan dipilih.
Jangan kau berikan aku harapan, lantas kemudian kau banting aku ke tanah, Bang (hal.49). Sekecewa itukah Minah kepada Bekti? Apakah Bekti menyelewengkan uang pendapatannya? Dugaan seperti itu tidak ditemukan tanda-tandanya di dalam naskah. Bahkan, sepulang kerja, Bekti mencari tambahan sebagai ojek. Bekti tokoh yang jujur dan ulet bekerja. Ia kepala keluarga yang bertanggung jawab. Sebentar lagi aku dapat gaji ketiga belas, dan kalau jadi, aku juga akan menerima bonus (hal.55). Bonus dapat diartikan sebagai imbalan lebih atas prestasi kerjanya. Persoalan tidak mampu memenuhi kebutuhan, barangkali, memang itulah kemampuannya.
Seperti lepas rasanya dengkul ini meminta Tuhan untuk menyembuhkan Emak. Berkali kali bersimpuh meminta sampai tak bisa lagi kuucapkan kalimat dari mulutku. Di mana Dia? Ketika kita terjepit begini, di mana Dia? Di mana Tuhan? (hal.57). Penggalan dialog Bekti menunjukan kegetiran hidup. Di saat terjepit, Pengharapan Tuhan pun seakan percuma. Tuhan seperti tak mendengar apalagi menjawab doanya. Bekti hanya meminta kesembuhan emak. Saya mencoba menafsirkan dalam kerangka keterbatasan. Dalam konteks ini, Emak adalah sumber masalah. Tanggung jawab Bekti sebagai kepala keluarga, tidak hanya menjamin kehidupan istri dan anak, tetapi juga orang tua. Problem seperti ini disebut dengan istilah sandwich.
Apa yang kau lakukan sampai dengan sekarang sudah sangat cukup buat Mak. Sekarang kamu punya anak dan istri yang jadi tanggung jawabmu. Aku, makmu ini, bukan kewajibanmu lagi (hal.58). Dialog Emak menyiratkan permohonan maaf. Maaf telah menyusahkan, menjadi beban anak-anaknya. Jika dikalkulasi secara matematis, jawabannya haruslah EROR. Ini bukan persoalan memberi-menerima materi. Dalam kultur ke-Indonesiaan, ada tradisi mengikat. Sebagian orang mungkin dengan berbahagia merawat orang tuanya, pun sebaliknya dapat kita temui kasus berbeda.
Tuhan, Tolong Bunuh Emak semakin menguat sebagai untaian doa dari seorang anak. Anak dalam kebimbangan, kegetunan, dan keputusasaan. Sungguh tak kuasa membunuh emak. Tak kuasa menghapus cita-cita anaknya. Bekti, sebagaimana namanya, adalah doa orang tua agar menjadi anak yang ber-‘Bakti’. Jadilah Tuhan sebagai penentu. Begitu singkatnya.
Konteks Ke-Indonesiaan
Sebagai naskah drama, Tuhan, Tolong Bunuh Emak lahir atas konteks fenomena sosial. Sajian peristiwa sangat dekat dengan masalah-masalah di Indonesia; ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Setiap 1 Mei, buruh turun ke jalan menuntut kenaikan upah. Bukan tanpa alasan. Kenaikan upah merupakan tuntutan logis atas naiknya harga-harga barang. Beberapa orang melihat ini sebagai peluang. Peminjaman uang bermunculan. Aksesnya sangat mudah. Syaratnya sangat sederhana. Namun, konsekuensinya parah. Kalau Wiyarti jadi istri beliau, kira-kira bisalah mengurangi utang Pak Bekti sekitar tiga belas juta (hal.45). Dialog tersebut menunjukan hegemoni atas orang yang berutang. Menjual anak kepada orang lain untuk bayar utang bertentangan dengan Perlindungan Anak. Di berbagai pemberitaan, ada rumah dan kendaraan yang diambil paksa. Lebih lagi, sepanjang 2023 sebanyak 25 orang bunuh diri karena utang. (https://www.liputan6.com/news/read/5485790/ngeri-25-orang-bunuh-diri-akibat-terlilit-utang-pinjol-sepanjang-2023).
Kesempatan meningkatkan taraf pendidikan belum dinikmati secara luas. Dana pendidikan nyatanya belum mampu mewujudkan cita-cita anak Indonesia. Jual beli kursi pendidikan terjadi di perguruan tinggi. Nominalnya fantastis. Pintar sekali anak itu. Dia pasti akan butuh biaya besar. Kedokteran bukan sekolah yang murah (hal.53). Jokowi menjelaskan, saat ini Indonesia masih kekurangan 124 ribu dokter umum dan 29 ribu dokter spesialis (https://www.voaindonesia.com/a/jokowi-rasio-dokter-dan-penduduk-di-indonesia-sangat-rendah/7599684.html). Kebutuhan dokter harus diimbangai dengan neraca pendanaan yang simetris. Jangan sampai fakultas kedokteran hanya mampu diakses sebagian kelas keluarga. Sementara itu, banyak anak bangsa yang tak kalah cerdas, tinggal di gang-gang sempit dan rumah reot belum menikmati 20% anggaran pendidikan.
Kesehatan adalah pilar bangsa. Anggaran kesehatan direncanakan sebesar Rp 186,4 triliun atau sebesar 5,6% dari APBN. Jumlah ini meningkat 8,1% atau Rp 13,9 triliun, dibandingkan dengan anggaran pada tahun 2023 (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230816/0643661/anggaran-kesehatan-2024-ditetapkan-sebesar-5-6-dari-apbn-naik-8-1-dibanding-2023/). Akan tetapi, dalam Tuhan, Tolong Bunuh Emak masyarakat miskin hanya bergantung pada obat murah. Tadi, kata orang di warung, parasetamol bisa mengurangi rasa sakit. Dia menyarankan untuk memberikan dua buah pil saat makan (hal.59).
