Puisi-puisi Astri Septianingsih
Penulis: Astri Septianingsih, penulis awam yang mengawali langkahnya dari hobi membaca, kini menyalurkan imajinasi dan perasaannya melalui karya sastra sederhana yang sarat makna. Karyanya juga pernah diterbitkan dalam buku Antologi yang berjudul, “Tidak Bisa Menyenangkan Semua Orang.” Baginya, menulis adalah cara untuk hidup dua kali, sekali di dunia nyata, dan sekali lagi di lembar-lembar cerita. Saat ini, ia aktif menulis di beberapa platform online. Temui karya-karyanya pada bio instagram @septiastrr.
Semesta Yang Bisu
Hidup menyeret tubuh seperti arus deras yang tak berbelas kasih,
membiarkan langkah terseret ke jurang tanpa sempat memilih arah.
Berulang kali terhempas, berulang kali mencoba bangkit,
namun tanah selalu licin, menjatuhkan kembali tubuh yang nyaris lebur.
Teriakan dilontarkan ke udara,
namun langit menutup telinga.
Bumi pun menutup mata,
dan manusia pura-pura tidak tahu apa-apa.
Tulang dipaksa bekerja lebih keras dari batas, urat ditarik, daging diperas.
Keringat jatuh bagai hujan yang tak pernah berhenti,
namun lapar masih setia datang setiap hari.
Sakit masih tinggal di tubuh yang rapuh,
dan kehidupan terasa seperti permainan, yang hanya menghadiahkan luka mendalam..
Tak ada saudara yang menoleh, tak ada pula kerabat yang datang.
Manusia menjelma tembok batu— membisu, menutup pintu.
Seperti pohon yang ditanam di gurun kering,
satu per satu gugur, batang mulai retak, akar menangis mencari air,
yang entah mengapa tak pernah ditemukan.
Rasa sakit menjelma badai,
mengguncang dada dengan ribuan gemuruh.
Hingga muncul hasrat gelap,
berharap dunia hancur karena telah membuatnya menderita.
Jerat di Tubuh yang Membungkuk
Kebutuhan tak lagi sekadar keinginan,
melainkan detak hidup yang terus menagih.
Namun tangan kosong tak sanggup mengisi,
seperti jerat yang kian mengencang setiap hari.
Setiap detik bagai siksaan,
setiap helaan bagai cambukan,
mengingatkan betapa mencekiknya kemiskinan.
Orang tua semakin renta,
punggung mereka membungkuk di bawah beban,
namun tangan tetap bekerja tanpa kenal lelah.
Tulang punggung retak, napas tersengal.
Namun wajahnya dipaksa menahan senyuman,
seolah berkata, “Tidak apa, selama anak masih bisa makan.”
Sungguh malang nasib ini,
sungguh pilu perjalanan yang harus dijalani.
Adakah derajat mereka akan terangkat,
Atau dunia memang diciptakan untuk menguji tanpa pernah memberi jeda?
Apakah ada cahaya di ujung gelap ini,
Atau justru gelap adalah rumah terakhir yang harus dipeluk selamanya?
Menggugat Semesta
Entah mengapa garis nasib ditorehkan pada raga manusia,
seperti guratan yang tak bisa dihapus, seperti takdir yang tak bisa ditawar.
Andai waktu bisa di ulang, mungkin lebih baik menjadi hampa,
tak pernah lahir dan tak pernah ada.
Daripada hidup hanya untuk menyaksikan gemerlap orang lain,
sementara langkah sendiri terikat di tanah yang kering.
Apakah hidup diciptakan hanya untuk menjadi saksi?
Apakah seluruh derita ini hanyalah panggung tempat bahagia dipertontonkan?
Sementara luka sendiri disembunyikan.
Takdir menjelma cambuk yang menyayat dada,
mengingatkan betapa tak ada ruang untuk bertanya,
betapa kejamnya garis yang digoreskan,
tanpa pernah menanyakan setuju atau tidak.
Namun kepada siapa harus menggugat?
Langit terlalu tinggi untuk mendengar, bumi terlalu bisu untuk menjawab.
Bagaimana mungkin ikhlas tumbuh,
jika dada penuh duri,
jika langkah selalu terjerat akar yang tak kasat mata,
jika mimpi terkubur sebelum sempat mengeja namanya?
Setiap gerak menjadi percuma,
setiap do’a melayang tanpa gema.
Jiwa yang Samar
Hidup menyerupai lorong panjang,
tak ada celah menuju cahaya, tak ada jalan pulang ke pelukan siapa-siapa.
Setiap langkah hanya menggema kembali ke telapak kaki sendiri,
setiap suara berbalik menjadi gaung hampa yang menusuk telinga,
seakan dunia hanya bayangan yang menolak untuk setia.
Bukan teman dalam ingatan siapapun,
bukan persinggahan dalam perjalanan siapapun,
bukan pula tokoh utama dalam lembar kisah siapapun.
Hanya siluet asing bagai ilusi,
sosok nya ada, namun tak pernah dirasakan ada.
Tak pernah dirindukan, tak pernah ditunggu, tak pernah dicari.
Kesepian berakar dalam dada,
menggeliat seperti pohon purba.
Akar-akar menyusup ke nadi,
dahan-dahan merambat ke pikiran,
ranting-ranting menusuk ke ruang jiwa,
dan akhirnya seluruh batin dipenuhi kehampaan,
yang tak pernah bersedia dibuang.
Betapa pilunya menjadi makhluk bernapas,
namun tak benar-benar hadir di mata siapapun.
Seperti udara yang tak pernah disyukuri,
seperti debu yang tak pernah ditatap,
seperti bayangan yang terus ada, namun tak dianggap nyata.
Sementara dunia di luar sana tetap berputar,
tertawa, bersorak, berpelukan.
Tanpa sedikit pun kehilangan,
meski tubuh ini suatu hari lenyap,
seperti debu yang ditiup angin.
Hanya jejak samar,
hanya tanda tanya sunyi,
yang barangkali tak pernah benar-benar dikenang.