PÀRLEMEN JALAN RAYA
Penulis: Agung Syahputra, lahir di Jambi, 15 Agustus 2003. Mahasiswa S-1 Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Jambi, juga anggota dari Yayasan Teater AiR Jambi. Pernah menjadi Aktor Terbaik FTR Jambi tahun 2022 dan Juara 3 Baca Puisi Putra pada Peksminas XVI. Mempunyai impian memiliki keluarga yang harmonis. Sekilas keseharian bisa dilihat di Instagram @ano_xye
Tulisan ini hanyalah sedikit cuitan hati saya terkait demonstrasi akhir-akhir ini. Andainya, saya ini Fery Irwandi yang punya banyak pengikut, pasti tulisan ini akan didengar. Tak apa, bisa jadi Bung Fery bisa membaca tulisan ini saja, saya cukup senang.
Saya tidak ikut dalam demonstrasi di Jambi pada Jumat, 29 Agustus itu. Pukul satu siang, jalanan yang biasanya penuh pedagang dan kendaraan berubah menjadi arena teater besar: spanduk, teriakan, gas air mata, pagar yang dihantam, mobil dinas yang terbakar. Di sana, rakyat mengubah jalan raya menjadi parlemen.
Dari awal, bentrok sudah meletus. Barangkali karena marah itu sudah terlalu lama dipendam. Marah kepada para wakil yang duduk di kursi empuk, marah kepada angka-angka yang tak pernah nyambung dengan realitas di dapur.
Dalam kerumunan itu, ada wajah lain yang muncul: rayap besi. Mereka bukan demonstran, bukan pula aparat. Mereka adalah orang-orang yang menjarah besi pagar, mempreteli mobil dinas, atau sekadar mencari keuntungan di tengah api dan debu. Jika demonstran membawa kemarahan, rayap besi membawa kerakusan. Mereka adalah parasit yang membuat suara rakyat kehilangan bentuk.
Namun, potongan paling membekas bagi saya justru terjadi jauh dari kerumunan. Saat hendak menuju Sungai Kambang hampir pukul lima sore, saya menyaksikan sebuah bus polisi melaju kencang, penuh satu peleton di dalamnya. Tentunya, bis itu membawa pasukan pengaman tambahan untuk demo tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba, bus itu belok ke kiri, masuk lorong sempit di samping Kantor Pengelolaan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi. Saya tentu kaget, mengapa tiba-tiba, tidak lurus saja dan menerobos lampu merah seperti yang dilakukannya di simpang empat Museum Siginjai.
Seorang ibu dengan motor Revo yang lebih dulu di lorong itu, terserempet. Ia jatuh. Motornya rebah. Tubuhnya menghantam aspal. Bus itu terus melaju. Tidak menengok, tidak melambat. Seolah-olah tak ada mata, tak ada hati di balik kaca gelapnya.
Saya ingin mengejar, tetapi empati menahan langkah saya. Bagaimana mungkin membiarkan seorang ibu tergeletak hanya demi mengejar bayangan bus yang melarikan diri? Saya bersyukur, ibu itu masih bisa bangkit. Ia tidak bernasib seperti Alm. Affan, ojol di Jakarta yang nyawanya melayang di tengah hiruk-pikuk demo.
Orang-orang berdatangan, menolong, mengangkat, memaki. “Tai kau, dak ado hati!” teriak seorang bapak pada bis itu. Umpatan itu lebih jujur daripada pidato manapun.
Bagi saya, adegan kecil itu adalah potret paling telanjang dari krisis politik kita. Negara hadir, tetapi tanpa hati. Rakyat jatuh, tetapi hanya rakyat yang menolong sesamanya. Aparat berlapis-lapis, tetapi solidaritas justru lahir dari orang biasa di jalan.
Demo di Jambi bukan sekadar soal tunjangan DPR yang kelewat besar. Ia adalah soal legitimasi: apakah rakyat masih bisa percaya pada para wakilnya? Apakah negara masih bisa dipercaya menjaga mereka, bukan justru menabrak lalu pergi?
Di satu sisi, jalanan telah menjadi parlemen. Di sisi lain, rayap besi menjadikan kericuhan sebagai pasar gelap. Di tengah keduanya, ada ibu yang jatuh dari motor, tubuhnya jadi metafora betapa rapuhnya demokrasi kita.
Saya mendukung aksi demo itu, meski kaki saya tak berada di antara barisan. Sebab, apa yang diperjuangkan bukan semata tuntutan ekonomi atau protes tunjangan DPR. Lebih dalam dari itu, ia adalah perebutan makna: apakah negara masih punya hati untuk rakyatnya?
Jika demo itu hanya dibalas dengan gas air mata, barikade, dan bisu, maka jangan salahkan rakyat bila jalanan terus jadi parlemen. Sebab, di sana, suara lebih jujur, empati lebih nyata, dan solidaritas lebih terasa ketimbang di gedung berpendingin udara.
Dari kejadian itulah sebenarnya demokrasi diuji: bukan di podium parlemen, melainkan di jalan raya, ketika seorang ibu tergeletak dan kita memilih untuk menolong atau membiarkannya.