Tinggal Meninggal: Saat Kesepian Lebih Menakutkan dari Kematian
Apa yang lebih menakutkan: kematian atau hidup sendirian tanpa seorang pun yang benar-benar peduli? Pertanyaan itu menjadi denyut utama film Tinggal Meninggal, film debut Kristo Immanuel yang resmi tayang di bioskop pada 14 Agustus 2025. Garapan rumah produksi Imajinari ini, mengemas komedi getir dengan cara segar sekaligus gelap. Di balik tawa, film ini menyodorkan cermin yang membuat kita terpaksa menatap luka: trauma masa kecil, kesepian orang dewasa, dan absurditas hidup modern yang sering terasa terlalu sunyi. Ini memang tampil segar, menggelitik, namun juga gelap.
Luka yang Personal, Cerita yang Universal
Kristo, yang selama ini dikenal sebagai komedian dan impersonator, memilih langkah berani dengan menulis sekaligus menyutradarai film layar lebar pertamanya. Ia tak sendirian—Jessica Tjiu, istrinya sekaligus penulis naskah, ikut memberi warna. Dalam konferensi pers di Jakarta (6 Agustus 2025), Kristo mengakui bahwa cerita ini lahir dari hal yang paling personal di hidupnya.
Karakter utama, Gema (Omara Esteghlal), adalah potret manusia yang sejak kecil terjebak dalam kesepian. Orang tua yang sibuk, perceraian, hingga kehilangan ayah membuatnya tumbuh tanpa rasa cukup. Gema yang suka berbicara dengan dirinya sendiri menjadi bahan ejekan teman-temannya, dan luka itu terbawa hingga dewasa. Di kantor, ia tetap canggung, sulit membuka diri, bahkan ketika orang lain mencoba mendekat.
Film ini menunjukkan bagaimana kesepian bisa begitu mematikan. Ketika ayahnya meninggal, Gema mendadak mendapat perhatian. Namun saat perhatian itu perlahan hilang, muncul pertanyaan getir yang mengawali konflik absurd: “Siapa lagi yang harus meninggal agar aku diperhatikan?”
Komedi Gelap sebagai Kritik Sosial
Sebagai komedi getir, Tinggal Meninggal memang berhasil membuat penonton tertawa. Tapi tawa itu segera berubah getir, karena apa yang kita saksikan adalah kritik tajam terhadap realitas sosial kita. Banyak orang yang hidup dalam keramaian, tetapi tetap merasa sendirian. Banyak yang menahan suara hatinya karena takut dianggap aneh.
Kristo sengaja menyelipkan lapisan psikologis: selective mutism, kecemasan sosial, hingga trauma keluarga. Semua hadir dalam bentuk satire, yang justru lebih jujur ketimbang drama melodrama. Seperti kata produser Ernest Prakasa, tantangan film ini ada pada bagaimana membuat sisi gelap tetap hangat bagi penonton. Dan di sinilah letak keberhasilan Kristo, ia membuat penonton tertawa sambil merasa diperlihatkan sisi rapuh dirinya sendiri.
Tak hanya itu, simbolisme film ini juga menarik. Salah satunya adalah metafora “mendengarkan capung dalam diri sendiri” sebuah gambaran betapa sepi bisa menghadirkan suara-suara batin yang tak pernah didengar orang lain.
Akting yang Menyentuh, Produksi yang Detail
Omara Esteghlal tampil memukau sebagai Gema. Latar belakang pendidikannya di bidang psikologi membuat interpretasinya terasa hidup. “Gema itu personal, emosional, tapi tetap menyenangkan karena dibalut komedi,” katanya.
Kristo sendiri memberi kebebasan pada para aktor, sesuatu yang diakui Omara jarang ditemukan pada sutradara lain. Hal ini juga dirasakan oleh Mario Caesar, yang melakukan debut akting di sini. “Kristo sangat detail, peduli kepada pemeran, dan selalu melakukan briefing,” ungkapnya.
Produser Dipa Andika bahkan mengaku langsung tergerak saat pertama kali membaca naskah: “Saya merasa yang berbicara dalam naskah itu adalah Kristo sendiri. Jujur, getir, dan apa adanya.”
Sambutan Hangat Penonton
Hingga 19 Agustus 2025, film ini telah ditonton 102.029 orang, menurut akun resmi Instagram @tingming.official. Angka yang terus bertambah ini menunjukkan bahwa meski mengusung genre tak populer, Tinggal Meninggal mampu menemukan ruang di hati penonton.
Namun angka itu juga jadi pengingat. Film seberani dan sejujur ini jangan sampai diabaikan. Di tengah banjir tontonan formulaik, Tinggal Meninggal menawarkan sesuatu yang berbeda: kejujuran dalam bentuk komedi satir.
Belajar dari Sunyi
Pada akhirnya, film ini tidak hanya bicara soal Gema, tapi juga soal kita semua. Bahwa setiap orang menyimpan luka. Bahwa setiap orang berhak mengenali dan menerima dirinya. Bahwa kesepian tidak seharusnya jadi ruang menakutkan, karena manusia memang butuh didengar, butuh ditemani.
Film ini dengan tajam mengingatkan: ketakutan terbesar kita bukanlah mati, melainkan hidup sendirian tanpa siapa pun yang benar-benar peduli. Maka, jangan biarkan Tinggal Meninggal berlalu begitu saja. Mari dukung film lokal yang berani jujur, yang berani membuat kita tertawa sekaligus menangis dalam keheningan.
Referensi
- Tempo.co, “Film Komedi Getir Besutan Imajinari Tinggal Meninggal Karya Kristo Immanuel Tayang 14 Agustus” (6 Agustus 2025).
- Instagram resmi film Tinggal Meninggal: @tingming.official, update 19 Agustus 2025.
- Konferensi pers peluncuran film Tinggal Meninggal, Epicentrum XXI, Jakarta (6 Agustus 2025).
Agustus 21, 2025 @ 7:41 am
gila gila gilaaaa
Agustus 21, 2025 @ 7:50 am
bisa jadi kritikus film iniiii mah