Puisi-puisi Muhammad Lutfi
Stasiun Kereta
Stasiun pukul tengah hari mentari mandaki
makin tinggi dan gelap hilang dari kerumunan
pedagang pasar yang sedang duduk berbaris di bawah
kolong jembatan dekat bus tua yang terbatuk
berdahak keluarkan oli semerah darah.
Anak kecil pulang sekolah berlari lepaskan baju
tanggalkan sepatu dan tas di atas loteng tua
dikejarnya harapan dan putus asa karena uang
tidak didapat serta merta melainkan dengan
pujian kerja banting tulang penuh siksa dan
dendam serta diiringi benci.
Anak-anak yang berlari baca buku di atas trotoar jalan
kusut dan berdebu sekusut bukunya yang hilang
sampul depannya serta halaman beberapa ruas bukunya
tapi dia tabah jalani hidup penuh siksa.
Pati, 22 Juli 2025
Dermaga Jakarta
Pernah lamunan kita hayati bersama takdir yang terkubur
selama kita mengukur jarak kemampuan diri kita bahwa
orang miskin akan terhina dan yang penakut akan binasa
bagai binasanya kota di karam lautan dan tenggelamnya
jalan serta gedung-gedung dalam genangan air laut.
Kapal berjalan tanpa kemudi ke tengah kota diiringinya
bunyi terompet kapal dengan karang-karang yang bergerak
susuri jalan-jalan musnahkan ibu kota.
Ibu kota akan kemana pula tempatnya bersauh dan pergi
mencari rumah yang layak dan damai bagi penghuninya
yang sibuk kerja dan pentingkan duniawi semata
hanya untuk senangkan badan dan istri.
Pati, 22 Juli 2025
Beberapa
Ada beberapa yang kita tidak ingat akan
Segala pertemuan kita berganti terpaut
Pada pucuk surat warna merah seakan
Kita adalah anak gembala kecil jadi
Tersentuh aku tertuju padamu.
Pada ingatan segala temuan kita
Berdansa sambut hari agustusan lalu
Lakukan pernah kita main musik sendiri
Berdua sama kamu
Aku teringat.
Pati, 19 Agustus 2025