Rakyat Seret, Elit Lega: Menyoal Gaji DPR dan Privilege Politik
Ketegangan publik memuncak ketika muncul isu tunjangan rumah anggota DPR RI sebesar Rp50 juta per bulan. Ketua DPR Puan Maharani buru-buru memberi klarifikasi: tidak ada kenaikan gaji pokok, melainkan tunjangan kompensasi rumah dinas yang dibatalkan. Meski demikian, kebijakan itu menuai kritik tajam. Bukan hanya karena jumlahnya “fantastis” di tengah tekanan ekonomi, tapi juga karena mencuatkan jurang kesenjangan antara pendapatan wakil rakyat dan rakyat biasa. Sejumlah pengamat menyoroti bahwa tunjangan tersebut membuat total pendapatan seorang legislator bisa menembus lebih dari Rp100 juta per bulan, angka yang jelas jauh di atas gaji guru, bidan, atau buruh kebanyakan.
Tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan setara dengan sembilan kali Upah Minimum Provinsi DKI Jakarta (sekitar Rp5,4 juta)detik.com dan puluhan kali lipat gaji rata-rata pekerja di daerah lain. Misalnya, banyak guru honorer hanya menerima di bawah Rp2 juta per bulan, bahkan sejumlah laporan menyebut ada yang cuma Rp0,5–1 juta. Bidan PNS tertinggi (Gol IV/C) saat ini menerima sekitar Rp3,15 juta per bulan, sedangkan bidan swasta mengantongi sekitar Rp3,24–7,70 juta. Perbandingan ini kian memperjelas jurang pendapatan: sementara rakyat berjuang dengan upah minimal dua-dan-tiga jutaan, tunjangan DPR ditetapkan puluhan kali lipatnya. Peneliti Formappi Lucius Karus menegaskan, jabatan legislatif tidak boleh menjadikan anggota DPR “kasta tertinggi” ekonomi Indonesia, karena wakil rakyat seharusnya tidak dibiarkan setengah langkah lebih “mewah” daripada yang diwakilinya.
Angka-angka fiskal pun tak kalah mencengangkan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung bahwa selama lima tahun masa jabatan 580 anggota DPR, biaya tunjangan rumah Rp50 juta itu akan menimbulkan pemborosan anggaran hingga Rp1,74 triliun. Nilai ini berbanding terbalik dengan klaim efisiensi anggaran pemerintah yang saat ini memangkas dana banyak instansi dan pelayanan publik. Para pengkritik mendesak DPR RI untuk bertanggung jawab. ICW bahkan secara resmi meminta transparansi penuh rincian pendapatan legislatif: mulai dari gaji pokok, semua tunjangan (komunikasi, jabatan, rumah, dsb.), uang harian, hingga dana reses. Langkah ini ditempuh menyusul sengitnya pro-kontra kenaikan penghasilan legislator di tengah krisis ekonomi masyarakat.
Penolakan publik dan pengamat mengemuka keras. Peneliti Formappi Lucius Karus menilai janji Ketua DPR Puan Maharani sekadar meredam kritik tanpa jaminan tindak lanjut nyata. “Janji untuk mendengarkan masukan publik terkait tunjangan rumah Rp50 juta kayaknya lebih untuk meredam kritik saja,” kata Lucius. Lucius mengingatkan, wakil rakyat boleh saja memperoleh gaji dan tunjangan—tapi gaji tersebut harus mencerminkan ekonomi rakyat secara umum. Apabila standar kehidupan legislatif diukur dengan kenyamanan pribadi, kepercayaan rakyat pada DPR bisa terkikis. Menanggapi kritik, Puan Maharani menyatakan kebijakan tersebut telah dikaji “sebaik-baiknya” mengikuti harga pasar di Jakarta dan membuka peluang evaluasi jika dirasa berlebihan. Namun bagi banyak orang, penjelasan ini terasa kurang memadai tanpa bukti transparansi penggunaan anggaran.
Sebagai penutup, kebijakan tunjangan rumah DPR ini sejatinya memantik diskusi yang lebih dalam tentang akuntabilitas wakil rakyat. Bukan hanya soal angka—Tunjangan DPR yang fantastis—tetapi tentang tanggung jawab moral dan fiskal. Di saat rakyat dihadapkan kenaikan pajak dan kesulitan ekonomi, pemerintah dan DPR RI seharusnya menunjukkan kepedulian, bukan menambah beban anggaran untuk fasilitas pribadi. Masalah ini mengingatkan kita bahwa kepercayaan publik bergantung pada keadilan. Tatkala jurang ekonomi dibiarkan menganga, suara kritik menghendaki DPR bekerja lebih keras demi kepentingan rakyat banyak, bukan gengsi politik belaka.