UNTUNG DAN BUNTUNG DI WARUNG BERKAH
oleh Agung Syahputra
Lapangan pekerjaan di zaman sekarang sudah sangat terbatas. Oleh karena itu, manusia harus memutar otak untuk dapat bertahan hidup. Berbagai cara dilakukan agar permasalahan ini dapat diselesaikan, misalnya dengan berwiraswasta. Jika kita lihat pada zaman dahulu, nenek moyang kita banyak yang memilih berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdagang memang menjadi solusi di tengah sulitnya mencari pekerjaan saat ini. Akan tetapi, berdagang itu antara bakal untung atau malah buntung.
“Kita ini bisnis, berjualan, mencari untung. Setiap hari yang ada buntung! Kita ini jualan, bukan sedekah, Pak!”
Begitulah percakapan yang terjadi dalam cerpen berjudul Warung Berkah karya Ayu Diah Lestary. Cerpen ini termuat pada rubrik Pendidikan di Harian Pagi Jambi Ekspres edisi Jumat, 26 Mei 2023 dan menjadi salah satu karya yang berhasil lolos kurasi program Undangan Menulis yang diadakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Jambi. Ayu Diah Lestary merupakan penulis muda kelahiran Jambi dan salah satu lulusan dari Program Studi Sastra Indonesia Universitas Jambi.
Cerpen bertemakan kehidupan sosial dan rumah tangga ini membahas tentang bisnis warung kelontong milik sepasang suami-istri. Menurut tokoh Bu Yuli, nama Berkah yang digunakan untuk warungnya itu sama sekali tidak mendatangkan keberkahan, sedangkan tokoh Pak Sukamto yang merupakan suaminya selalu meyakinkan bahwa nanti berkah itu pasti akan datang.
Akar permasalahan ini tidak lain dan tidak bukan adalah pembeli yang selalu berhutang, sedangkan pendapatan yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga Pak Sukamto dan Bu Yuli. Betapa miris saat bisnis yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak sesuai dengan ekspektasi awal. Hal ini sangat sesuai dengan realita, banyak warung-warung kecil yang harus bangkrut karena tidak mendapatkan untung dan terpaksa untuk menggulur tikar.
Pak Sukamto yang sudah kebingungan mencari solusi untuk tetap mempertahankan warungnya itu, akhirnya mendapatkan sebuah ide. Ia berdisuksi dengan istrinya tentang pemberian bunga pada setiap pelanggan yang berutang untuk menambah sedikit pendapatan mereka. Akan tetapi, solusi yang ditawarkan itu malah menimbulkan perdebatan baru tentang pemasukan dan pengeluaran mereka yang tak seimbang, ditambah Bu Yuli yang kebingungan untuk mengatur keuangan mereka.
Seperti kata pepatah Besar Pasak daripada Tiang, bertahan hidup di zaman sekarang dengan penghasilan yang kecil memang sangat sulit. Pengeluaran yang selalu tidak berimbang dengan pendapatan sudah tidak asing lagi kita dengar di tengah kehidupan ini. Seolah-olah hal ini menjadi permasalahan yang lumrah bagi banyak kalangan, terutama kalangan bawah. Sebenarnya permasalahan ini dapat teratasi dengan mengatur pola keuangan dengan sebaik mungkin, misalnya memprioritaskan kebutuhan pokok terlebih dahulu.
Di tengah perdebatan mereka, seorang tokoh bernama Arif datang menyelenong untuk berbelanja. Melihat tangan yang dengan gesit mengambil berbagai belanjaan, menjadikan Arif sebagai secercah harapan bagi suami-istri itu.
“Catat dulu, Bos. Dengan yang kemarin jadi berapa?”
Harapan itu pupus setelah mendengar kalimat yang diucapkan Arif dengan entengnya. Pak Sukamto segera mengesekusi idenya itu, ia langsung menjumlahkan dan menyebutkan nominal utang Arif yang telah ditambahkan bunganya. Arif yang kaget setelah mendengar penjelasan dari Pak Sukamto, langsung membatalkan niatnya untuk berutang di warung itu dan mencari warung lain.
