UTANG LUPA, TAPI HARGA DIRI TETAP NOMOR SATU
Kita semua pasti pernah mengalami—entah sebagai korban atau sekadar penonton—fenomena ajaib di mana seseorang meminjam uang, tapi begitu ditagih, justru dia yang paling marah. Lebih menarik lagi, dia bisa berubah menjadi korban instan, lengkap dengan narasi penuh penderitaan yang membuat kita seolah-olah adalah makhluk tak berperasaan karena tega menagih ‘sedikit’ uang yang dipinjamnya. Apa yang sebenarnya terjadi di kepala mereka? Apakah ada semacam sistem otomatis yang mengubah rasa bersalah menjadi amarah? Mari kita kupas tuntas!
Mekanisme Psikologis: Dari Rasa Malu ke Sikap Defensif
Secara teori, orang yang berutang itu seharusnya merasa tidak enak saat belum bisa membayar. Tapi dalam praktiknya, banyak yang justru punya ‘wajah tebal’ dan berakting seolah mereka adalah korban keadaan. Ketika ditagih, alih-alih mengakui bahwa mereka memang harus membayar, mereka malah menyerang balik dengan dalih-dalih kreatif.
Hal ini berkaitan karena suatu individu yang merasa harga dirinya terancam cenderung mengembangkan mekanisme pertahanan seperti denial (penyangkalan) atau projection (menyalahkan orang lain). Nah, ini menjelaskan kenapa banyak pengutang lebih galak daripada yang menagih. Mereka tidak mau merasa bersalah, jadi yang paling mudah dilakukan adalah membalikkan keadaan—seolah-olah penagihlah yang tidak punya hati nurani.
Normalisasi Utang: Dari Kewajiban Jadi Hak
Di beberapa lingkungan, utang sudah seperti budaya. Pinjam uang itu dianggap hal biasa, tapi membayar? Ah, nanti saja. Beberapa orang bahkan menganggap bahwa karena mereka ‘lagi susah’, maka si pemberi pinjaman harus memahami dan tidak boleh menagih terlalu keras. Lucunya, mereka lupa bahwa uang yang dipinjam itu bukan turun dari langit, tapi hasil kerja keras orang lain.
Menurut Pierre Bourdieu, seorang sosiolog ternama, norma sosial dan kebiasaan dalam suatu komunitas membentuk pola pikir seseorang terhadap kewajiban finansial. Kalau sejak kecil sudah terbiasa melihat orang-orang di sekitarnya minjam tanpa niat mengembalikan, maka kemungkinan besar pola pikir ini akan diwariskan. Bukannya merasa bertanggung jawab, mereka justru melihat utang sebagai ‘hak sosial’ yang bisa dinegosiasikan.
Manipulasi Emosi: Dari Terima Kasih ke Drama Melankolis
Ketika pertama kali meminjam, si pengutang bisa sangat manis. Janjinya, “Nanti pasti gue bayar, tenang aja.” Tapi begitu waktu pembayaran tiba, drama pun dimulai. Berbagai alasan pun muncul: “Aduh, gue lagi banyak masalah nih,” atau “Seriusan nih kamu tega nagih? Gue lagi susah banget.” Bahkan ada yang lebih ekstrem, “Kayaknya kamu nggak anggap gue teman kalau segitunya nagih.”
Menurut psikolog George K. Simon dalam bukunya In Sheep’s Clothing, manipulasi sering kali digunakan untuk menghindari tanggung jawab. Salah satu tekniknya? Membalikkan keadaan sehingga korban (si pemberi pinjaman) merasa bersalah dan akhirnya mundur dari niatnya untuk menagih. Mungkin kalau bisa dapat Oscar, para pengutang yang jago drama ini sudah menang banyak penghargaan.
Faktor Sosial: Lingkungan yang Menekan si Pemberi Pinjaman
Lucunya, dalam beberapa kasus, justru orang yang menagih utang yang dianggap ‘jahat’ oleh lingkungan sekitar. “Ya ampun, segitu aja ditagih,” atau “Kasihan, dia lagi susah, masa nggak bisa ngertiin?” Sebagai manusia yang ingin menjaga hubungan sosial, kita pun sering kali terjebak dalam dilema moral—antara menagih hak kita atau menjaga ‘image’ agar tidak terlihat pelit.
Menurut penelitian di Harvard Business Review, norma sosial memang berperan besar dalam bagaimana seseorang memandang kewajibannya. Dalam budaya yang menekankan harmoni sosial, menagih utang sering dianggap sebagai tindakan yang kurang sopan, meskipun dari segi finansial itu adalah hak yang sah.
Ketika yang Berutang Malah Lebih Marah
Pernah bertemu orang yang waktu pinjam uang begitu sopan dan rendah hati, tapi saat ditagih justru menyerang balik? Bisa dibilang ini adalah spesies ‘pengutang galak’ yang paling umum ditemui. Mereka akan berusaha mencari celah untuk menjadikan si pemberi pinjaman sebagai pihak yang salah.
Dalam psikologi, ada yang disebut sebagai cognitive dissonance, yaitu ketidaknyamanan psikologis yang muncul ketika seseorang sadar bahwa tindakannya tidak sesuai dengan nilai moralnya. Alih-alih mengakui kesalahan, banyak orang memilih untuk ‘memperbaiki’ situasi dengan mengubah narasi. Jadi, daripada menerima kenyataan bahwa mereka salah karena belum membayar utang, lebih mudah bagi mereka untuk menciptakan narasi bahwa yang menagihlah yang tidak berperasaan.
6. Solusi: Menyikapi Pengutang Galak
Sekarang, setelah kita tahu berbagai trik dan drama yang digunakan oleh para pengutang, pertanyaannya adalah: bagaimana cara menghadapinya? Berikut beberapa strategi yang bisa dicoba:
- Buat Kesepakatan yang Jelas – Jika memungkinkan, dokumentasikan perjanjian pinjaman, entah itu lewat tulisan atau setidaknya tangkapan layar chat. Biar kalau mereka tiba-tiba lupa ingatan, ada bukti yang bisa ditunjukkan.
- Tetapkan Batasan Emosional – Jangan biarkan rasa bersalah atau tekanan sosial membuat kita ragu menagih hak kita. Ingat, uang itu hasil kerja keras kita.
- Kenali Pola Perilaku – Kalau seseorang sudah terkenal dengan kebiasaan ‘lupa bayar utang’, lebih baik hindari memberinya pinjaman.
- Ubah Cara Menolong – Daripada memberi pinjaman, lebih baik bantu dalam bentuk lain, misalnya makanan atau hal-hal yang tidak membebani kita secara finansial.
Kesimpulan: Jangan Sampai Kena Gaslighting!
Pada akhirnya, utang bukan sekadar transaksi finansial, tapi juga soal karakter. Ada orang yang benar-benar bertanggung jawab dan berusaha membayar meskipun dalam kesulitan, tapi ada juga yang memanfaatkan belas kasihan orang lain untuk menghindari tanggung jawab. Jika kita berada di posisi pemberi pinjaman, jangan sampai jatuh ke dalam perangkap manipulasi emosional. Ingat, kita bukan orang jahat hanya karena meminta kembali uang yang memang milik kita. Jadi, kalau ketemu pengutang yang makin galak pas ditagih, anggap saja sedang menonton episode baru dari drama tak berkesudahan. Yang penting, jangan sampai kita yang kena mental!