Tuhan, Tolong Bunuh Emak disempurnakan Teater AiR
Taman Budaya Jambi, 13 dan 14 September 2024, Teater AiR menyempurnakan hakikat naskah drama Tuhan, Tolong Bunuh Emak. Tidak kurang 900 penonton hadir. Begitu laporan penyelenggara lewat Instagramnya. Sebagian penonton tampak keluar dengan mata sembab; laki-perempuan, tua-muda. Sebagian lagi berusaha menahan. Mungkin mencari tempat yang lebih sepi untuk melepasnya.
Windy Kaunang sebagai sutradara memilih sajian gaya realis dengan montase rumah, kursi, ranjang, meja makan, dan toilet. Penyituasian dimulai dari kipas yang mengembus angin ke tubuh Emak di atas ranjang. Tokoh Bekti, diperankan Zefanya Manulang masuk mengendari sepeda motor. Duduk di kursi depan, membuka amplop berisi uang yang diterimanya. Pandangannya jauh sebelum disadarkan oleh Minah. Minah memvisualisasikan mengijak kecoa. Memberi tanda bahwa di rumah itu kecoa sudah sangat meresahkan. Bang Jaul dengan gaya parlente datang menagih utang. Bekti belum sanggup melunasi. Tawaran menikahkan anaknya dengan Bos dianggap angin segar agar keluar dari jerat utang. Wardi, tetangganya, mengacau pikiran Bekti dengan memberi kabar bahwa Wakidi mati bunuh diri di rel kereta karena tak sanggup bayar utang. Werdi pun beralasan, akan memilih jalan seperti Wakidi daripada merenggut masa depan anaknya.
Pilihan antara utang, obat, dan biaya pendidikan menjadi peristiwa dasar ceita ini. Rani Iswari yang memerankan tokoh Minah dapat dikatakan berhasil menjalankan fungsi antagonis. Bekti lebih memilih kesehatan Ibunya, sedangkan Minah cenderung mewujudkan cita-cita anaknya. Dengan dialog ketus, Minah mematahkan harapan Bekti. Menyodorkan kertas pembiayaan, utang, dan berobat dilengkapi dengan adegan melepar lap kotor cukup menjadi penilaian bahwa Minah kecewa atas segala usaha yang dilakukan Bekti.
Tokoh Bekti berusaha menjaga ritme peristiwa. Ia berusaha menahan mood marah dan kecewa atas dunia yang dianggapnya tak adil. Namun sayang, emosinya meledak menjelang klimaks. Tangisnya pecah menyengguk di kaki Emak. Andai dapat ditahan, barangkali akan berdampak lebih ‘magis’ bagi penonton. Selebihnya, akting aktor muda ini bernilai jos gandos kotos-kotos.
Pekerjaan tidak mudah juga dilakonkan oleh Devi Hanan. Berperan sebagai Emak, Hanan berusaha mentransformasi sakit di bagian tulang. Saya rasa risetnya lumayan bagus. Suara berat dan kesusahan bergerak mewarnai empati kesakitan. Berakting minim gerak adalah tantangannya. Sementara itu, Ridho Ramadhan dan Agung Syahputra porsinya tidak hanya sebagai pendukung atau pelengkap. Jaul dan Werdi adalah pemicu konflik, lalu membawa tokoh lainnya menuju tikaian psikologis yang dalam.
Tentu semuanya tidak lepas dari peran sutradara. Tanpa bermaksud melebihkan, penataan suara saya anggap sangat ciamik. Suara bising sebagai bagian dari pikiran Bekti sangat membantu pemaknaan pertunjukan. Setting berfungsi optimal meskipun terasa agak berat. Komposisi setting kurang sesuai dengan luas rumah. Panggung tampak gemuk oleh volume sofa dan ranjang. Wilayah permainan aktor menjadi sempit.
Menariknya, sutradara memberi makna baru. Makna sesungguhnya ada di dalam teks. Sebagai penonton yang membaca naskahnya terlebih dahulu, saya tafsirkan ada persimpangan makna. Sutradara tidak memberi kepastian keberpihakkannya. Justru memberi kebebasan penonton memberi tafsir lain. Mungkinkah adakah keputusan yang juga berat manakala kita diperhadapkan pada kejadian demikian. Menyamarkan pesan bisa menjadi jalan tengah, tetapi pesan itu sendiri menjadi kosong. Adegan Bekti mengejar bunyi kereta api di akhir pertunjukan dapat ditafsirkan sebagai kekalahan tokoh protagonis. Mungkinkah begitu?
*
Tulis, telaah, dan terbit drama adalah semiosis, pemaknaan yang tak pernah putus. Siklus alamiah yang terus berputar tanpa ujung pemberhentian. Naskah ditulis dalam konteks tertentu. Ia menunggu pinangan sutradara untuk menjadikannya sempurna. Di tangan sutradara, naskah mengalami interteks dalam wujud alih wahana. Penyesuaian dan adaptasi dilakukan dalam kerangka merangkum kontektualitas. Drama tulis dan terbit dapat menjadi telaah objek wacana kritis. Kajian secara ekslusif dalam ranah sastra dan pertunjukan boleh saja tetap dilakukan. Akan tetapi, kesegaran kontekstual dengan pendekatan sosiologi, psikologi, dan modernisasi memberi cita rasa berbeda. Dengan begitu, drama akan lebih fungsional.
Jambi, 24 September 2024