Sebuah hal lucu saat orang yang berutang kaget dan malah tidak membayar utangnya. Mungkin pada kehidupan nyata hal seperti ini sering sekali terjadi, orang yang berutang malah lebih galak daripada penagih. Seakan mereka tidak ingat bahwa telah dibantu pada saat kesusahan. Akan tetapi, penerapan bunga sebenarnya juga dilarang dalam syariat Islam, karena bunga itu akan bersifat riba dan membebankan bagi salah satu pihak.
Ternyata setelah diterapkan sistem bunga itu, pendapatan warung Pak Sukamto dan Bu Yuli membaik serta pembeli yang berutang juga semakin berkurang. Memang bisa dikatakan bahwa ini adalah sebuah keberhasilan, tetapi Pak Sukamto merasa bahwa semua ini tidak membawa keberkahan. Ia merasa iba melihat pembeli-pembeli itu kehilangan senyumnya karena tidak bias berutang lagi.
Perdebatan yang dipenuhi rasa emosional pun tak dapat terhindarkan, kalimat-kalimat mereka seakan melayang, memenuhi warung kecil itu. Bagi Pak Sukamto mengizinkan pembeli berutang sama seperti menolong mereka yang kesusahan sedangkan Bu Yuli berpendapat bahwa keberkahan itu tidak kunjung datang karena mereka sibuk memberikan utang kepada pembeli, tetapi lupa untuk bersedekah
Sebenarnya tidak ada yang salah diperdebatan itu, semua memiliki sudut pandang yang berbeda tapi dengan maksud yang baik. Akan tetapi, karena tidak dapat mengontrol emosi mereka jadi tidak mengerti maksud tersebut. Terkadang memang benar, apapun masalahnya pasti dapat terselesaikan dan selalu ada jalan keluarnya, asalkan menggunakan hati dan kepala yang dingin
“Kau itu hanya memaknai berkah sebagai uang yang banyak, keuntungan yang besar. Berkah itu punya makna luas. Berkah itu ada di sini, di warung ini.”
Sebuah kalimat yang sangat menyentuh keluar dari mulut Pak Sukamto. Bagaimana tidak, nama “Warung Berkah” ternyata bukan asal digunakan, melainkan memiliki makna yang lebih luas dan mendalam. Bagi Pak Sukamto warung itulah berkah sesungguhnya, berkah itu bukan hanya soal uang saja, tetapi ketika ia dapat dekat dengan keluarga sembari mencari nafkah. Berbagai hal yang dilakukannya di warung itu, sudah dianggap menjadi suatu keberkahan. Kalimat yang terucap oleh Pak Sukamto itu akhirnya membuka hati dan pikiran istrinya, tentang apa arti berkah yang sesungguhnya.
Sebuah niat baik di awal memang diperlukan. Membuka usaha bukan hanya dengan pola pikir untung atau buntung, tetapi tujuan untuk mencapai keberkahan juga tak kalah penting. Apabila tujuan awal itu sudah baik pasti akhirnya akan baik pula dan percayalah pasti akan selalu ada jalan yang terbuka.
Cerpen Warung Berkah karya Ayu Diah Lestary ini memiliki pesan yang cukup dalam, apalagi ia membungkusnya dengan realita yang ada menjadikan cerpen ini sangat ringan untuk pembaca. Semoga para generasi muda, khususnya Provinsi Jambi, akan terus kreatif menghasilkan karya-karya yang berkualitas.
.
.
.
Tentang Penulis
Agung Syahputra, lahir di Jambi, 15 Agustus 2003. Mahasiswa S-1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Jambi, juga anggota dari Yayasan Teater AiR Jambi. Pernah menjadi Aktor Terbaik FTR Jambi tahun 2022 dan Juara 3 Baca Puisi Putra pada Peksminas XVI. Mempunyai impian memiliki keluarga yang harmonis. Sekilas keseharian bisa dilihat di Instagram @ano_xye