Tungku
Gumpalan asap membumbung di atap rumah, asap beraroma nikmat itu telah menjalar ke seluruh penjuru rumah, sebagai penanda ada hal yang sedang dikerjakan didalam dapur menggunakan tungku dari bata tanah yang di susun dari kebahagiaan, cinta, dan keharmonisan didalam keluarga.
***
Embun di pagi hari mulai turun, diriku sudah menjalankan aktivitas yang mana sudah menjadi kebiasaan sebagai seorang ibu kebanyakan, menyiapkan sarapan serta kebutuhan anakku dan juga suamiku.
Meskipun teriakan dariku selalu terdengar di setiap pagi, tetapi itu semua aku lakukan demi kebaikan mereka juga, tak jarang canda tawa selalu kubagikan kepada keluarga kecil berhargaku ini, aku selalu melakukannnya hingga aku tidak menyadari ada berbagai macam hal yang tidak bisa aku kendalikan. Aku jadi teringat saat masa awal pernikahan kami, aku dan suamiku selalu bingung akan bagaimana nasib masa depan anak-anak kami, tetapi dari keraguan itu kami perlahan-lahan mengerti dan mempersiapkan dengan baik untuk masa depan anak-anak kami.
Aku kira sebagai ibu tidak perlu untuk menyesuaikan dengan masa pertumbuhan anak, mau dia masih kecil atau sudah besar dia tetaplah anakku dan aku akan terus menganggapnya sebagai anak kecil. Aku ingat sekali bagaimana anakku yang pertama saat dirinya pertama kali masuk sekolah, ia mengeluarkan tatapan sedih guna menahan diriku untuk pergi dari situ, dan akan menangis kencang saat aku tidak ada di hadapannya.
Serta aku juga masih ingat, bagaimana anak keduaku buang air di kelas, dikarenakan ia malu untuk izin ke toilet. Yang akibatnya kelas diberhentikan sementara dikarenakan bau yang sangat menusuk dari anakku itu. Mendapatkan kabar dari sekolah, bergegas aku bawakan pakaian ganti untuknya, lalu meminta maaf kepada walikelas atas kejadian tersebut.
Apalagi si bungsu ia sedari bayi sudah banyak sekali memakan korban, ia tak suka di sentuh orang lain. setiap ada orang lain yang ingin menggendongnya maka ia akan muntah, bahkan tak jarang ketika orang tersebut baru mau mendekat ke arahnya dia sudah muntah, yang membuat orang itu mengurungkan niatnya untuk menggendong si bungsu, aku kira hal itu adalah penyakit. Namun, anehnya ketika kakak-kakaknya, suamiku, dan diriku yang menggendongnya ia tidak menunjukan reaksi yang ia tunjukan kepada orang lain, bahkan sampai sekarang aku masih mencari jawaban atas keanehan itu.
Apapun itu, aku tetap menyayangi keluarga kecilku ini. Merekalah sumber kekuatan atas diriku. Memang menjadi orang tua tidak ada pelajaran teoritis, tetapi seiring berjalannya waktu maka sebagai orang tua, aku semakin paham akan sebuah keluarga, kasih sayang, pengorbanan, dan kekuatan keluarga.
Tiba-tiba di tengah semua kenangan itu aku disadarkan oleh sebuah tangan yang mengusap lembut pundakku yang membuatku tersadar akan semua ini.
“Emak makan ya, sudah dua hari emak tidak makan. Makan ya? Jangan sedih lagi, bapak pasti sudah tenang di alam sana” ucap anakku yang kedua.
Mendengar hal itu aku hanya bisa mengangguk lemas. Perkataannya membuatku tersadar akan situasi yang sedang terjadi sekarang ini, aku telah ditinggalkan oleh pasangan hidupku. Suamiku orang yang paling aku cinta telah mendahului diriku, orang yang selalu bisa membuatku marah dan tertawa di satu waktu, orang yang selalu romantis di setiap waktu, orang yang selalu tidak pernah bosan untuk tersenyum di depan semua orang, kini telah di panggil Sang Maha Kuasa. Aku hilang arah, tidak tahu lagi mau bagaimana.
Seperti kayu yang dimakan api, menjadikannya abu. Lama sekali aku mencoba untuk kembali ke kehidupan normal seperti sediakala, meskipun itu tidaklah mudah tetapi aku akan terus mencoba dan berusaha untuk kembali. Bukan berarti aku melupakannya, aku hanya mencoba untuk tidak terlalu larut didalam kesedihan yang berkepanjangan, aku masih mempunyai kehidupan dan aku harus menjalaninya.
Kembali seperti hari sebelumnya, aku menjalani kegiatan yang mana sudah sewajibnya seorang ibu kepada anak-anaknya, membangunkan mereka, membuatkan sarapan, menasehati mereka, memberikan apa yang terbaik bagi mereka. Namun, kini tungku yang hangat telah dingin, merasuk kedalam relung jiwa, hangus bersama semua kenangan yang telah di persiapkan. Aku ditinggalkan.
***
Sepi, sama seperti berjuta hari yang sebelumnya, aku tidak pernah ingat kapan anak-anakku datang ke rumah ini lagi. Aku selalu menunggu kembali, suara riuh canda tawa dari cucuku yang mungkin kini mereka telah dewasa. Suara riuh itu kini telah terganti dengan suara bisu dari batu, pasir, dan tungku yang berada disini menemani diriku.
Di balik atap dari daun kelapa, aku bisa melihat titik-titik cahaya jatuh di atas muka ku, menyiram kesedihan yang membisu dan membatu di dalam hati ini.
“Aku, rindu … “
Deni Haryanto, lahir di Jambi pada 12 Maret 2004, tinggal di Desa Cilaja Dusun Pahing Kecamatan Kramatmulya Kuningan Jawa Barat. Mulai menekuni sastra sejak kelas 9 SMP, terinspirasi dari ekskul teater di MAN 2 Kota Jambi. Meskipun menghadapi halangan, Deni menikmati setiap momen dalam dunia sastra.